Tampilan Google Doodle pada 22 April sedikit menarik perhatian. Citra Google Earth menunjukkan perubahan iklim yang memberikan banyak dampak bagi lingkungan. Padahal, salah satu upaya pencegahannya bisa kita lakukan sembari memaknai Ramadan yang sedang berjalan.
Ada 4 tampilan yang menarik di Google Doodle dan semuanya mencerminkan kondisi yang (seharusnya) memprihatinkan. Gletser-gletser yang mulai mencair di Puncak Kilimanjaro, pemutihan karang dan juga penghancuran hutan oleh kumbang kulit kayu di Jerman.
Sekilas, bisa saja hal tersebut merupakan fenomena alam yang biasa. Gletser atau gundukan es dan salju pasti akan mencair, demikian halnya kumbang kulit kayu yang pasti mencari tetumbuhan untuk kebutuhan rantai makanannya.
Namun seharusnya manusia sebagai penduduk bumi yang paling berakal segera sadar, bahwa ini semua terjadi karena emisi gas rumah kaca dalam ambang batas yang berlebih. Emisi inilah yang menjadi penyebab utama dari perubahan iklim, yang sekarang sedang terjadi.
Emisi rumah kaca merupakan salah satu concern SDGs yang ingin dicapai pada 2030. Sebuah jargon “No One’s Left Behind in 2030” termasuk di dalamnya keberlangsungan kehidupan alam dan kelestarian lingkungan sebagai sumber daya yang mendukung kehidupan manusia.
Tidak akan ada yang berguna dari manusia jika dia hidup di alam yang mati atau lingkungan yang rusak. Tentu saja, karena sudah tidak ada yang bisa bermanfaat di tempat itu, maka tidak akan ada gunanya juga segala potensi yang dimiliki oleh manusia. Maka bayangkan, jika lingkungan rusak itu adalah seluruh bagian dan seisi bumi.
Siapapun harus sadar bahwa perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengubah komposisi atmosfer. Hal itu diikuti dengan berubahnya variabilitas iklim dalam kurun waktu tertentu.
Meskipun perubahan iklim bisa terjadi secara alami, namun PBB sepakat bahwa aktivitas manusia menjadi penyebab utamanya, dan yang paling utama adalah karena pembakaran bahan bakar fosil. Barangkali isitilah tersebut tidak familiar di telinga, padahal sering kita lakukan. Bahan bakar fosil tidak lain adalah batu bara, minyak dan gas.
Ketika semua bahan tersebut dibakar, maka karbondioksida sebagai gas yang menyerap dan memancarkan panas akan lepas ke udara dan memerangkap panas di atmosfer bumi. Inilah yang sering kita dengar sebagai efek rumah kaca yang menyebabkan peningkatan suhu rata-rata bumi.
Kenaikan suhu rata-rata bumi ini bukan sekadar menyebarkan gelombang panas yang terjadi di beberapa tempat. Lebih jauh lagi, bencana alam sesederhana banjir, kekeringan dan badai juga menjadi akibat dari peningkatan suhu bumi ini.
Kembali pada Google Doodle tentang Gletser yang mencair seharusnya sudah membuat manusia paham tentang peningkatan suhu ini. Bukan hanya itu, dampak pada satwa yang kehilangan keseimbangan ekosistemnya karena panas dan kering pun menjadi sebab serangan satwa liar yang mulai keluar dari habitatnya.
Dampak dan Solusi Perubahan Iklim
Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menggarisbawahi beberapa dampak perubahan iklim yang harus disikapi yaitu siklus air, pola curah hujan, kenaikan permukaan laut, pencairan lapisan es dan gelombang panas di laut maupun darat.
Peningkatan temperatur di kota-kota bisa dicermati sebagai salah satu efek yang kerap dirasakan. Ketika temperatur di perkotaan terasa lebih gerah dari biasanya dan lebih sering banjir ketika musim hujan tiba, maka jangan anggap hal ini hanya masalah pengelolaan drainase saja.
Bagian pesisir akan terus mengalami peningkatan permukaan laut, yang akibatnya tidak lain adalah memperparah banjir di pesisir dan daratan. Apalagi, dengan bayang-bayang gletser atau lapisan es dan salju yang mulai mencair hingga menghilang di beberapa puncak.
Melalui tujuan SDGs nomor 13, PBB memberikan himbauan terkait hal ini dengan solusi yang harus kita lakukan bersama. Dalam hal ini, semangat Ramadan dan ibadah puasa juga bisa menjadi pendorong untuk menyelamatkan bumi.
PBB menghimbau untuk mengurangi efek rumah kaca salah satunya adalah dengan mengurangi membuang makanan. Sebuah spirit “menahan nafsu” yang kerap kita dengar, namun barangkali belum sepenuhnya dilaksanakan.
Mengurangi membuang makanan adalah sebuah langkah konkret mengurangi efek rumah kaca yang mengancam perubahan iklim. Ketika makanan dibuang, jangan hanya berpikir sepotong, sesendok atau sekerat makanan saja. Namun pikirkan juga sumber daya dan energi yang digunakan untuk menghasilkan makanan tersebut.
Ada rantai yang sangat panjang mulai dari menanam, memproduksi sampai mendistiribusi makanan tersebut, yang juga harus terbuang. Apalagi, efek yang lebih besar yang tidak pernah disadari oleh banyak orang.
Ketika makanan membusuk di tempat pembuangan, ada gas metan yang dikeluarkan dari proses pembusukan tersebut. Gas tersebut lah yang akan ikut memerangkap panas di udara dan atmosfer, sehingga memperburuk efek rumah kaca.
Kurangi dan pikirkan kembali untuk menghamburkan makanan. Membuang makanan mungkin akan membuat meja makan dan rumah kita bersih. Namun, dalam jangka waktu tertentu, hal ini buruk untuk bumi yang juga menjadi rumah kita bersama.
Penulis: Rahma Roshadi, Sekjen Badan Semi Otonom Sustainable Development Goals Ikatan Alumni FH UNDIP.