Oleh: Mln. Akram Djajuli
Biografi Abu Lubabah
Abu Lubabah bin Abdul Mundzir radhiyAllahu ‘anhu salah seorang pemuka dari Qabilah Aus, dari kalangan Anshar (penduduk Madinah). Istrinya beliau bernama Khansa binti Khandam, mereka dikarunia seorang anak perempuan bernama Lubabah. Karena itu, beliau mendapat panggilan Abu Lubabah.
Terdapat perbedaan pendapat perihal nama asli Abu Lubabah. Sebagian menyebutnya Basyir, menurut Ibnu Ishaq namanya Rifa’at, menurut Allamah Zamakhsyari bernama Marwan.
Beliau termasuk kelompok pertama yang masuk Islam, termasuk kedalam 12 naqib dan ikut serta dalam baiat Aqabah. Beliau juga salah seorang Anshar yang menghadiri biat Aqabah kedua.
Di antara para Sahabat Nabi saw, terdapat dua orang sahabat yang rumahnya paling jauh, yaitu Abu Lubabah yang rumahnya terletak di Quba dan kedua, rumah Abu Abbas bin Jabriyah yang tinggal di Qabilah Banu Haritsah. Namun, mereka berdua selalu datang untuk shalat Ashar bersama dengan Hadhrat Rasulullah saw.
Penghidmatan Abu Lubabah
Abu Lubabah selalu menyertai Hadhrat Rasulullah saw dalam berbagai peperangan, termasuk perang Badr, Uhud dan perang Khandaq.
Ketika perang Badr, pada saat meninggalkan Madinah, Rasulullah saw menetapkan Ummi Maktum sebagai pejabat sementara Amir, namun ketika pasukan Islam sampai di dekat daerah Rauha yang berjarak 36 mil dari Madinah, mungkin disebabkan karena Abdullah Ummi Maktum seorang tuna netra dan ada kabar kemungkinan datangnya pasukan Quraisy untuk itu diharapkan pengaturan di Madinah kokoh, sehingga akhirnya beliau saw menunjuk Abu Lubabah sebagai Amir Madinah dan memulangkannya.
Rasulullah saw memerintahkan agar Ummi Maktum untuk ditugaskan sebagai imam shalat saja, sedangkan untuk pemerintahan dibebankan kepada Abu Lubabah. Akhirnya Abu Lubabah kembali lagi ke Madinah setelah menempuh setengah perjalanan.
Meskipun Abu Lubabah tidak ikut dalam pertempuran Badr, Hadhrat Rasulullah saw menetapkan bagian untuk Abu Lubabah dari harta rampasannya, dengan demikian beliau juga termasuk Sahabat Badr atau veteran perang Badr.
Saat perjalanan menuju ke perang Badr itu, setiap tiga orang menunggangi satu ekor unta secara bergantian. Abu Lubabah, Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah saw menunggangi satu ekor unta.
Pada saat tiba giliran Rasulullah saw untuk berjalan, keduanya berkata, “Biar kami saja yang berjalan.” Beliau saw bersabda, “Kalian berdua tidaklah lebih kuat dari aku. Aku pun masih memerlukan pahala, lebih dari yang kalian berdua perlukan.”
Pada perang Qainuqa dan Sawik, Abu Lubabah mendapatkan kemuliaan untuk mewakili Hadhrat Rasulullah saw di Madinah. Pada saat Fatah Mekah, Abu Lubabah menyertai Hadhrat Rasulullah saw dalam kendaraan. Di tangan beliau terdapat panji kabilah Ansar, Amar bin Auf.
Penghianatan Banu Quraizhah
Pada tahun ke-5 Hijriah, setelah selesai dari perang Khandaq, Hadhrat Rasulullah saw kembali ke kota.
Baru saja Rasulullah saw menurunkan senjata dan lain-lain dengan susahnya dan selesai mandi dan berbasuh, beliau mendapatkan kabar ghaib dari Allah melalui kasyaf bahwa sebelum diputuskan perihal pembangkangan dan pemberontakan Banu Quraizhah, hendaknya beliau jangan dulu menurunkan senjata.
Oleh karena itu, beliau saw memerintahkan kepada pasukan Islam untuk menuju ke benteng Banu Quraizhah. Bahkan shalat Ashar pun akan dilaksanakan di sana.
