Oleh : Mln. Basyarat Ahmad Sanusi
Dan bagi setiap umat telah Kami tetapkan cara pengurbanan, supaya mereka menyebut nama Allah atas apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka dari binatang ternak berkaki empat. Maka Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Maha Esa ; maka patuhlah kamu sekalian kepada-Nya. Dan berikanlah khabar suka kepada orang-orang yang berhati rendah. (QS : Al-Hajj : 34).
Idul Adha (hari raya penyembelihan) terkait erat dengan Nabi Ibrahim a.s.. Kisah tentangnya tertulis dalam Alquran Surah Ash-Shafat ayat 102-111 di mana Nabi Ibrahim a.s. diperintahkan untuk mengorbankan Nabi Ismail a.s.. Pada hakikatnya, Nabi Ibrahim a.s. tidak disuruh menyempurnakan kasyaf beliau dalam kenyataan yang sungguh-sungguh.
Hal itu hanya merupakan peragaan secara praktis mengenai niat dan kerelaan mengurbankan putranya yang dikehendaki dari diri beliau. Kasyaf itu telah menjadi sempurna secara simbolis pada diri Siti Hajar dan Ismail a.s., yang telah ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim a.s., di lembah Mekkah, yang saat itu merupakan padang tandus dan kering gersang. Perbuatan berani itu, sesungguhnya melambangkan pengurbanan Ismail as. (catatan kaki 2498, Terjemah dan Tasir Singkat The Holly Qur’an, JAI, 2007)
Kepatuhan terhadap perintah Allah Swt. yang diperagakan Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s. dan Siti Hajar adalah sebuah teladan agung yang tetap berlaku sampai sekarang sebagai model keberhasilan tarbiyat sebuah keluarga dalam menaati perintah Sang Khalik.
Firman Allah dalam ayat “ dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar ” adalah kasih sayang Allah Swt. kepada keluarga ini sekaligus fakta bahwa mengganti kurban manusia dengan hewan sembelihan bermakna simbolis yang berarti sejak saat itu penghormatan terhadap jiwa kemanusiaan di junjung tinggi, tidak diperkenankan atas nama Tuhan mengorbankan nyawa manusia, inilah tradisi baik yang dilestarikan Islam hingga saat ini.
Perayaan Idul Adha pada bulan haji pada dasarnya mengenang peristiwa yang dialami keluarga Nabi Ibrahim a.s, ada Sa’i (Safa – Marwah), tawaf, Jumroh, menyembelih hewan kurban dan prosesi ibadah haji lainnya adalah simbolis dari peristiwa-peristiwa penting yang dialami Nabi Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s.
Secara istimewa menyembelih hewan kurban sedemikian rupa dipraktekan umat Islam dengan penuh semangat hingga saat ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Nabi Ismailah yang hendak dikurbankan Nabi Ibrahim a.s. dalam peristiwa itu, seandainya Nabi Ishak a.s. yang hendak dikurbankan Nabi Ibrahim a.s., seharusnya tradisi penyembelihan hewan kurban menjadi ciri budaya masyarakat Yahudi, akan tetapi kenyataannya tidak demikian tradisi penyembelihan hewan kurban dilaksanakan terus menerus dalam umat Nabi Muhammad Saw. yang notabene merupakan keturunan Nabi Ismail as.
Sabda nabi Muhammad Saw tentang kurban yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. “barangsiapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami”, jelas mengisyaratkan betapa pentingnya berkurban. Hadis ini juga menunjukan bahwa menyembelih hewan hukumnya sunah dan bersyarat yakni bagi yang mampu.
Setiap syariat yang disunahkan di dalamnya tentu sarat makna, terlebih berkurban mengandung tujuan sosial, karena itu perlu kita ketahui ada beberapa keutamaan dari berkurban antara lain :
Pertama, menunjukan kepatuhan terhadap perintah Allah Swt. yang merupakan jati diri orang bertakwa.
Kedua, berkurban adalah upaya nyata mendekatkan diri kepada Allah Swt. penyembelihan hewan kurban simbol kerelaan atas dasar kecintaan kepada Allah Swt..
Ketiga, Berkurban adalah upaya membersihkan harta anugrah Allah Swt. Rizki yang ada sebagiannya di kurbankan sebagai bentuk syukur, sehingga hak orang lain yang melekat dalam rizki kita telah dibersihkan.
Keempat, berkurban dan membagikan dagingnya kepada karib kerabat dan sanak saudara dapat memupuk ketajaman jiwa sosial sehingga mempererat hubungan antar sesama dalam bingkai silturahmi yang berlandaskan kasih sayang.
Kelima, berkurban merupakan syiar Islam yang baik dilaksanakan serentak oleh umat islam di manapun berada sehingga tercipta kesamaan dan kesatuan umat di seluruh dunia.
