“Itu artinya, Sekutu rata-rata melakukan serangan udara terhadap Jepang di Manokwari sebanyak 4 kali tiap bulan selama 18 bulan berturut-turut. Sedangkan Ransiki diserang sebanyak 4 kali juga tiap bulan selama enam bulan berturut-turut. Momi mendapat 6 kali serangan udara tiap bulan selama enam bulan dan Waren juga hanya mendapat serangan udara sebanyak 2 kali tiap bulan selama empat bulan berturut-turut.”
Jepang Menguasai Hindia Timur (Maluku dan Papua)
Setelah berhasil menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda, pada 12 Februari 1942, Jepang kemudian menetapkan tiga wilayah pemerintahan militer, yaitu wilayah Sumatera diperintah oleh Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang yang bermarkas di Bukittinggi, Jawa-Bali oleh Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang yang bermarkas di Batavia (Jakarta), serta Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (wilayah timur) oleh Armada Ke-3 Angkatan Laut Jepang yang bermarkas di Makassar.
Dalam menjalankan pemerintahan di Pulau Ambon, Jepang tidak banyak merubah sistem pemerintahan yang sudah ada sebelumnya. Jepang hanya mengganti pimpinan di pos-pos pemerintahan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah Kolonial Belanda. Jepang membentuk unit-unit aparat pemerintahan sipil yang tingkatannya lebih rendah.
Aparat pemerintahan sipil tersebut ditempatkan di sejumlah lokasi di wilayah Maluku dan Maluku Utara, antara lain Meinseiku Chokan yaitu kepala daerah yang berkedudukan di kota Ambon, Tual, dan Ternate. Pelaksana pemerintah di wilayah-wilayah setingkat kecamatan (distrik) adalah Gun Cho, dibawah Gun Cho terdapat para Raja yang disebut Ku Cho. Kepala kampung atau orang terkemuka disebut Sun Cho dan kepala-kepala soa/marga yaitu Kumi Cho. Seluruh aparat pemerintahan sipil didukung dan dilindungi oleh petugas penjaga keamanan atau polisi yang dinamakan Kempeitai.
Begitu juga dengan di Papua Barat atau Dutch New Guinea. Sebagai bagian dari Ambon, struktur pemerintahan pada masa Jepang di Papua Barat saat itu juga memiliki kesamaan dengan yang ada di Maluku dan Maluku Utara. Apalagi, sistem demografi masyarakat di Papua Barat memang mirip dengan yang ada di Maluku. Kemiripan itu di antaranya ada kepala kampung atau kepala suku dan kepala soa atau marga.
Pembangunan Pillbox di Manokwari dan Manokwari Selatan.
Meskipun telah menguasai Maluku dan Papua Barat, tetapi Jepang menyadari bahwa ancaman keamanan masih ada. Pasukan Sekutu (Allied Forces) dengan persenjataan modern didukung pesawat tempur yang canggih pada masanya, dianggap menjadi ancaman serius bagi Jepang. Oleh sebab itu, Jepang kemudian mempersiapkan pertahanan dengan membangun berbagai sarana. Di antaranya lapangan terbang (airfield), tempat pengintaian (pillbox) dan kebutuhan lainnya.
Khusus terkait pillbox, Jepang membangunnya di lokasi strategis yang bertujuan untuk menghalau serangan pasukan Sekutu alias ABDA (America – British – Dutch – Australia). Lapangan terbang, lokasi sekitar pantai, perbukitan dan lokasi strategis lainnya menjadi tempat dibangunnya pillbox. Jarak antar satu pillbox dengan pillbox yang lainnya terkadang relatif berdekatan dan saling melindungi.
