Oleh: Ahmad Shalahuddin M*
Sirr al-Qur’an wa lubabuhu al-ashfa, wa maqshaduh al-aqsha da’wat al-‘ibadi ila al-Jabbar al’A’la.
“Rahasia al-Qur’an, dan intinya paling cemerlang, serta tujuannya yang pokok adalah “undangan” untuk para hamba menuju kepada Tuhan”. (Imam Ghazali – Jawahir al-Qur’an)
Suatu hari, tersebutlah seorang Hisyam bin Amir bertanya kepada istri Rasulullah SAW—‘Aisyah RA, “seperti apa akhlak Rasulullah SAW?”. ‘Aisyah menjawab, “akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’an”. Demikian bunyi sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Bukhari serta Muslim. Dalam riwayat ini, jawaban ‘Aisyah begitu singkat, namun sarat makna. Dia menyifati Rasulullah SAW dengan satu sifat yang dapat mewakili seluruh sifat yang ada. Memang tepat, akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’an.
Jiwa Rasulullah Muhammad SAW merangkum banyak akhlak mulia. Ibnu Qayyim menyatakan, Rasulullah SAW memadukan takwa kepada Allah dan sifat-sifat luhur. Ketakwaan dapat memperbaiki hubungan antara seorang hamba dan Allah Ta’ala. Adapun akhlak mulia dapat memperbaiki hubungannya dengan sesama makhluk/ciptaan. Jadi, takwa kepada Allah SWT akan melahirkan cinta seseorang kepada-Nya, sedangkan akhlak mulia dapat menarik cinta manusia kepadanya.
Pada masa permulaan dakwah Islam, Nabi Muhammad SAW tidak hanya membangun sisi tauhid, tetapi juga membangun sendi dan pilar akhlak mulia. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Anas RA berkata, “Sungguh, Rasulullah SAW benar-benar manusia dengan akhlak paling mulia. (HR Bukhari-Muslim).
Anas RA juga berkata, “Selama 10 tahun aku berkhidmat kepada beliau (Rasulullah), aku tidak pernah mendengar beliau mengucapkan kata “Ah”, sebagaimana beliau tidak pernah mempertanyakan apa yang kau kerjakan, ‘Kenapa kamu mengerjakan ini? atau ‘Bukankah seharusnya kamu mengerjakan seperti ini?” (HR Bukhari-Muslim).
Pada abad ke-21 ini, Rasulullah SAW secara fisik tidak bersama umat muslim, namun beliau meninggalkan pusaka al-Qur’an kepada umatnya belakangan hari. Saat ini, al-Qur’an berupa teks, adalah sebuah bacaan yang paling banyak dibaca oleh umat manusia di muka bumi. Sebuah bacaan mulia, kalam yang diberkati. Sebuah kitab suci yang seyogianya tidak sekadar dibaca, namun termanifestasi ke dalam laku kehidupan sehari-hari.
Yang nyata, bagi umat muslim, al-Qur’an adalah rujukan serta pandu bagi kehidupan. Di dalamnya ada petunjuk (hudan), kabar gembira (basyir) dan peringatan (nadzir). Petunjuk yang universal, yang membawa pesan-pesan kepada seluruh umah manusia (hudan li an-naas). Pesan berupa kabar gembira sekaligus peringatan kepada umat manusia tentang segala kebaikan yang bisa mengantarkan umat manusia kepada kebahagiaan dunia akhirat.
“Bacalah al-Qur’an sebagaimana al-Qur’an diturunkan kepadamu”, kata Imam Ali bin Abi Thalib. Jika kita melihat konteks Rasulullah, pada diri Rasulullah—kita sudah membaca serta melihat al-Qur’an sekaligus pada dirinya, dalam laku sehari-harinya. Terlihat dalam laku sehari-hari yang kemudian hari umatnya jadikan contoh.
“Rasulullah adalah al-Qur’an berjalan”, demikian kira-kira analogi riwayat di atas. Dari sini kita dapat memahami bahwa al-Qur’an dan Rasulullah SAW sudah bersenyawa alias sudah menjadi satu. Ini berarti kehidupan Rasulullah merupakan manifestasi riil Al Quran. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa akhlak beliau adalah, ‘Al Quran berjalan’.
