Oleh : Mln. Muhammad Hasyim
Tren penggunaan media sosial di era mineal ini telah menjadi lahan subur bagi tersebarnya berita-berita bohong atau yang biasa disebut dengan hoax.
Kondisi ini diperparah dengan kultur masyarakat yang miskin literasi, yang kemudian ini seolah menjadi pupuk penyubur yang membuat hoax semakin menjamur. Ironisnya lagi kondisi ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoax demi kepentingan dan keuntungan pribadi maupun kelompok mereka.
Tentunya kebohongan apapun bentuk dan coraknya, selalunya dianggap negatif dalam budaya manapun, karena sejatinya secara fitrat manusia menyukai kejujuran. Tengoklah seorang bayi, ia tidak suka jika diberikan susu dari buah dada orang lain selain ibunya. Bahkan ia bisa menderita, karena ia tahu bahwa itu bukan miliknya. Inilah potensi kejujuran yang sejak lahir sudah tertanam dalam fitrat seorang manusia.
Pada dasarnya seorang manusia, selama tidak ada motif pribadi yang menggerakannya, ia tidak akan berbohong. Di dalam hati manusia terdapat suatu bentuk kebencian terhadap kebohongan. Oleh karena itulah kita tidak menyukai seseorang yang telah terbukti dengan jelas berbohong dan melihatnya dengan pandangan hina.
Begitu pula jika diukur dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat kebohongan selalu dianggap sebagai perbuatan rendah dan tidak bermartabat. Kita lihat dalam norma agama, dalam hal ini yang diajarkan oleh Islam. Bagaimana Islam mengajarkan bahwa kebohongan adalah akar dan sumber dari segala keburukan.
Sebuah riwayat yang populer dalam hadis Nabi s.a.w. meriwayatkan :
“Suatu ketika seseorang mengatakan kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w., ”Berikanlah aku suatu nasihat yang bisa aku amalkan, karena di dalam diriku terdapat banyak sekali keburukan, dan aku merasa tidak sanggup meninggalkan semua keburukan itu sekaligus.”
Beliau s.a.w. menjawab, “Berjanjilah kamu akan selalu berkata jujur dan tidak akan pernah berkata bohong.” Dengan cara seperti inilah kemudian satu persatu keburukan yang ada di dalam dirinya terlepas, karena setiap kali terlintas di benak orang itu untuk berbuat suatu keburukan maka bersamaan dengan itu pun ia berpikir bahwa jika ia tertangkap, maka akan dihadapkan kepada Hadhrat Rasulullah s.a.w. sedangkan ia telah berjanji kepada beliau s.a.w. untuk tidak berkata dusta. Jika ia berkata jujur mengakui perbuatannya maka ia akan malu dan dijatuhi hukuman.
Demikianlah, dengan cara seperti ini perlahan-perlahan ia terbebas dari seluruh keburukannya itu. Benarlah bahwa sejatinya dusta adalah akar dari semua keburukan.
Tidak berhenti sampai di situ, Islam bahkan menggolongkan perkataan bohong ini sebagai suatu bentuk syirik, yaitu perbuatan menyekutukan Allah Ta’ala.
“Maka jauhilah berhala yang najis, dan jauhilah perkataan dusta.” (Al-Hajj:31)
Dalam ayat ini ‘kebohongan’ telah disandingkan dengan ‘berhala’. Dan memang pada hakikatnya kebohongan itu sendiri adalah suatu berhala. Seseorang yang berkata bohong akan bergantung kepada kebohongannya dan akan meninggalkan kebergantungannya kepada Tuhan.
Sebagaimana sebuah berhala yang tidak memiliki arti apa-apa dibaliknya kecuali hanya merupakan suatu benda buatan yang diukir saja, demikian juga dibalik perkataan dusta tidak memiliki hakikat apa-apa dibaliknya.
Lebih lanjut, di dalam Islam kebiasaan berbohong dikategorikan sebagai salah satu ciri dari kemunafikan. Di dalam Shahiih Muslim terdapat sebuah hadis, di mana Abdullah Bin Umar Wa Ibnu Al-‘Aash r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Ada empat perkara, yang jika kesemuanya itu didapati di dalam diri seseorang maka ia adalah sungguh-sungguh seorang munafik. Dan barangsiapa yang di dalam dirinya didapati salah satu dari ciri-ciri tersebut, maka di dalamnya dirinya ada satu potensi dari kemunafikan, sampai ia meninggalkannya.
Ketika berbicara, ia berbohong. (Pembicaraannya dicampuri dengan kebohongan)
Ketika mengadakan suatu kesepakatan, ia melanggarnya.
Ketika berjanji ia mengingkari. (ini juga salah satu bentuk dari kebohongan.)
Ketika bertengkar, ia mencaci-maki.
Semua perkara ini di dalamnya terdapat unsur kebohongan.
Di sisi lain, kita juga melihat bahwa seseorang yang pembohong juga identik dengan sifat pembangkangan dan ketidak-patuhan di dalam dirinya. Ada satu hadis berkenaan dengan ini, di mana Hadhrat Imam Malik r.h. meriwayatkan:
“Telah sampai kepadaku hal ini bahwa Abdullah bin Mas’uud r.a. mengatakan, “Senantiasalah berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Hindarilah kebohongan karena kebohongan akan membawa kepada ketidak-patuhan dan ketidak-patuhan akan membawa kepada neraka. Apakah anda tidak tahu bahwa, seseorang yang berkata jujur maka ia akan menjadi seseorang yang taat, dan seseorang yang berkata dusta akan terjerumus ke dalam dosa?.”
Seorang muslim yang sejati seyogyanya memperhatikan nilai-nilai kejujuran ini dan berusaha menjauhi kebohongan hingga pada level terendah sekalipun. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda bahwa jika ada seseorang yang memanggil anaknya dengan mengiming-imingi akan memberikan sesuatu, padahal ia tidak memberikan apapun kepadanya, ini pun sudah termasuk kategori kebohongan. Apalagi hoax yang disebar ke media sosial dan ribuan orang menjadi korbannya.
Jagalah nama baik dengan senantiasa berkata jujur, karena kredibilitas seorang pendusta akan terus berkurang, sehingga ketika ia berkata benar sekalipun, orang-orang akan beranggapan bahwa di dalam perkataanya pasti ada unsur-unsur kebohongan.
Dan jika seorang pembohong menginginkan sifat bohongnya berkurang, maka tidak akan bisa hilang dengan cepat. Ia harus berusaha keras dalam waktu yang lama, barulah akan tumbuh di dalam dirinya kebiasaan untuk berkata jujur. Semoga kita terhindar dari hal itu.