Untuk di Manokwari, pillbox itu berada di lapangan terbang Rendani, di Jalan Brawijaya, di Jalan Selamet Riyadi dan Kampung Ambon sekarang. Melihat lokasi dan posisinya, dahulunya semua pillbox itu satu sama lain saling melindungi. Misalnya, pillbox yang di Jalan Selamet Riyadi sekarang, dapat melindungi keamanan tentara Jepang yang ada di pillbox depan RSUD Manokwari sekarang.
Meskipun target dari semua pillbox itu ke arah laut atau udara, tetapi tetap pillbox itu juga mengarah ke segala arah (darat). Artinya, darimana pun datangnya Sekutu, maka dapat dengan mudah dilumpuhkan. Kedekatan lokasi antar pillbox memungkinan untuk saling melindungi bila ada musuh yang mencoba untuk mendekati bangunan pillbox tersebut. Sebab, salah satu strategi untuk melumpuhkan kekuatan di dalam pillbox adalah melalui serangan jarak dekat.
Pembangunan Lapangan Terbang di Manokwari dan Manokwari Selatan
Selain membangun banyak pillbox di berbagai lokasi, Jepang juga membangun lapangan terbang (airfield) atau sekedar landasan pacu. Lapangan terbang Rendani (Manokwari) yang telah dikuasai, begitu juga lapangan terbang Abresso (Ransiki, Manokwari Selatan) difungsikan sebagai lapangan terbang pertahanan udara.
Untuk di Manokwari Selatan, Jepang bahkan membangun dua lapangan terbang atau landasan pacu lagi. Keduanya berada di Kampung Dembek (Momi) dan Kampung Waren. Melihat kondisi geografisnya, semua lapangan terbang di Manokwari dan Manokwari Selatan itu saling terhubung dengan lapangan terbang di Biak dan Manokwari serta Laha (Ambon) dan Namlea (Pulau Buru).
Kemungkinan, semua lapangan terbang di sekitar Teluk Cendrawasih itu sebagai penyokong pertahanan untuk target yang lebih besar yaitu melumpuhkan Australia. Sebab, salah satu negara kuat yang juga mengerahkan kekuatan tempurnya di Maluku dan Papua Barat adalah Australia, yang tergabung dalam ABDA alias Sekutu. Bukan hanya di Papua Barat, Australia juga mengirim personel dan persenjataan tempur untuk di Ambon dan Pulau Buru, Maluku.
Pembangunan Pusat Pertahanan Jepang di Manokwari Selatan (Kampung Dembek dan Kampung Waren)
Untuk tujuan yang lebih besar itu –yaitu menguasai Australia– Jepang mempersiapkan diri dengan kekuatan pertahanan yang maksimal. Meskipun personel tentara Jepang hanya di atas sepuluh ribuan saja yang ada di Papua, tetapi mereka mempersiapkan kekuatan pertahanan yang penuh. Hal ini dapat dibuktikan dengan pusat pertahanan yang dibangun di Kampung Dembek dan Kampung Waren.
Di Kampung Dembek, kelihatannya Jepang secara matang telah mempersiapkan semuanya. Sebagai salah satu lokasi yang menghadap ke arah Teluk Cendrawasih, Kampung Dembek dan Kampung Waren memiliki posisi strategis. Kelekatannya dengan Pulau Biak yang juga telah memiliki lapangan terbang sangat strategis bila dikaitkan dengan teori pertahanan udara. Pesawat-pesawat tempur Jepang dapat saling singgah di antara lapangan terbang itu: Manokwari, Ransiki, Momi, Waren dan Biak.
Di Kampung Dembek, bahkan Jepang membangun semacam goa pertahanan bawah tanah dan tambang minyak serta menanam kapas dan tanaman lainnya untuk keperluan perang menghadapi Sekutu. Diperlukan ratusan bahkan ribuan tenaga kerja paksa (romusha) dari masyarakat sekitar untuk membangun semua sarana-prasarana tersebut. Bahkan, material pembangunan utama berupa semen dan batako juga memegang peran penting karena semuanya menggunakan bahan itu.
