Oleh: Mln. Akram Djazuli
Abu Dujanah radhiyAllahu ‘anhu seorang Sahabat Nabi saw dari kaum Anshar, beliau gagah berani dalam setiap medan pertempuran di jalan Allah.
Biografi Abu Dujanah
Abu Dujanah Samak bin Haritsah Al-Ansari merupakan sahabat yang menerima Islam sebelum hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Beliau dari kalangan Anshar dan merupakan penduduk asli Madinah.
Beliau memiliki kehormatan untuk turut serta dalam perang Badr bersama Rasulullah saw dan beliau berjuang dengan amat gagah berani. Demikian pula, beliau pun berkesempatan ikut serta dalam perang Uhud.
Beliau juga ikut dalam pertemuran-pertempuran lainnya bersama Rasulullah saw, hingga akhirnya beliau syahid saat perang Yamamah dimasa Khlaifah Abu Bakr.
Suatu ketika saat beliau sakit, beliau berkata kepada sahabatnya, “Mungkin hanya dua amalan saya saja yang diterima Allah Ta’ala. Pertama, saya tidak pernah membicarakan keburukan orang lain serta bicara yang sia-sia. Kedua, saya tidak menyimpan dendam atau kebencian di dalam hati saya kepada orang Islam lainnya.”
Ketangguhannya dalam Perang Uhud
Saat yang diantikan pun tiba, Rasulullah saw dan pasukan Islam maju menghadapi lasykar musuh yang kira-kira lima kali lipat besarnya. Tetapi, dengan pertolongan Ilahi, dalam waktu singkat pasukan Islam yang hanya enam ratus lima puluh prajurit itu telah menghalau tiga ribu lasykar Mekkah yang serba mahir itu.
Prajurit-prajurit Islam dengan penuh keberanian terus mendesak musuh, hingga musuh mundur jauh dan berlarian tak tentu arah.
Celah bukit tempat lima puluh prajurit Muslim ditempatkan, tertinggal di belakang. Seorang prajurit di atas celah bukit berkata kepada pemimpinnya, “Musuh telah kalah. Sekarang, telah tiba waktunya untuk ikut dalam pertempuran dan memperoleh tanda kemenangan di alam akhirat.” Pemimpin pasukan melarangnya sambil memperingatkan mereka kepada perintah-perintah yang jelas dari Rasulullah saw.
Tetapi, orang itu menerangkan bahwa perintah Rasulullah saw itu harus ditaati menurut jiwanya dan tidak menurut lahirnya. Tak ada artinya sedikit pun menjaga celah bukit itu sementara musuh melarikan diri lintang pukang. Dengan alasan itu mereka meninggalkan celah itu dan ikut galau dalam kancah pertempuran.
Dalam lasykar Mekkah yang sedang melarikan diri termasuk Khalid bin Walid yang kemudian menjadi panglima Muslim besar. Matanya yang jeli jatuh pada celah sempit yang tak terjaga lagi itu. Adapun, yang masih menjaganya hanya tinggal sedikit, Khalid berseru memanggil panglima Mekkah lain, ialah Amr bin al-As, dan menyuruhnya melempar pandangan ke celah di belakangnya. Amr menengok ke belakang dan tahulah dia bahwa itulah kesempatan yang paling indah.
Kedua panglima itu menghentikan pasukan mereka dan mendaki bukit itu. Mereka membunuh orang-orang Muslim yang tinggal sedikit, menjaga celah itu, termasuk Hamzah, paman Rasulullah saw. Dari tempat yang tinggi itu mereka mulai menyerbu kaum Muslim.
Mendengar pekikan perang mereka, lasykar Mekkah yang telah cerai-berai itu bergabungan lagi dan kembali ke medan pertempuran. Serbuan kepada kaum Muslim itu sangat mendadak.
