Demokrasi telah menjadi satu bentuk pemerintahan yang dipraktekkan mayoritas negara di dunia, dengan berbagai variasi penerapannya, termasuk Indonesia. Universalitas demokrasi pada dasarnya bersumber dari nilai dasar tentang kesetaraan (equality) dan kebebasan individu (individual liberty) yang menjadi harapan kodrati manusia (Catt 2002). Oleh karena itu, di dalam bentuk pemerintahan yang demokratis ini, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam proses- proses pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perwakilan mereka (Catt 2002).
Dalam konteks tersebut, kehadiran kaum perempuan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Bahkan diyakini bahwa jika hendak membentuk masyarakat demokrasi yang kuat, tidak hanya sekedar membutuhkan adanya penegakan hukum dan prosedur-prosedur demokrasi semata, namun yang terpenting adalah adanya keseimbangan partisipasi aktif dan perwakilan politik antara perempuan dan laki-laki (Fuchs and Hoecker 2004).
Merujuk pada pendapat Bari (2005), paling tidak terdapat dua alasan mendasar mengapa perempuan perlu hadir dalam berbagai arena pengambilan keputusan. Pertama, terkait dengan konsep intrinsic argument yang menggunakan perspektif hak asasi manusia di mana perempuan merupakan setengah dari penduduk dunia, dan karenanya harus memiliki kesetaraan dalam hal partisipasi dan keterwakilan dalam proses-proses pengambilan keputusan. Kedua, merujuk pada instrumentalist argument, yakni bahwa secara empiris laki-laki dan perempuan memang berbeda. Oleh karenanya, berkonsekuensi pada perspektif politik dan fokus yang berbeda. Diyakini bahwa perempuan akan membawa nilai-nilai feminis ke dalam arena politik.
Argumentasi yang tidak kalah penting disampaikan oleh lembaga Inter Parliamentary Union(1999) yang menggarisbawahi bahwa proses demokrasi yang efektif harus ditopang oleh kerjasama yang sungguh-sungguh (genuine partnership) antara kaum perempuan dan laki-laki. Kedua belah pihak bekerja setara dan saling melengkapi, serta saling memperkuat. Proses pengambilan keputusan harus berlandaskan pada kesetaraan dan keterwakilan.
Berdasarkan argumentasi tersebut, pada dasarnya demokrasi dilandasi oleh pemikiran dan harapan bahwa kaum perempuan akan mewakili dan memperjuangkan beragam perspektif dan kepentingan perempuan (women’s interests), misalnya terkait isu kesehatan dan pendidikan perempuan dan anak, isu lingkungan dan isu-isu sosial lainnya dalam beragam arena pengambilan keputusan. Pada gilirannya, luaran dari berbagai proses pengambilan keputusan tersebut diharapkan akan merefleksikan dan memfasilitasi terwujudkan kepentingan perempuan.
Dalam hal ini, The Asia Foundation (2016) menggarisbawahi bahwa partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan pengambilan keputusan merupakan dasar untuk mewujudkan masyarakat yang adil, pemerintahan yang efektif, dan hasil pembangunan manusia yang lebih baik.
Ketika perempuan mampu berkontribusi pada keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka – sebagai warga negara yang aktif; pemilih yang berpendidikan; dan pemimpin yang efektif – seluruh komunitas akan mendapatkan keuntungan. Singkatnya, untuk bisa efektif dan dapat memfasilitasi berbagai keuntungan yang dijakdikan oleh system demokrasi, kesetaraan dan keterwakilan antara kaum perempuan dan laki-laki baik secara jumlah maupun level pengaruhnya dalam proses pengambilan keputusan menjadi keharusan.
Demokrasi tidak akan menjadi demokrasi yang sesungguhnya, manakala suara perempuan tidak diakomodasi dalam legislasi, lembaga maupun proses-proses politik. Demokrasi tidak akan menjadi demokrasi yang sesungguhnya, ketika tidak ada pelibatan aktif perempuan di berbagai arena politik. Mantan Menteri Luar Neteri AS Madeline K Albright pernah mengatakan “Success without democracy is improbable; democracy without women is impossible”. Tanpa perempuan, hanyalah setengah demokrasi.
Penulis: Dra. Mudiyati Rahmatunnisa, M.A., PhD. (Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung)
Tulisan merupakan naskah untuk tayangan Love for All TV “Half Full Half Empty” Episode 4; Tanpa Perempuan, Hanya Setengah Demokrasi
Daftar Pustaka
Bari, Farzana. 2005. “Women’s Political Participation: Issues and Challenges.” https://pdfs.semanticscholar.org/5692/9580a608ee4677031f77c86309e2468fe fd2.pdf.
Catt, Helena. 2002. Democracy in Practice. London & New York: Routledge. Fuchs, Gesine, and Beate Hoecker. 2004. Without Women Merely A Half-
Democracy: The Political Participation of Women in the East European Accession States. European Politis. New Delhi: Friedrich-Ebert-Stiftung. http://library.fes.de/pdf-files/id/02611.pdf.
Inter Parliamentary Union. 1999. “Participation of Women in Political Life.” 35.
Geveva. http://archive.ipu.org/PDF/publications/womenplus5_en.pdf. The Asia Foundation. 2016. “Women in Asia.” San Francisco. www.asiafoundation.org.