Di beberapa lokasi, Jepang juga membangun pillbox di Manokwari Selatan, terutama di Kampung Dembek dan Kampung Waren. Itu artinya, ada sesuatu yang harus dilindungi disana. Bahkan, pillbox itu bukan hanya yang berukuran standar seperti pillbox di Ambon atau Pulau Buru, melainkan juga pillbox berukuran besar seperti yang ada di Manokwari. Posisinya ada di dataran rendah yang rata dan juga di perbukitan.
Serangan Sekutu terhadap Manokwari dan Manokwari Selatan
Setelah Manokwari dan Manokwari Selatan ditaklukkan oleh Jepang pada 1942, pasukan Sekutu di bawah Jenderal Douglas Mc Arthur kemudian melakukan strategi penyerangan terhadap Manokwari dan Manokwari Selatan beberapa bulan berikutnya. Tujuannya menguasai kembali daerah yang telah dikuasai oleh Jepang. Lapangan terbang adalah salah satu targetnya.
Angkatan Udara Amerika Serikat ke-5 atau 5th Air Force (AF) dan pasukan Far East Air Force (FEAF) memulai serangan udara sejak 1 Mei 1943 hingga 29 Oktober 1944. Selama 18 bulan itu, puluhan pesawat tempur Sekutu silih berganti menyerang target di Manokwari, Ransiki, Momi dan Waren. Tercatat, 66 serangan udara di Manokwari, 23 kali di Ransiki, 28 kali di Momi dan 8 kali di Waren.
Jenis pesawat tempur yang dipergunakan Sekutu di antaranya adalah A-20, A-26, B-24, B-25, P-38, P-39, P-40 dan P-47. Pesawat itu biasanya disebut sebagai Black Widow atau Kittyhawk. Tercatat, jenis pesawat yang paling banyak melakukan serangan adalah jenis A-20 dan P-40 yang terdiri dari beberapa nomor seri. Ada Black Widow SN 42-40967, ada Kittyhawk SN A29-824, A29-641 dan A29-821.
Sasaran yang ditargetkan oleh Sekutu adalah melumpuhkan pelabuhan, lapangan terbang, perahu, bagang, lepas pantai, sungai, kota dan pemukiman serta barak tentara Jepang. Terkadang, pesawat tempur Sekutu juga hanya melakukan pengintaian atau pematangan target serangan melalui foto udara untuk database serangan berikutnya. Jadi, saat itu tidak langsung melakukan serangan.
Setelah melakukan 125 kali serangan ke target strategis Jepang yang menghancurkan banyak fasilitas pertahanan Jepang itu, akhirnya pasukan Sekutu dapat menguasai kembali Manokwari dan Manokwari Selatan. Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Bukan hanya di Manokwari dan Manokwari Selatan, tetapi juga di Sarmi, Biak, Tambrauw dan lokasi lainnya. Pergantian pemerintahan kembali dipegang oleh Sekutu khususnya Belanda.
Bila melihat interval serangan udara oleh Sekutu kepada Jepang di Manokwari dan Manokwari Selatan, maka target itu dapat diselesaikan secara berjenjang. Awalnya Sekutu fokus pada pertahanan Jepang di Manokwari, tetapi kemudian beralih ke pusat pertahanan Jepang di Ransiki, Momi dan Waren. Serangan itu dilakukan oleh Sekutu khususnya 5th Air Force dan Far East Air Force bergantian.
Sekutu menyerang dan membombardir Manokwari sejak 1 Mei 1943 hingga 24 Oktober 1994. Selama 66 kali serangan udara di Manokwari, pesawat itu juga sekaligus menyerang Ransiki, Momi dan Waren. Selama empat bulan Ransiki dibombardir sebanyak 23 kali oleh pesawat-pesawat Sekutu, sejak 31 Mei 1944 hingga 29 Oktober 1944. Momi juga mendapat serangan udara sebanyak 28 kali sejak 13 Mei 1944 hingga 24 Oktober 1944. Terakhir, Waren mendapat bombardir sebanyak 8 kali sejak 7 Juni 1944 hingga 27 September 1944.