Dalam pengejaran lasykar Mekkah mereka itu terpencar-pencar ke berbagai arah medan. Perlawanan Muslimin terhadap serangan baru itu tidak dapat disatukan lagi. Hanya prajurit-prajurit Muslim secara perorangan masih nampak mengadakan perlawanan terhadap musuh. Banyak di antara mereka gugur. Lain-lainnya terdesak mundur.
Sekelompok kecil pasukan Islam membuat formasi lingkaran di sekeliling Rasulullah saw. Seluruhnya tak lebih dan dua puluh orang. Lasykar Mekkah menggempur lingkaran itu dengan ganasnya. Satu demi satu pasukan Islam dalam lingkaran itu rebah karena tebasan pedang-pedang musuh.
Sementara itu, dari atas bukit para pemanah musuh melepaskan anak panah mereka.
Serangan musuh sedemikian kejinya, panah-panah mereka mengincar Rasulullah saw, beliau pun dalam keadan terluka, dalam keadaan seperti itu beliau berdoa, “Ya Tuhan, ampunilah kaumku, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Muslim).
Rasulullah saw jatuh di atas jenazah para syuhada yang gugur dalam membela beliau. Orang-orang Muslim lainnya maju ke muka melindungi Rasulullah saw dari serangan-serangan selanjutnya. Mereka pun gugur, Rasulullah saw terbaring tak sadarkan diri di antara mayat-mayat itu.
Dari antara para sahabat yang tetap berdiri di dekat Rasulullah saw salah satunya adalah Abu Dujanah, dan beliau mengalami luka yang parah saat melindungi Rasulullah saw. Namun, beliau tidak mundur meski penuh luka-luka.
Menggunakan Pedang Rasulullah
Ada sebuah riwayat yang menyebutkan suatu ketika Rasulullah saw mengangkat sebilah pedang beliau dan bersabda: “Siapa yang akan menunaikan hak pedang ini?” Seketika itu juga Abu Dujanah menyambut seruan Rasulullah saw, “Saya. Wahai Rasulullah.” Rasulullah saw pun menyerahkan pedang itu kepadanya. Ia bertanya: “Ya Rasulullah saw, apa maksudnya menunaikan hak pedang ini?”
Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada darah orang Muslim yang akan mengalir karena pedang ini. Dan kedua, tidak ada orang yang memusuhi yang akan selamat dari pedang ini.” (Bukhari, hadits no. 6353)
Pedang itu digunakan hanya untuk memerangi orang-orang kafir yang datang memerangi Islam dan ingin melenyapkan Islam dan tidak boleh digunakan untuk membinasakan umat Islam sendiri.
Dalam sebuah riwayat menyebutkan seketika itu Abu Dujanah dengan penuh semangat maju diantara barisan Muslim dan kuffar dan sambil membusungkan dada terjun ke medan perang. Rasulullah saw ketika melihatnya bersabda, “Ini tindakan yang jika dilakukan dalam keadaan biasa dibenci Tuhan kecuali situasi seperti ini (medan perang).”
Syahid di Perang Yamamah
Pada satu kesempatan saat perang Yamamah, Abu Dujanah berkata kepada teman-temannya supaya melemparkannya ke dalam benteng dari atas pagar (tembok itu sangat tinggi) dan saat mereka melemparkannya, lalu ia jatuh di seberang tembok dan kakinya patah, namun tetap berjuang dengan segenap keberanian dan membuka pintu benteng demi masuknya pasukan Muslim.
Abu Dujanah telah menunjukkan keberanian yang besar hingga akhirnya belau syahid saat berperang melawan para pemberontak yang dipimpin oleh Musailamah al-Khazab di perang Yamamah itu.
Referensi:
- Sirah ash-Sahabah, Darul Isya’at, Karachi, 2004
- Asadul Ghabah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.
- Ath-Thabaqaat al-Kubra, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, 1990.
- Khutbah Jumat – Mirza Masroor Ahmad, 16 Maret 2018