By: Mln. Rustandi Inayatullah
Ramadhan kali ini yang dilaksanakan oleh milayaran umat muslim di seluruh dunia sangatlah berbeda sekali dengan ramdhan-ramadhan sebelumnya. Bagaimana tidak, ditengah pandemic yang penyeberannya sangat cepat dan mematikan ini, kita harus berjuang untuk dapat meraih nilai-nilai hakiki dari ibadah ini. Namun walaupun demikian, meskipun kita harus berusaha mencapai nilai-nilai ideal dari ibadah puasa tersebut, kita tidak boleh melalaikan keselamatan diri sehingga kita harus tetap waspada, berihtiar dan berusaha menjaga diri kita untuk tetap menjaga kesehatan supaya tidak terpapar bahayanya virus Covid-19 ini.
Dalam hitungan bulan saja virus ini menyebar dengan sangat cepat. Hingga ketika artikel ini di tulis (Selasa, 5 Mei 2020), terdata di dalam situs yang dapat di akses melalui alamat wabsite www.COVID19.GO.ID, sebuah laman resmi dari pemerintah untuk mengetahui informasi tentang Covid-19. Dalam website ini telah diberitakan bahwa hampir di 215 negara telah tekonfirmasi adanya virus tersebut, sekitar 3.442.234 orang telah terjangkiti covid-19, dan angka kematian sudah tembus diangka 239.740 orang. Di Indonesia pun telah tercatat angka kematianya dengan jumlah 864 orang.
Kejadian ini tentunya sangat megkhawtirkan umat manusia seluruh dunia. Namun hal yang lebih mengkhawatirkan dan menyedihkan tentunya dirasakan oleh seluruh umat muslim, karena dengan adanya pandemik ini kegiatan ibadah mereka pun menjadi terbatas. Parahnya lagi, beberapa pihak yang pemahaman islamnya dangkal, yang selalu mengedepankan ego dan juga kemarahan, maka kondisi psikologis mereka cendrung memprihatinkan, yaitu timbulnya sikap emosional tidak terima dengan ketentun-ketentuan yang telah di buat oleh pemerintah.
Tapi tentunya berbeda dengan ummat muslim yang memiliki pemahaman yang dalam serta cendrung tadharu, mereka memandang pandemic ini sebagai renungan dan sebagai hikmah besar yang Allah karuniakan kepada hambanya, terlebih karena kondisi ini terjadi ditengah-tengah suasana ibadah Ramdhan. Nilai lebih inilah yang tentunya sangat special di rasakan oleh orang-orang yang senantiasa merendahkan diri.
Sudah menjadi mafhum, bahwa salah satu tujuan ibadah puasa yang dilakukan oleh umat Islam adalah supaya mereka berhasil dalam meraih ridha-Nya dan menjadikan mereka semakin bertambah dalam kesabaran. Dan nyatanya apabila kita renungkan lebih dalam lagi, kesabaran yang di terapakan oleh orang yang berpuasa pada hakikatnya mereka tengah menerapkan kesabaran mereka dalam posisi keteraniayaan. Bagaimana tidak, di dalamnya mereka ditempa supaya belajar bersabar untuk mampu menahan dan menjauhkan diri dari sesuatu yang telah dinyatakan halal oleh Allah Ta’ala namun untuk sementara waktu diharamkan bagi mereka untuk menikmati dan merasakannya. Dan itu artinya mereka sedang dalam posisi menganiaya diri sendiri dengan tujuan agung yaitu menjadikan Allah Ta’ala ridha.
Tidak diragukan lagi, bahkan Allah Ta’ala pun menyebutkan bahwa orang yang berpuasa dengan penuh keimanan dan ihtisaban maka pahala-pahala yang akan diraih mereka adalah pemberian ampunan Allah Ta’ala, memperoleh rahmat-Nya, dijauhkan dari api, dan yang lebih luar biasa lagi karena Allah Ta’ala ridha dan juga senang dengan ibadah ini, maka pahalanya itu adalah Allah Ta’ala sendiri.