Ketika Al-Quran berbicara masalah iman, Rasulullah selalu berada di garda depan. Sebelum mengajak manusia beriman, beliau terlebih dahulu yang memancangkan iman di dalam hatinya. Mendorong iman dalam dirinya. Rasulullah mulai dari diri sendiri.
Di samping itu, al-Qur’an memiliki tema yang begitu rupa macamnya. Dari yang bercorak hukum, tentang alam semesta, penciptaan, kisah Nabi-Nabi terdahulu serta umat pra-Islam, hingga kabar tentang hari akhir (eskatologis). Salah satu tema yang kerap kali muncul ialah tentang umat terdahulu sebelum lahirnya Islam, misalnya umat Yahudi atau umat Kristen.
Dalam al-Qur’an misalnya, membaca pesan tentang umat Yahudi tidak bertujuan untuk mencari siapa Yahudi di antara kita atau kita me-Yahudi-kan orang lain. Melainkan, jauh daripada hal itu, yakni untuk tidak mengulangi hal-hal yang buruk atau tindakan yang berlebihan yang dulu dilakukan umat Yahudi pada era itu. Begitu juga dengan kisah umat-umat lainnya.
Membaca kisah-kisah lainnya dalam al-Qur’an, dibaca bukan menjadi alat untuk menilai atau bahkan menghakimi serta untuk menilai kafir tidaknya orang lain. Hal ini justru berbalik merendahkan nilai serta martabat al-Qur’an sebagai inspirasi iman serta penerang jalan bagi umat muslim.
Dari sini, kita kembali melihat Rasulullah SAW yang berangkat tidak dari hal yang artifisial alias remeh-temeh, namun pada substansi makna al-Qur’an. Mulai dari tauhid yang tidak terhenti di bibir saja, namun berbuah menjadi tindakan sehari-hari seperti penghambaan paripurna kepada Sang Kekasih Allah Ta’ala, kebijaksaan memutuskan perkara, memuliakan sesama manusia hingga membuatnya dikagumi dan menjadi teladan (role model) banyak orang waktu itu yang kemudian membentuk komunitas umat beriman di tengah maraknya dehumanisasi pada paruh pertama abad ke-7 di Mekkah dan Madinah.
Tak pelak, seorang intelektual Amerika—Michael Hart dalam bukunya yang berjudul “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” meletakkan Nabi Muhammad SAW di posisi pertama manusia paling berpengaruh dalam sejarah. Hart mengatakan bahwa Muhammad sangat sukses di ranah agama dan sekuler. Lebih jauh, Muhammad adalah seorang pemimpin sekuler dan juga seorang pemimpin agama. Bahkan, sebagai kekuatan pendorong di belakang penaklukan Arab, ia mungkin peringkat sebagai pemimpin politik paling berpengaruh sepanjang masa.
Karir kenabian Muhammad SAW baru bermula pada sekitar abad 7 M yang lalu, namun masih begitu terasa inspirasinya hingga kini. Oleh karena Nabi Muhammad “Sang Nabi Cinta”—meminjam istilah Craig Considine, seorang Katolik Amerika menemukan sifat rahmah serta ajarannya yang mengutamakan kasih sayang. Dari sini, terlihat bagaimana Nabi Muhammad membawa spirit al-Qur’an tidak sekadar konsep dalam kitab suci, namun eksis dalam laku sehari-hari yang mengilhami dan dirasakan oleh semua orang.
Di dalam diri Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an tidak sekadar terhenti sebagai bacaan—terlebih hafalan. Namun, berbuah menjadi tindakan konkrit atau amaliyah yang mengubah sang diri muslim sendiri. Hingga pada saat membaca al-Qur’an, membaca (baca:memahami) diri sendiri adalah hal yang tidak kalah penting untuk menyelami samudera makna al-Qur’an untuk kemudian menemukan mutiara hikmah di dalamnya.
Pada diri Rasulullah SAW sebagai “al-Qur’an berjalan” itu. Al-Qur’an tidak digunakan untuk menilai orang lain, namun digunakan untuk menilai diri sendiri. Dari tataran diri sendirilah yang berikutnya akan mengubah semua hal di luar sang diri. Bukankah Sang Pencipta tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah dirinya sendiri? Wallahu a’alam.
*Penulis adalah Alumni UIN Sunan Kali Jaga, Jogjakarta. Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Kristen Duta Wacana Jogjakarta. Aktivis YIPC Jogjakarta.