Terihat beberapa ulasan ataupun sekedar quote mengenai sikap toleran. Bukan karena kebetulan, namun karena belum lama ini yaitu tanggal 16 November diperingati sebagai hari toleransi internasional. Perlu diperingati agar kita jangan pernah melupakan hal yang ada dalam hidup. Begitu pula dengan sikap toleran.
Tapi mirisnya, makna toleransi hanya disadari dan berusaha digaungkan oleh mereka yang pernah menjadi korban intoleransi saja. Dengan kata lain, hanya minoritas yang bersuara sehingga suara mereka seolah tak terdengar oleh sang raksasa. Padahal, kita hidup di dunia yang tak pernah sama.
Toleransi dalam banyak hal tentu sangat diperlukan, karena sejatinya toleransi ada karena perbedaan. Jika Tuhan menciptakan semua hal serupa, maka tak akan pernah ada toleransi. Sayangnya, mustahil semuanya tercipta sama. Ada laki-laki dan perempuan, tinggi dan pendek, putih dan hitam, ras manusia yang beragam, kulit manusia yang penuh rupa, ras, suku termasuk agama dan yang lainnya.
Kata toleransi berasal dari bahasa latin yakni tolerare yang punya makna sabar membiarkan sesuatu. Artinya, toleransi merupakan sebuah sikap seseorang yang dengan sabar membiarkan sesuatu yang berbeda dengan kita, tanpa harus mengusik ataupun berusaha menghilangkan perbedaan itu sendiri. Kita bisa dengan sadar dan sabar menerapkan konsep ini dalam keseharian.
Artikel terkait Toleransi:
Menyoal Toleransi dan Poligami
Dikutip dalam buku “Indonesia Zamrud Toleransi” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK,2017), dibahas bagaimana toleransi di sejarah dunia mengalami pendalaman dan perubahan dalam proses penerapannya. Michael walzer (walzer,1997) membagi gradasi praktik toleransi ke dalam 5 tingkatan:
1. Tingkat Penerimaan Pasif
Di abad ke 16 dan 17, pernah terjadi konflik antara umat Katolik dan Protestan sehingga mereka yang berseteru merasa lelah dan ingin menyudahi pertikaian yang terjadi. Jalan perdamaian dipilih dengan menerima perbedaan yang terjadi namun masih bersifat pasif, hanya karena tidak ingin berkonflik yang berkepanjangan.
2.Tingkat Ketidakpedulian yang Lunak Terhadap Perbedaan
Di tahap ini, seseorang sebenarnya sudah mengakui adanya perbedaan namun perbedaan itu tak dianggap apa-apa. Hanya sesuatu yang tidak punya peran. Sikap ini pun tentu bukan sikap toleran yang ideal. Mereka mengakui hanya karena ingin terhindar dari kesalahpahaman kembali dan tak ingin bertikai.
3.Tingkat Pengakuan (Recognition)
Di tahap ini, seseorang sudah mengakui bahwa orang lain memiliki hak-hak dasar yang tak bisa dilangkahi meski kita tidak menyetujui isi pandangan pihak tersebut. Di level ini, kita sudah bisa membangun kesebersamaan dalam damai (peacefull coexistence).
4.Tingkat Keterbukaan
Setelah ada pengakuan, maka keterbukaan terhadap perbedaan itu sendiri menjadi salah satu tingkat toleransi yang sangat baik. Di dalam tahap ini, kita dituntut untuk dapat saling memahami satu sama lain termasuk pada sebuah prinsip sekalipun.
5.Tingkat Mendukung, Merawat dan Merayakan Perbedaan
Tahap ini merupakan tingkat tertinggi dalam toleransi. Setelah melalui 4 tingkatan sebelumnya, maka timbulah sikap untuk saling mendukung, merawat dan akhirnya merayakan perbedaan itu dengan penuh suka cita. Sudah sangat sadar bahwa perbedaan yang kita miliki merupakan warna kehidupan yang akan menambah semarak keindahan dunia.
Sebuah renungan yang mendalam untuk memahami makna toleran. Dari ke-5 tingkatan tersebut, ada di manakah posisi kita? Apakah kita hanya menganggap toleran kepada orang yang memihak kita saja, namun tetap mengkritik keras pihak lain yang berseberangan?
Tentu kita semua berharap kita bisa mencapai level tertinggi dalam toleransi. Semua perlu proses dan usaha sehingga perdamaian di dunia ini dapat tercapai. Betapa indahnya slogan “Love for All, Hatred for None”, yang mengisyaratkan bahwa tidak ada hak bagi siapapun untuk membenci perbedaan, dan hanya mengunggulkan kasih sayang untuk semua insan.
Tidak ada kata terlambat untuk mengingatkan, Selamat Hari Toleransi Internasional. Wujudkan dalam perbuatan, bukan sekadar ucapan.
Penulis: Munirah Sidiqah
Masha Allah, Bu munirah keren tulisannya. Mubarak ya, slm kangen