By: Mln. Harpan Aziz Ahmad, DKI-Jakarta.
Hai manusia, sungguh Tuhanmu hanya satu, bapakmu hanya satu, maka tiada kemuliaan orang Arab atas orang asing, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa.
Beberapa waktu lalu, dunia diramaikan oleh berita duka kematian George Floyd yang kemudian memicu protes anti-rasialisme di Amerika Serikat. Massa aksi dalam demontrasi tersebut juga mengangkat kembali sentimen antara kulit putih dan kulit hitam serta menuntut kesetaraan antar ras.
Kematian Floyd ini tentu menjadi tamparan keras bagi dunia barat, dan melunturkan segala paradigma gagah dunia barat dengan segala kemodernannya. Sebab, pada kenyataanya kebudayaan dan kemodernan yang senantiasa mereka banggakan itu tak mampu menjadi ibu penjaga yang baik bagi warganya sendiri.
Permasalahan ini kemudian membawa kita untuk kembali mengingat zaman Rasulullah, Muhammad saw. Sebuah zaman yang berada jauh di belakang, namun syarat dengan nilai-nilai kemodernan yang pada masa ini diidam-idamkan.
Robet N. Bellah dalam Beyond Belief [1]menyampaian;
“Peradaban yang dibangun Muhammad disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, sehingga setelah Muhammad sendiri wafat tidak bertahan lama. Negara Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern sebagaimana telah dirintis Muhammad”.
Zaman di mana Rasulullah saw ada saat itu secara fisik tentu tak se-ideal zaman sekarang ini, tapi nilai-nilai yang beliau ajarkan demikian luhur dan diharapkan hadir pada setiap zaman. Dalam hal kemanusiaan misalnya, beliau demikian mengecam prilaku rasial bahkan ketika seluruh dunia menganggapnya sebagai asesoris dan kebanggaan.
Pernah satu ketika, ada seorang sahabat beliau bernama Abu Dharr Al-Ghifari mencela seorang sahabat lainnya yang merupakan bekas seorang budak, Bilal bin Rabah dengan sebutan putra seorang perempuan kulit hitam. Saat Rasulullah saw mendengar hal tersebut, beliau pun menegurnya dengan berkata; “Benarkah kau baru saja menghina pria itu, dengan mengejek pribadi ibunya – dengan menyebut anak orang hitam? Ketahuilah wahai Abu Dzar, perbuatanmu itu adalah perilaku orang-orang Jahiliyah yang tercela.”[2]
Sabda Rasulullah saw tersebut telah melunturkan kebanggaan semu dari Abu Dharr yang merasa diri dari keturunan yang lebih terpandang, bahwa sikap merendahkan orang lain itu tak lebih dari prilaku buruk yang biasa dilakukan oleh seorang yang jahil (bodoh).
Ajaran anti rasial itupun lebih jelas lagi Rasulullah saw sampaikan dalam khotbah terakhir beliau di Gunung Arafat pada tahun 632 silam. Di mana beliau saw memberikan nasihat untuk menjunjung tinggi kesetaraan antar-etnis.
“Hai manusia, sungguh Tuhanmu hanya satu, bapakmu hanya satu, maka tiada kemuliaan orang Arab atas orang asing, orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa.”[3]
yang kemudian diperkuat lagi dengan firman Allah Swt, bahwa:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”[4]
Jadi, jelas bahwa Islam -sebagaimana Al-Quran dan Rasulullah saw mencontohkan- demikian menentang prilaku rasial. Islam memandang bahwa adanya perbedaan-perbedaan itu bukan sebagai tolak ukur dominasi atau superioritas suatu kelompok atau bangsa bagi kelompok dan bangsa lainnya, tapi lebih sebagai sarana untuk berempati, saling menghargai dan saling mengenal satu sama lain. Sehingga mereka yang paling dapat menghargai perbedaan itu dan menghormatinya, menjadi ciri bagi kedekatannya dengan Tuhan –inna akromakum ‘indallaahi atqokum.
Dalam salah satu kesempatan lain Rasulullah saw juga mengajarkan suatu ajaran yang indah terkait fairness, dimana beliau saw bersabda; “Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibbu liakhihi maayuhibbu linafsihi” bahwa kadar kebaikan yang hakiki dari seorang muslim adalah ketika ia mampu berbuat bagi saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri.
Setiap orang tentu senantiasa mengharapkan perlakuan yang fair dari orang lain, namun seiring dengan harapan yang baik untuk dirinya itu, tidak sedikit juga orang yang kemudian senang berlaku tidak fair terhadap orang lain. Nah, prilaku demikian pun dikecam oleh Rasulullah saw dengan kata-kata tegas ‘laa yu’minu’ yakni tidak benar keimananya. Sebab, karakteristik seorang mukmin yang benar -dalam pandangan beliau- adalah mereka yang mampu berlaku adil. Apa bila ia senang sesuatu yang baik diberlakukan bagi dirinya, maka dia juga harus berlaku baik kepada orang lain. Dan lagi sesuatu yang dia tidak senangi diberlakukan atas dirinya, maka dia pun semestinya tidak berbuat demikian terhadap orang lain.
Jika dunia mau memetik ajaran indah ini dan mengimplementasikannya dalam tantanan kehidupan, maka tentu kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi corak yang nyata mewarnai kehidupan dunia.
“Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiin”
Dan tidaklah Kami mengutus engkau melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.[5]
[1] Beyond Belief (New York: Harper & Row, 1976), hal. 150-151
[2] Shahih Bukhari
[3] HR. Ahmad
[4] Qs. Al-Hujurat, 14
[5] Qs. Al-Anbiya, 108