Sebagai pendahuluan, Rasulullah saw mengutus satu delegasi yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib untuk menanyakan, mengapa Banu Quraizhah telah melanggar janji mereka.
Banu Quraizhah tidak menunjukkan penyesalan atau apalagi minta maaf. Sebaliknya, mereka menghina dan mengejek Ali dan anggota-anggota delegasi lainnya serta mulai melemparkan caci-maki terhadap Hadhrat Rasulullah saw dan keluarga beliau. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak ambil perduli akan Muhammad dan tak pernah mengadakan perjanjian dengannya.
Setelah itu, Rasulullah saw pun memerintahkan pasukan Islam untuk mengepung dan menyerbu benteng Bani Quraizhah.
Pada mulanya, orang Yahudi itu memberikan perlawanan dan memperlihatkan kesombongannya, namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasakan kesulitan dan ketidakberdayaan yang ditimbulkan oleh kepungan umat Islam.
Akhirnya, mereka bermusyawarah dan membahas apa yang harus dilakukan pada saat itu. Mereka pun memutuskan untuk memanggil seorang muslim yang pernah memiliki hubungan baik dengan mereka dan sederhana, mereka beranggapan akan bisa mempengaruhinya.
Mereka berusaha mencari informasi dan nasehat dari muslim tersebut, apa yang dikehendaki oleh Rasulullah saw dari mereka. Orang yang mereka minta itu adalah Abu Lubabah.
Melaksanakan Perintah Rasulullah
Rasulullah saw pun mengizinkan Abu Lubabah untuk pergi menemui Banu Quraizhah di dalam benteng pertahanan mereka.
Para pemimpin Banu Quraizhah membuat satu rencana, ketika Abu Lubabah memasuki banteng mereka, semua wanita dan anak-anak Yahudi menangis dan mengelilingi Abu Lubabah untuk memberikan kesan padanya akan penderitaan dan musibah yang dirasakan mereka.
Para pemimpin Bani Quraizhah mengatakan, “Wahai Abu Lubabah, bagaimana kondisi kami sesuai dengan yang kamu lihat? Apakah kami akan keluar dari benteng kami atas putusan Hadhrat Rasulullah saw?”
Abu Lubabah langsung menjawab, “Ya kalian akan keluar namun – sembari memberikan isyarah tangan memotong leher – Hadhrat Rasulullah saw akan memerintahkan untuk membunuh kalian.”
Selama hidupnya Abu Lubabah sangat mencintai dan mentaati segala perintah Rasulullah saw, beliau salah satu Sahabat yang selalu mendapat kepercayaan dari Rasulullah saw, tapi entah mengapa pada peristiwa itu beliau berbuat kekeliruan itu. Mungkin karena tipu daya orang-orang Yahudi dan juga karena kepolosannya sehingga beliau berbuat seperti itu.
Rasulullah saw tidak pernah memerintahkan Abu Lubabah untuk mengatakan atau memberi isyarat kematian itu, Rasulullah saw juga tidak punya rencana untuk mengeksekusi orang-orang Yahudi itu.
Abu Lubabah sendiri menceritakan peristiwa itu, katanya, “Ketika teringat saya telah berkhianat kepada Allah dan rasul-Nya maka kaki saya terasa kaku.”
Abu Lubabah Menyadari Kesalahannya
Sepulang dari pengepungan benteng Bani Quraizhah, Abu Lubabah pergi ke Mesjid Nabawi dan mengikatkan diri sendiri pada tiang di masjid. Beliau berkata, “Ini adalah hukuman untuk saya. Sebelum Allah Ta’ala menerima taubat saya, saya akan terikat terus seperti ini.”
Hadhrat Rasulullah saw sendiri sebenarnya tidak melakukan tindakan apa-apa kepada Abu Lubabah. Tetapi Abu Lubahab menyadari kesalahannya itu dan merasa sangat berdosa.
Abu Lubabah menuturkan, “Kabar perihal kepergian saya ke Banu Quraizhah dan apa yang saya lakukan di sana diketahui Hadhrat Rasulullah saw. Beliau saw bersabda, ‘Tinggalkan dia sebelum Allah Ta’ala berfirman perihal apa yang dikehendaki-Nya. Jika seandainya dia datang padaku, maka aku akan mintakan ampunan untuknya. Namun, jika dia tidak datang padaku dan malah pergi, untuk itu biarkan pergi.’”