Ada tertera dalam sebuah hadits Qudsi Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصِّيَامَ، فَهُوَ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amalan anak Adam itu adalah (pahala) baginya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari No. 1795, Muslim No. 1151, Ibnu Majah No. 1638, 3823, Ahmad No. 7494)
Apabila Allah Ta’ala sudah menjanjikan pahala puasa itu dengan Dzat-Nya sendiri, maka artinya segala permintaan atau doa-doa kitapun akan terkabul sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ
”Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Ahmad No. 7450)
Keterangan hadits diatas ditegaskan kembali dalam firman-Nya yaitu dimana pengabulan doa di bulan Ramadahan adalah suatu keniscayaan, Allah Taala berfirman:
وَ اِذَا سَاَلَکَ عِبَادِیۡ عَنِّیۡ فَاِنِّیۡ قَرِیۡبٌ ؕ اُجِیۡبُ دَعۡوَۃَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ ۙ فَلۡیَسۡتَجِیۡبُوۡا لِیۡ وَ لۡیُؤۡمِنُوۡا بِیۡ لَعَلَّہُمۡ یَرۡشُدُوۡنَ
“Dan apabila hamba hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa-doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, karena itu hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku supaya mereka mendapat petunjuk”. (Qs. Al-Baqarah:187)
Jadi dengan penempatan ayat diatas pada rukuk yang membahas mengenai puasa bukan tanpa hikmah, karena sesuai dengan penjelasan diatas bahwa orang yang berpuasa itu sedang memposisikam diri dalam keteraniayaan, yang tujuannya untuk memperolah ridha Allah, maka imbalan dari itu semua adalah keterkabulan doa.
Namun mencapai pengabulan doa itu tidaklah mudah, karena ada syarat yang harus kita penuhi yaitu sesuai dengan firmnaya “hendaklah mereka menyambut seruan-Ku dan beriman kepada-Ku”. Dan dalam ayat lain Allah Ta’ala telah mengajarkan cara bagaimana seharusnya umat muslim berdoa dengan benar kepada Allah Ta’ala. Yakni berusahalah berdoa dengan tadharu atau merendahkan diri, sebagaimana Allah taala berfirman:
اُدۡعُوۡا رَبَّکُمۡ تَضَرُّعًا وَّ خُفۡیَۃً ؕ اِنَّہٗ لَا یُحِبُّ الۡمُعۡتَدِیۡنَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara rendah, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A’raf:56)
Inilah tentunya salah satu syarat dari pengabulan doa, yakni harus merendahkan diri dihadapan Allah Ta’ala, yang artinya kita tidak boleh takabur atau sombong, karena orang-orang yang demikian itu tidak dicintai Allah Ta’ala.
Dari kenyataan yang kita lihat sekarang ini, kita dapat melihat beberapa pemandangan kejadian ditengah masyarakat yang terdampak covid-19 ini, di antara mereka ada yang tidak dapat menunaikan ibadah tarawih di masjid sebagaimana biasanya, hal itu terjadi karena adanya himbauan untuk tidak sholat berjamaah disebabkan virus ini. Namun kenyataannya sangat ironis, dengan angkuhnya mereka mengatakan “kita tidak mesti takut virus, karena Allah Taala melindungi kita”. Dan inilah bentuk kegaduhan dan keangkuhan mereka, sikap pembangkangan mereka ini telah mencerminkan ketakaburan mereka.
Dengan melihat fenomena umat seperti ini, penting bagi kita untuk dapat mernungkan kembali bagaimana kita dapat memenuhi hak-hak ibadah puasa tersebut. Didalam suatu kesempatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan tarbiyat kepada kita supaya dalam puasa kita memperhatikan hal-hal yang dapat melenyapkan kualitas ibadah puasa kita, dalam hal ini beliau bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ-مَرَّتَيْنِ
Puasa adalah benteng, maka jangan berkata-kata kotor, dan jangan berlaku bodoh, Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang berpuasa (beliau mengulang ucapannya dua kali). (H.R. Bukhori)
Syarat ini sepertinya sangat berat dikerjakan bagi orang-orang yang kecendrungan batinnya berontak, pemarah dan juga dangkal dalam memahami hikmah-hikmah dari kejadian Covid-19 ini. Idealnya dengan adanya kondisi tersebut menjadikan mereka orang-orang yang merendahkan diri. Namun sayangnya realita itu terbalik, karena ada sebagian orang yang memiliki pemikiran buruk bahwa hak-hak mereka untuk beribadah di bulan puasa dibatasi. Bahkan tidak jarang orang-orang tersebut menuduh pemerintah telah berbuat zalim dan mengatakan bahwa “hanya pada zaman pemerintahan sekarang inilah ada ibadah dilarang-larang”. Tentunya pernyataan ini tidaklah benar, karena tujuan pemerintah membuat pelarangan tersebut adalah semata-mata dalam usahanya untuk memutus penyebaran mata rantai virus yang sangat berbahaya.
Sangat memprihatinkan dan juga ironi sekali suatu ibadah yang beberkat harus di dinodai dengan sikap keras kepala, takabur dan juga kasar. Maka apabila kita perhatikan perbuatan mereka ini lebih cendrung kepada perbuatan bagyun atau pemberontakan, sebagaimana Allah Taala Berfirman:
اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَ الۡاِحۡسَانِ وَ اِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَ یَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَ الۡمُنۡکَرِ وَ الۡبَغۡیِ ۚ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ
Sesungguhnya, Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada orang lain, dan memberi seperti kepada kerabat sendiri; dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan pemberontakan. Dia memberimu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran. (Qs. An-Nahl:91)
Keterangan ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan kerohanian manusia atau membahas tiga macam kebaikan dan 3 macam keburukan.