Keenam, berkurban dalam Islam menunjukan kelebihan ajaran Islam dalam arti bahwa Islam memelihara tradisi baik dari setiap agama. Kita pun mengetahui berkurban terkait erat dengan millah Ibrahim a.s.. Hal ini menegaskan bahwa agama tauhid berasal dari Tuhan Yang Esa sehingga ada hubungan yang erat satu sama lainnya.
Tujuan utama dari berkurban adalah keridhoan Allah Swt.. Allah Swt berfirman : “Sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, dagingnya dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu. Demikianlah Dia menundukkan mereka untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah sesuai petunjuk kepadamu. Dan berikan khabar suka kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Hajj : 37)
Ayat ini memberikan pedoman bahwa Allah Swt. tidak membutuhkan darah dan daging hewan yang dikurbankan karena itu semua tidak akan sampai kepada Allah Swt., tetapi justru akan menyampaikan kita kepada Allah Swt. hanya jika praktek berkurban itu dilandasi ketakwaan. Ketakwaan itulah yang akan menarik keridhoan Allah Swt. dan inilah rahasia halus darinya yakni keridhoan Allah Swt. Inilah yang akan menyampaikan kita ke surga-Nya secepat kilat.
Dalam koridor keridhoan Allah inilah kita memahami hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi “perbaguslah hewan kurban kalian, karena ia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath”(HR. Addailami, Musnad Al-Firdaus h.268), menjadi tunggangan kalian melewati jembatan shirotol mustaqim pemahamannya tidak dalam makna harfiyah, sebab jika dimaknai secara harfiyah akan bertabrakan dengan akal sehat dan kaidah lainnya, misalnya :
1. Jika menunggangi hewan kurban melewati Shirotol Mustaqim tujuannya ke surga jelas di tolak Al-Qur’an, “ Sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, dagingnya dan tidak pula darahnya, akan tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan darimu”.
2. Jika hewan kurban akan ditunggangi melewati Shirotol Mustaqim bagaimana jika yang berkorban diantara kita sudah berkorban sampai seratus kambing, apakah semua kambingnya ditunggangi melewati Shirotol Mustaqim itu, tentu akan sangat merepotkan jika demikian adanya dan tidak mungkin menjadi secepat kilat.
3. Jika Allah Swt. menetapkan bahwa hukumnya tidak akan menyelisihi kudratnya hingga saat ini tidak ditemukan hewan yang berjalan secepat kilat
Karena alasan inilah, kiranya saya memaknai tunggangan melewati shirotol mustaqim tidak dalam arti harfiyah tetapi mengambil simpulan halus dari kelembutan maknanya bahwa kridhoan Allah lah yang akan menjadi tunggangan kita melewati shirotol mustaqim secepat kilat.
Sebagai pembanding yang lain kita telaah hadis ini, “Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu menngelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut.” (HR. Muslim no. 2245).
Zina termasuk dosa besar tetapi karena Allah ridho atas amalan wanita pezina dalam hadis ini maka Allah berkenan mengampuninya, secepat itulah pendosa besar sekalipun jika bertemu dengan keridhoan Allah segera mendapati pengampunan-Nya dan memperoleh surga-Nya. Kemudian, mungkin saja diantara kita bertanya-tanya apakah shirotol mustakim itu, terkait dengan hal ini ada satu kisah dari salah seorang khulafaurasyidin, beliau adalah Hadhrat Umar ra. suatu ketika Umar bin Khaththab ra. bertanya kepada Ubay bin Ka’ab ra tentang taqwa. Jawab Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang penuh duri?” Jawab Umar ra., “Ya.” Ubay ra. bertanya, “Lalu anda berbuat apa?” Jawab Umar radhiyallahu ‘anhu, “Saya sangat waspada dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri itu.” Ubay radhiyallahu ‘anhu berkata, “Itulah contoh taqwa.”
Memperhatikan atsar sahabi Umar bin Khatab dan Ubay bin Ka’ab ini terpikir dalam pribadi saya bahwa di setiap kehidupan dunia yang sementara ini ada shirotol mustaqim (jembatan) yang menghubungkan dunia dan akhirat kita, dalam perjalanan melewatinya penuh onak berduri dan segala macam godaan, sedikit saja terpeleset kita akan masuk ke jurang api, maka kewaspadaan kita sepanjang hidup di dunia ini mutlak di perlukan agar kita selamat dari duri-duri penghalangnya dan kewaspadaan itu bahasa lainnya adalah takwa. Marilah kita berdo’a kehadirat Allah Swt. untuk bisa melewati dunia ini dengan jiwa takwa, sehingga dengan jiwa takwa itu kita memperoleh percikan keridhoan Ilahi untuk melewati shirotol mustakim dunia ini dengan selamat. waallohu ‘alam bi showab, Waakhiru dakwana ‘anil hamdulilahi robbil ‘alamin.