Perihal Banu Quraizhah sendiri, akhirnya mereka menolak nasihat Abu Lubabah untuk menyerahkan nasib kepada keputusan Hadhrat Rasulullah saw. Andai kata mereka menerimanya, maka hukuman paling berat yang akan mereka terima ialah pengusiran dari Madinah. Tetapi, nasib buruk mereka membuat mereka menolak putusan Hadhrat Rasulullah saw.
Abu Lubabah mengatakan, “Saya diliputi penderitaan itu selama 15 hari, saya melihat mimpi dan saya selalu mengingatnya, dalam mimpi itu bahwa kami telah mengepung Banu Quraizhah dan seolah olah saya berada di dalam lumpur yang berbau. Saya tidak dapat keluar dari lumpur itu dan hampir saja saya binasa karena baunya. Lalu saya melihat sungai yang tengah mengalir. Saya melihat diri saya tengah mandi didalamnya sehingga aku membersikan diri sendiri. Baru saya mencium bau wangi.”
Lalu beliau pergi ke hadapan Abu Bakr untuk menanyakan tabir mimpi itu. Abu Bakr menabirkan, “Anda akan menghadapi masalah yang akan membuat Anda bersedih. Lalu Anda akan dibebaskan darinya.”
Abu Lubabah mengatakan, “Ketika terikat itu saya teringat perkataan Abu Bakr dan berharap supaya taubat saya diterima.”
Allah Mengampuni Dosa Abu Lubabah
Abu Lubabah menghukum dirinya sendiri dan beliau bertobat atas kesalahan yang beliau lakukan itu. Hingga akhirnya, Allah Ta’ala memberikan keputusan, menerima taubat Abu Lubabah.
Mengenai hal itu Ummul Mu’minin Ummu Salamah menceritakan, “Kabar mengenai diterimanya taubat Abu Lubabah turun di rumah saya. Wahyu tersebut turun kepada Hadhrat Rasulullah saw pada saat sahur. Saya mendengar Hadhrat Rasulullah saw tertawa pada waktu sahur, saya bertanya: ‘Wahai Rasulullah saw, apa gerangan yang baginda tertawakan?’
Hadhrat Rasulullah saw menjawab, “Allah telah mengampuni dosa Abu Lubabah. ‘Aku bertanya kepadanya: ‘Apakah aku boleh menyampaikan berita gembira itu kepadanya?. ‘Hadhrat Rasulullah saw menjawab: ‘Boleh saja kalau kau mau’.
Ummu Salamah kemudian, sambil berdiri di pintu kamarnya – kejadian itu terjadi sebelum kewajiban berhijab (pardah) diundangkan – berkata: “Wahai Abu Lubabah, bergembiralah, Allah telah mengampuni dosamu.”
Setelah itu, banyaklah orang yang datang hendak melepaskan ikatan Abu Lubabah, namun beliau menolak seraya berkata: “Tidak. Demi Allah, saya tidak mau sebelum Rasulullah saw datang membebaskan saya dengan tangannya sendiri.”
Ketika Hadhrat Rasulullah saw hendak shalat shubuh, baginda menghampiri Abu Lubabah dan membukakan ikatannya.
Abu Lubabah lalu berkata kepada Hadhrat Rasulullah saw: “Kiranya akan sempurna taubat saya kalau saya meninggalkan kampung halaman kaumku tempat saya melakukan dosa di sana dan aku sumbangkan seluruh harta saya?”.
Hadhrat Rasulullah saw menjawabnya, ”Kau hanya dibenarkan menyumbangkan sepertiganya saja.” Lalu Abu Lubabah menyumbangkan sepertiga dari hartanya dan meninggalkan rumah leluhur beliau.
Demikianlah teladan yang diperlihatkan Sahabat Abu Lubabah, beliau menyadari kesalahannya dan begitu takutnya karena telah berbuat salah, beliau pun segera bertobat hingga Allah pun menerima tobatnya.
Referensi:
- Sunan an-Nasai
- Sunan at-Tirmidzi
- Musnad Ahmad bin Hanbal
- Sirah an-Nabawiyah – Ibn Hisyam
- Riwayat Hidup Rasulullah saw – Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
- Sirat Khataman Nabiyyin – Mirza Basyir Ahmad