Demokrasi kerap didapuk sebagai pencetus perubahan kedaulatan atau pemerintahan sebuah negara. Bahkan, demokrasi juga mendapatkan hari “ulang tahunnya” secara internasional pada tanggal 15 September. Namun, apakah kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan dari keberlangsungan demokrasi?
Menurut Astawa (2017), demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara yang memberikan kesetaraan hak bagi rakyatnya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan negara sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, rakyat juga diberi kekuasaan yang tinggi dalam sistem pemerintahan. Hal itu ditandai dengan penting dan dibutuhkannya suara rakyat. Sehingga sering diungkapkan dengan “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Melihat kedua penjabaran tersebut, terlihat kekuasaan memang seolah menjadi tujuan utama dari pelaksanaan demokrasi. Apalagi jika mengurai asal kata ini yaitu demos yang berarti orang atau rakyat, dan kratos yang berarti peraturan. Maka akan didapatkan Inti dari konsep demokrasi ini yaitu peraturan dan pemerintahan berdasarkan suara terbanyak dari rakyat. Jadi, segala keputusan yang ada harus didasari oleh suara mayoritas.
Socrates dan Kebenciannya pada Demokrasi
Meski terlihat dan terdengar sebagai mekanisme yang adil, konsep demokrasi yang lahir di Yunani tersebut bahkan pernah ditentang oleh seorang filosof dari negara asalnya. Socrates, seorang Yunani yang tak banyak menulis sehingga sedikit yang mengetahui kiprah kehidupannya, adalah salah satu yang membenci demokrasi.
Plato, sang murid, menceritakan dalam tulisannya bagaimana Socrates menganalogikan demokrasi sebagai sebuah kapal yang hendak berlayar. Ketika semua orang sudah tak sabar ingin naik dan mengarungi samudera, beberapa orang harus sibuk untuk menentukan siapa saja yang boleh naik dan siapa juga yang akan jadi nahkodanya.
Alhasil, terpilihlah seseorang dengan suara terbanyak, meskipun ia bukanlah seorang yang ahli dalam navigasi dan teknik pelayaran. Sementara itu, ada orang yang menguasai dengan baik bagaimana seharusnya berlayar di samudera, namun tidak terpilih karena ia tidak mempunyai cukup “teman”.
Bayangkan, jika hal ini terjadi di sistem pemerintahan, yang menyebabkan sistem tersebut akan dipimpin oleh seseorang yang entah di level mana kelincahan manajerialnya mengelola negara. Maka nasib rakyat akan benar-benar bergantung pada suara mayoritas yang entah mengarahkan kepada siapa.
Dengan analogi ini sepertinya wajar jika Socrates membenci demokrasi. Meskipun akhirnya demokrasi jugalah yang menentukan akhir hidup Socrates. Hukuman mati dengan minum racun harus dilakukan setelah 280 orang dari 500 orang juri menyatakannya bersalah atas tuduhan menimbulkan “kegaduhan” berpikir di masyarakat Yunani.
Ada Toleransi dalam Demokrasi
Kembali kepada sebuah pertanyaan besar di awal tulisan ini tentang tujuan demokrasi, penulis melihat perspektif yang sedikit lebih tenang daripada sekadar perebutan kekuasaan. Ketika mengamati setiap perhelatan pesta demokrasi, maka siapapun yang terpilih dengan suara terbanyak akan menjadi pihak yang harus dihormati sebagai pemenangnya.
Toleransi. Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan “side effect” dari demokrasi. Sistem ini mendidik para penganutnya untuk mau menerima dan menghargai pendapat yang berbeda, serta menghormati keputusan yang diambil pihak lain.
Di sepanjang sejarah Indonesia, demokrasi memberikan banyak pengalaman manis dan getir. Mulai dari euphoria pemilihan presiden hingga lepasnya Timor-Timur dari NKRI, adalah hasil suara mayoritas yang telah menjadi keputusan dan harus dihormati. Meski tidak semua orang akan bahagia dengan suara mayoritas, namun demokrasi juga telah mengajarkan untuk tidak memaksakan pemikiran dan pilihan kepada semua orang.
Dengan pelajaran tentang menghargai perbedaan, demokrasi mengajarkan banyak orang untuk menyadari adanya kehidupan di tengah keberagaman pemahaman. Kematian Socrates pun sebuah contoh bahwa tak selamanya ia bisa memaksakan filosofinya kepada pemuda-pemudi Yunani, tentang ke-Esaan Tuhan.
Meskipun Socrates mendapat tawaran untuk pergi dari Athena agar tidak dihukum mati, namun ia tetap tinggal dan memilih menjalani hukumannya, bersama keyakinannya. Hal ini barangkali berarti, para penganut demokrasi di Yunani sudah memberikan toleransi bagi Socrates untuk menentukan nasib hidupnya sendiri, meskipun akhirnya demokrasi juga yang “membunuh” Socrates bersama keyakinannya.
Selamat Hari Demokrasi Internasional.
(Redaksi)
Referensi:
Negara dan Sistem Pemerintahan – Panti Rahayu (2014)
Demokrasi Indonesia – I Putu Ari Astawa (2017)
https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/why-socrates-hated-democracy/
https://https://www.britannica.com/biography/Socrates/The-perceived-fragility-of-Athenian-democracy/