Dalam sudut pandang kebaikan ayat ini menganjurkan berlaku adil, berbuat baik kepada orang lain, dan kasih sayang antara kaum kerabat.
Dan dari segi keburukan ayat ini telah menggambarkan tiga jenis keburukan, yakni Fahsyā’ (perbuatan yang tidak senonoh), Munkar (keburukan yang nyata), dan Baghy (pelanggaran keji).
Keterangan lebih lanjut mengenai kata Munkar mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku dosa itu. Akan tetapi baghy merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak, dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. ( Tafsir Singkat editor Malik Ghulam farid Surah An-Nahl: 90)
Tiga keburukan atau dosa inilah yang tengah dipertontonkan oleh sebagian orang yang sedang beribadah puasa pada masa pandemic ini, mereka mempertahankan ego mereka untuk tetap melanggar ketentuan yang telah di buat oleh pemerintah.
Idealnya kita paham dengan kondisi saat ini, jangankan karena adanya pendemic, bahkan sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat bahwa, karena diakibatkan hujan dan jalan berlumpur, orang-orang diperintahkan untuk sholat di rumah-rumahnya saja. Pada waktu itu panggilan adzan di Masjid yang semula di seru dengan kalimat حي على الصلاه (marilah kita sholat), dirubah panggilannya menjadi الصَّلاَةُ فِي الرِّحَالِ yakni sholat berjamaahnya dirumah saja. sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ رَدْغٍ، فَلَمَّا بَلَغَ الْمُؤَذِّنُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ. فَأَمَرَهُ أَنْ يُنَادِيَ الصَّلاَةُ فِي الرِّحَالِ. فَنَظَرَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالَ فَعَلَ هَذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَإِنَّهَا عَزْمَةٌ.
Dari [‘Abdullah bin Al Harits] berkata, “Pada suatu hari ketika jalan penuh dengan air dan lumpur (becek) akibat hujan, [Ibnu ‘Abbas] pernah menyampaikan khutbah kepada kami. Ketika mu’adzin sampai pada ucapan: ‘Hayya ‘Alash shalaah (Marilah mendirikan shalat) ‘ ia perintahkan mu’adzin tersebut untuk menyerukan: ‘Shalatlah di tempat tinggal masing-masing’. Lalu orang-orang saling memandang satu sama lain karena heran. Maka Abdullah bin Al Harits pun berkata, “Hal yang demikian ini pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik darinya, dan itu merupakan kewajiban Mu’akkad (yang ditekankan).” (Bukhari – No. 581)
Dikuatkan dalam keterangan hadits yang lain dalam Sunan Abi Dawud, mengenai tidak diterimanya sholat seseorang apabila memaksakan diri untuk sholat dalam kondisi yang tidak baik yaitu dalam kondisi takut dan juga sakit, Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى
Dari [Ibnu Abbas] dia berkata; Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mendengarkan adzan dan tidak punya alasan sehingga tidak menjawabnya (tidak mendatanginya) -para sahabat bertanya; Apakah alasan (udzur) itu? Beliau menjawab: “Takut atau sakit-, maka tidak diterima shalat yang dia kerjakan. (Sunan Abu Daud, No. 464)
Jadi alasannya amat jelas, bahwa dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ini merupakan keputusan yang tepat dikarenakan adanya wabah yang dapat menimbulkan kekhawatiran, penyakit menular bahkan kematian.
Kita harusnya dapat mengambil pelajaran dari beberapa kejadian yang telah menimpa beberapa jamaah yang tetap ngotot mengadakan sholat berjamaah di Masjid, sesuai dengan berita yang sudah viral bahwa ada banyak warga masyarakat dibeberapa daerah telah terjangkit covid-19. Dan ternyata tertularnya mereka itu karena tidak mengindahkkan seruan pemerintah, dengan tetap mengadakan kegiatan ibadah di Masjid.
Inilah tentunya yang harus menjadi perhatian kita bersama, apabila kita ingin supaya wabah ini segera berkhir, maka hilangkan ego, keras hati dan takabur dalam diri kita dengan mematuhi segala peraturan yang ada. Dengan demikian output dari menjalankan ibadah ramadhan ini akan berbuah pada semakin meningkatnya sikap sabar dan tadharu kita. Sehingga ganjaran dari semua itu, menjadikannya layak mendapatkan pahalanya.
Namun sebaliknya, apabila dalam puasa itu yang dimunculkan adalah sikap arogan, pemarah dan cendrung kepada pertengkaran, maka inilah yang disebut sebagai puasa yang sia-sia. Yang mengenainya Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda;
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya).