By: Mln. Arif Rahman Hakim, Surabaya[1]
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Qs. Thoha, 20:14
Dalam ayat tersebut dizahirkan Tauhid Illahi dengan hebatnya; Sesungguhya Aku-lah Allah, selain dari Aku tidak ada yang layak disembah. Maka dari itu beribadahlah kepada-Ku, dan dirikanlah shalat untuk berzikir kepada-Ku dengan terus menerus.
Di dalam ayat ini tidak ada masalah baru, bagi setiap orang Islam tidak ada hal baru yang belum diketahui. Memang banyak orang yang membacanya dan sering membacanya, akan tetapi tidak merenungkannya secara sungguh-sungguh apa yang terkandung di dalamnya.
Jadi, perihal “keharusan menyembah Tuhan” sudah dipahami dan dimengerti oleh semua orang Islam. Akan tetapi mengapa hal tersebut dijelaskan dengan khusus dan secara tegas? Umpamanya, bila dikatakan “makanlah kamu supaya rasa lapar hilang”, maka anak kecil pun mengetahuinya bahwa bila seseorang makan pasti dia kenyang dan rasa laparnya akan hilang.
Perhatikanlah, perkataan yang sederhana dan bersifat umum seperti itulah yang dinyatakan secara tegas dan lugas. Dengan demikian dapatkah diketahui bahwa Allah Swt ingin memberi suatu peringatan kepada orang lalai yang tidak mengerti. yakni sekali pun dia melihat; akan tetapi melewatinya begitu saja, seolah-olah tidak melihatnya bahkan dia tidak peduli dan merasa tidak perlu untuk melihatnya karena dia sudah mengetahuinya, padahal ia sama sekali tidak mengetahui.
Semua hal yang telah dijelaskan dalam ayat ini adalah masalah yang telah dilupakan oleh manusia. Allah Swt berfirman: إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ “Aku adalah Allah, tidak ada yang layak disembah selain Aku”. Sebab, pada hakikatnya manusia telah membuat banyak sembahan-sembahan selain Allah. Mereka telah mengikuti hawa nafsunya, mereka tidak mengetahuinya dalam kehidupan mereka sehari-hari, bahwa lidahnya hanya mengikrarkan satu Tuhan saja, akan tetapi nafsunya, pikirannya, amalannya menyembah kepada benda lain selain Allah.
Oleh karena itu, setelah pengumuman tersebut, Allah Swt berfirrnan: وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ “Dirikanlah shalat untuk mencari keridhaan-Ku semata”. Kita semua mengetahui bahwa tujuan mendirikan shalat adalah untuk berdzikir kepada Allah. Tetapi haruslah direnungkan oleh setiap Muslim serta memperhatikannya, apakah shalatnya itu untuk mengingat Allah atau tidak? apakah benar dalam shalatnya penuh dzikir llahi atau tidak? Setiap orang berdasarkan pengalamannya dapat melihat keadaan shalatnya masing-masing.
Tetapi bila dia melihatnya secara benar, maka dirinya sendiri akan menjawab secara pasif, sebab Sholatnya tidak dilakukan untuk Allah. Oleh karena itu, lakukanlah shalat dengan khusu’ untuk mengingat Allah dan berdzikir kepada-Nya. Penuhilah shalat saudara-saudara dengan dzikir ilahi.
Keadaan shalat yang hanya lahiriah semata, pada hakikatnya adalah kosong dari dzikir llahi dan menjadi sia-sia, seperti keadaan jeruk yang layu, kulitnya tetap berwarna dan berisi, bahkan kelihatannya lebih besar, tetapi jika kulitnya dikupas, maka isinya tidak mengeluarkan air. Begitu juga bila manusia tidak memperhatikan shalatnya dengan sungguh-sungguh, maka keadaannya seperti jeruk layu tadi.
Bila orang-orang Islam memperhatikan shalatnya -ketika membaca Fatihah, Tasbih dan Tahmid -sampai sejauh mana ia merenungkan sifat-sifat Allah yang diucapkan lidahnya; maka jika manusia merenungkannya dan menjawabnya secara jujur, dirinya sendiri akan memberi jawaban yang pasif. Dia akan mengakui bahwa ketika ia berdzikir Ilahi perhatiannya tidak tertuju kepada Allah.
Atas dasar kenyataan seperti itulah maka Allah Swl telah berfirman وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ. Dalam hal ini Allah Swt secara sengaja telah meletakan satu ukuran, yakni shalat merupakan cermin yang dapat memperlihatkan keadaan “Tauhid” dan “Syirik’ di dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Kalimat وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ memberi perhatian kepada kita bahwa kalian boleh saja mendakwakan diri memiliki beribu-ribu Tauhid, akan tetapi bila kalian melakukan shalat di hadapan-Ku, maka pada saat itu keadaan Tauhid kalian akan diketahui.
Di dunia ini, saudara-saudara bisa mengemukakan alasan; Manusia tinggal di dunia dan perlu bekerja atau berusaha, oleh karena itu bila fikiran berpaling dari mengingat Allah, hal itu tidak apa-apa, hal itu tidak disengaja. Sebab, walaupun ingatan berpaling dari Allah Swt karena sibuk melakukan pekerjaan, akan tetapi dalam hati tetap ada Tauhid.
Di hadapan Allah Swt tidak dapat mengemukakan uzur (alasan) yang dibuat-buat, sebab Allah Swt mengetahui isi hati seseorang. Perhatikanlah, bagaimana Allah Swt dengan cara Hikmat dan kebijaksanaan menzahirkan kedustaan hamba-Nya.
Allah Swt menyatakan; bila engkau mengakui Tauhid dan seumur hidupmu menyembah-Ku serta engkau dengan ikhlas datang menghadap kepada-Ku, maka pada waktu itu keadaan Tauhid yang kamu miliki akan nampak cemerlang. Pada waktu engkau mendirikan shalat, Tauhidmu akan terlihat, inilah salah satu makna “khudzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidin”, yakni perindahlah Tauhidmu di hadapan Allah agar nampak dalam shalat sejauh kemampuan Tauhid Illahi yang kamu miliki. Dengan demikian, dalam pelaksanaan shalat itu memperlihatkan gambaran kehidupan manusia sehari-hari, yakni keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat.
Di dalam riwayat ada disebutkan bahwa apabila Rasulullah saw berada di luar shalat, hati beliau selalu ingat kepada Allah Swt. lniIah makna sebenarnya dari وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ “dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. Oleh karena itu, jika dalam kenyataannya di luar shalat pun beliau saw selalu ingat Allah Swt, maka terlebih-Iebih lagi ketika shalat.
Dari gambaran tersebut, bila seseorang melakukan shalat tetapi ingatannya berada di luar shalat (tidak mengingat Allah), maka dapat dibayangkan bagaimana keadaan dia jika tidak sedang mengerjakan shalat. Walaupun orang yang seperti itu tidak dapat disebut sebagai pendusta, tetapi dapat dipastikan bahwa nilai Tauhidnya sangat rendah sekali, banyak sekali kekurangan dan kelemahannya yang ia tidak sadari.
Penjelasan di atas sangat sederhana sekali, akan tetapi bila diperhatikan secara mendaIam, akan merupakan masalah baru yang terluput dari perhatian manusia.
[1] Disarikan dari Khutbah Jum’at Hadhrat Khalifatul Masih Ar-Rabi’ rh, tanggal 24 Juni 1988.