Itu artinya, Sekutu rata-rata melakukan serangan udara terhadap Jepang di Manokwari sebanyak 4 kali tiap bulan. Sedangkan Ransiki diserang sebanyak 4 kali juga tiap bulan selama enam bulan berturut-turut. Momi mendapat 6 kali serangan udara tiap bulan selama enam bulan dan Waren juga hanya mendapat serangan udara sebanyak 2 kali tiap bulan selama empat bulan.
Bisa dibayangkan, betapa mencekamnya situasi di Manokwari, Ransiki, Momi dan Waren saat serangan udara itu terjadi. Apalagi, serangan itu kadang bukan saja menyasar pertahanan Jepang melainkan juga lokasi semisal sungai dan pemukiman. Bahkan, untuk di Ransiki dan Momi, sepanjang aliran sungai dibombardir karena ditengarai menjadi lokasi persembunyian Jepang.
Kondisi Sekarang: Sisa Perang Dunia II di Ransiki, Momi dan Waren
Fasilitas pertahanan Jepang yang hancur lebur akibat serangan Sekutu hingga kini belum dapat difungsikan kembali. Dari lapangan terbang di Manokwari dan Manokwari Selatan, baru Rendani yang sudah difungsikan kembali dan kini menjadi bandara komersial. Sedangkan lapangan terbang Ransiki (Abresso Airfield) masih tahap pembangunan kembali. Untuk lapangan terbang di Kampung Dembek (Momi) dan di Waren hingga kini tidak jelas kondisinya.
Goa pertahanan Jepang di Kampung Dembek dan Kampung Waren juga telah berubah menjadi semak belukar. Beberapa pillbox, sumur dan tambang minyak tidak terawat dan tidak jelas lagi kondisinya. Hanya pillbox di pinggir jalan Kampung Dembek yang masih terlihat utuh. Begitu juga pillbox di Kampung Waren yang kini telah tertutup akar pepohonan meski kondisinya masih terlihat bagus.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2022, semua benda cagar budaya tersebut seharusnya dapat didaftarkan kepada Pemerintah Pusat sehingga mendapatkan perawatan dan pelestarian. Dengan demikian, masyarakat setempat dapat memahami sejarah Perang Pasifik di aras lokal mereka: Ransiki, Momi dan Waren.
Ini selain akan meningkatkan literasi sejarah bagi para pelajar, juga dapat menjadi arah pembangunan Manokwari Selatan ke depannya. Bila pada masa Belanda dan Jepang, kakao (coklat) dan kapas menjadi primadona dan dibawa keluar Papua Barat melalui lapangan terbang itu, maka ke depannya juga sarana transportasi udara di Ransiki akan lebih modern lagi.
Begitu juga bila lapangan terbang di Dembek dan di Waren dapat dikembalikan lagi keberadaannya, maka akan bisa dijadikan sebagai lapangan terbang perintis untuk keperluan ekonomi dan bisnis. Minimal sebagai jejak penanda bahwa Perang Dunia II juga pernah terjadi di kawasan pedalaman yang menjadi lokasi pertemuan Suku Arfak dan Suku Wamesa tersebut.
Penulis: Dr. R.A. Muhammad Jumaan, Mubalig Daerah Papua Barat, Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-Indonesia (FORMASAA-I) 2018-2020, Pendiri dan Direktur Pusat Kajian Manuskrip Islam & Filologi (Centre for the Study of the Islamic Manuscripts & Philology) Ambon, Maluku.
Catatan: Selesai ditulis pada Minggu, 15 Mei 2022 pkl. 07:43 WIT di Kawasan KODAM XVIII/Kasuari, Arfai, Manokwari, Papua Barat.