Oleh: Mln. Akram Djazuli
Mundzir bin Amru radhiyAllahu ‘anhu Sahabat Nabi saw dari kalangan Anshar. Beliau pemimpin delegasi yang dikirm Rasulullah saw untuk menyampaikan tabligh Islam ke daerah Nejd.
Biografi Mundzir bin Amru
Ayah beliau bernama Amru bin Khunais yang berasal dari Kabilah Khazraj, Banu Saidah. Beliau ikut serta dalam Baiat Aqabah.
Rasulullah saw menetapkan Mundzir bin Amru dan Sa’ad bin Ubadah sebagai Naqib (ketua atau pengawas) Banu Saidah.
Sejak zaman jahiliyah beliau termasuk orang yang terpelajar, beliau dapat menulis dan membaca. Beliau bertabiat seperti sufi.
Paska hijrah Madinah, Rasulullah saw menjalinkan persaudaraan antara Mundzir bin Amru dengan Thulaib Bin Umair.
Mundzir bin Amru ikut serta dalam Perang Badr dan Perang Uhud bersama Rasulullah saw, hingga akhirnya beliau syahid pada peristiwa Bir Maunah.
Pemimpin Delegasi Tabligh
Kabilah-kabilah seperti Sulaim dan Ghathfaan yang terletak di tengah-tengah Arab bersekutu dengan bangsa Quraisy dalam memusuhi umat Muslim dan berusaha untuk menghancurkan Islam.
Secara perlahan kejahatan kabilah-kabilah yang jahat itu semakin meningkat dan berhasil menularkan racun permusuhan kepada orang-orang Arab untuk menentang Islam.
Dalam keadaan demikian itu, seseorang bernama Abu Bara Amir bin Malik bin tokoh kabilah Arab kalangan Banu Amir datang menemui Rasulullah saw. Kemudian, Rasulullah saw menyampaikan tabligh Islam dengan penuh kelembutan. Meskipun, pada lahiriahnya ia mendengarkan penyampaikan tabligh dengan serius tetapi tidak baiat.
Lalu, ia memohon kepada Rasulullah saw, “Mohon utuslah beberapa sahabat bersama saya ke Nejd untuk bertabligh ke daerah Nejd. Mudah-mudahan penduduk Nejd tidak menolak Islam.”
Namun, Rasulullah saw bersabda, “Saya tidak percaya dengan penduduk Nejd.” Abu Bara berkata, “Tuan tidak perlu khawatir, saya jamin keselamatannya.”
Karena Abu Bara adalah pemuka kabilah dan orang berpengaruh, Rasulullah saw meyakini ucapannya. Selanjutnya, beliau saw mengutus sekelompok Sahabat ke daerah Nejd.
Datang ke hadapan Rasulullah saw beberapa orang dari kabilah-kabilah Banu Ra’i, Dzikwaan, ‘Ushayyah dan lain-lain yang merupakan ranting kabilah Banu Sulaim yang terkenal.
Akhirnya, Rasulullah saw pada bulan Shafar tahun 4 Hijriyah mengutus satu kelompok sahabat dibawah pimpinan Mundzir bin Amru.
Mayoritas mereka adalah Sahabat Anshar yang berjumlah 70 orang. Semuanya adalah Qurra Al-Quran yakni para ahli Al-Quran.
Ketika delegasi itu sampai di satu tempat yang bernama Bir Maunah (Sumur Maunah), mereka memasang kemah untuk istirahat di tempat itu.
Sementara mereka beristirahat, seorang Sahabat yaitu Haram bin Milhan, paman Anas bin Malik diutus untuk menemui Amir bin Thufail pemimpin kabilah Banu Amir, keponakan Abu Bara Amir bin Malik untuk menyampaikan tujuan kedatangan mereka.
Ketika Haram bin Milhan sebagai pengantar pesan Rasulullah saw sampai ke tempat Amir bin Tufail dan kawan-kawannya, mereka bersikap pura-pura menyambutnya secara baik, namun ketika Haraam bin Milhan terduduk tenang untuk mulai menyampaikan pesan Islam, sebagian dari antara orang jahat itu memberikan isyarat kepada salah seorang diantara mereka untuk menombak Haraam bin Milhan dari belakang sehingga beliau terjatuh di tempat.
Saat itu keluar kalimat dari mulut Haram ibn Milhan yang berbunyi: اللَّهُ أَكْبَرُ، فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ
“Allahu Akbar! Aku bersumpah demi Tuhan Pemilik Ka’bah bahwa aku telah sampai pada tujuan (aku telah berhasil).”
Syahid di Bir Maunah
Setelah berhasil membunuh Haram bin Milhan dengan keji, Amir bin Thufail kemudian mengajak kabilah Banu Amir untuk menyerang Munzir bin Amru dan para Sahabat lainnya yang sedang istirahat di Bir Maunah.
Namun kabilah Banu Amir menolak ajakan Amir bin Thufail, mereka mengatakan, “Kami tidak akan menyerang umat Muslim yang dalam tanggungjawab perlindungan Abu Bara Amir bin Malik.”
Kemudian Amir bin Thufail mengajak orang-orang Banu Sulaim, Banu Ra’l, Dzikwaan, ‘Ushayyah dan lain-lain.
Ternyata mereka menerima ajakan Amir bin Thufail untuk menyerang delegasi Islam yang sedang istirahat di Bir Maunah itu.
Padahal mereka sebelumnya yang mengirim utusan kepada Rasulullah saw meminta diutus orang-orang yang akan mengajarkan Islam kepada mereka.
Ketika delegasi Islam itu melihat orang-orang buas itu menghampiri mereka, mereka tidak lari menyelamatkan diri. Munzir bin Amru dan para Sahabat lainya berusaha menjelaskan tujuan diutusnya mereka oleh Rasulullah saw.
Mereka mengatakan, “Kami datang ke sini tidak untuk berperang, melainkan diutus oleh Rasulullah saw untuk melakukan suatu tugas, tidak ada maksud untuk bertempur dengan kalian.”
Namun, Amir bin Thufail dan orang-orang buas itu tidak mempedulikannya, mereka dengan kejamnya membunuh semua delegasi itu.
Umat Islam tidak ada yang mengetahui peristiwa pembantaian itu karena memang jaraknya yang jauh dari Madinah, namun Malaikat Jibril menyampaikan kabar kabar duka itu kepada Rasulullah saw.
Tentu saja Rasulullah saw sangat sedih mengetahui kabra itu. Beliau saw bersabda mengenai Mundzir bin Amru, “A’naqa liyamuut.”
Mundzir bin Amru mengetahui bahwa saat itu ditakdirkan untuk syahid maka beliau seperti para Sahabat lainnya tidak melarikan diri, beliau menyambut serangan itu dengan gagah berani dan akhirnya menerima kesyahidan.
Untuk itu beliau dikenal dengan sebutan mu’niq li-yamuut atau mu’niq lil maut yakni orang yang berani menyambut kematian.[madj]
Referensi:
1. Sirat Khataman Nabiyyin, Mirza Bashir Ahmad – Islam International Publications Ltd. 2011
2. Khotbah Jumat, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis aba, 25 Januari 2019 di Masjid Baitul Futuh, Morden UK