By: Harpan Aziz Ahmad, DKI-Jakarta
Barangsiapa yang memperoleh bagiannya dari sifat kasih sayang, maka benar-benar ia telah diberi bagiannya dari kebaikan dunia dan akhirat, sedang barangsiapa yang terhalang bagiannya dari sifat kasih sayang, maka benar-benar telah tertutup bagiannya dari kebaikan dunia dan akhirat.
Secara etimologi Istilah radikalisme berasal dari bahasa latin radix, yang artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau bisa juga secara menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Sedangkan secara terminologi radikalisme adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik; paham atau aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras.[1]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan radikal adalah secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang mendasar; dalam hal politik berarti amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); dan memiliki arti maju dalam berpikir atau bertindak. Jadi radikalisme adalah a) paham atau aliran yang radikal dalam politik; b) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan drastis; c) sikap ekstrem dalam aliran politik. Adapun yang dimaksud dengan radikalisasi adalah proses, cara atau perbuatan meradikalkan.[2]
Dari penjelasan tadi kita dapat ketahui bahwa yang dimaksud dengan kelompok radikal adalah kelompok-kelompok yang memperlihatkan respon mereka yang keras lagi garang dalam menyikapi suatu perbedaan bahkan cenderung tidak mau kompromi dalam memegang kebenaran yang diyakini dan sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan sikap emosional dalam menyikapi perbedaan, sehingga dalam banyak kasus hal ini didapati sering mengakibatkan timbulnya tindak kekerasan.[3] Jadi respons keras dan garang itulah yang kemudian melahirkan cap radikal dari kalangan pemerhati. Oleh karenanya kelompok radikal tidak melulu atas nama agama, jika para pelaku tindakan radikal itu oknum-politik maka dapat digolongkan itu adalah radikalisme politik. Jika para pelaku radikal itu adalah para petani maka dapat dikatakan radikalisme agraris. Dan jika pelakunya adalah kaum agama maka dikatakan radikalisme agama.
Jika kita menelaah buku-buku tentang Radikalisme, maka kebanyakan para pemerhati menganggap bahwa yang menjadi proto-Radikalisme dalam Islam adalah Kaum Khawarij.[4] Kaum Khawarij muncul dalam panggung sejarah sebagai akibat dari fitnah besar yang tejadi di dunia Islam pada masa awal, yaitu saat terjadinya perang Siffin antara tahun 656 dan 661 Masehi.[5] Kaum Khawarij semula merupakan bagian dari pasukan Hadhrat Ali ra saat memerangi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Muawiyah. Namun kemudian mereka menolak keputusan Tahkim (penjurian) tentang siapa yang layak menjadi khalifah antara Sayyidina Ali ra dan Muawiyyah, karena dalam pandangan kaum khawarij diplomasi antara Sayyidina Ali dan Muawiyah dianggap sebagai “mengkompromikan” yang haq dan yang bathil.
Penolakan kaum Khawarij bukan hanya sebatas pengambilan sikap keluar dari mendukung Sayyidina Ali ra bahkan kemudian meluas dengan menganggap semua pihak yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu sebagai orang-orang yang kafir karena telah mengkompromikan kebenaran dengan keburukan. Sehingga jatuhlah fatwa dari kelompok Khawarij untuk memerangi Sayyidina Ali ra beserta para pengikutnya dan juga kepada Muawiyyah beserta para pendukung. Fitnah yang terjadi di kalangan muslim kala itu semakin besar, sebab peristiwa inilah kemudian sahabat sekaligus menantu Rasulullah saw yaitu Sayyidina Ali bin Abu Thalib ra menjadi korban. Beliau disahidkan oleh seorang utusan kaum Khawarij bernama Abu Muljam.[6]
Namun jika kita mengacu kepada definisi dari radikalisme dan melihat indikasi-indikasi munculnya gerakan radikal, maka sebetulnya benih-benih kelompok radikal ini sudah nampak sejak masa Khalifatul-Rasyidah ke tiga, yaitu Sayyidina Utsman Bin Affan ra. Dan bahkan beliau sendiri menjadi korban dari tindakan radikal segelintir kaum muslim yang tidak senang atas kepemimpinan beliau ketika itu. khususnya kebijakan beliau ra yang mengganti semua Gubernur yang beliau pandang tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. Akibat sakit hati dan tidak senang atas kebijakan terserbut maka mereka bersekongkol untuk membunuh dan menggulingkan kepemimpinan Khalifah Utsman Bin Affan ra. Sayyidina Utsman ra dikepung selama 40 hari, sejarah mencatat dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ultimatum oleh para pemberontak, yaitu mengundurkan diri dari kursi kekhalifahan atau mati. Meski Khalifah Utsman ketika itu mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan para pemberontak, namun beliau berprinsip untuk tidak menumpahkan darah sesama muslim. Pada akhirnya Sayyidina Utsman wafat sebagai Syahid pada 18 Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Hazrat Utsman yang saat itu sedang membaca al-Quran.
Demikian adalah catatan singkat dari sisi kelam sejarah Islam, yang kemudian dapat kita indikasikan sebagai cikal-bakal lahirnya faham-faham radikal dalam Islam. Dan dapat kita tarik kesimpulan bahwa radikalisme itu sejatinya bukan lahir dari ajaran Islam, akan tetapi ia lahir dari sejarah kelam perpolitikan umatnya dan ‘penyimpangan’ mereka dari nilai-nilai ke-Islam. Namun sayangnya, noda-noda dari sejarah kelam itu kini telah seolah-olah dianggap sebagai trend dalam ber-Islam. Provokasi, fitnah-memfitnah dan keengganan untuk mengklarifikasi suatu permasalahan terus dipertontonkan oleh sebagian orang dan bahkan para pemuka agamanya. Karenanya maka perlu adanya pelurusan atau klarifikasi agar kemudian umat bisa faham bagaimana sebetulnya ajaran Islam yang sebenarnya dan bagaimana Rasulullah saw memberikan tuntunan juga tauladan kepada kita tentang cara ber-Islam.
Islam berarti agama yang damai. Seseorang yang mengikuti Islam akan menemukan bahwa dirinya dilingkupi oleh ajaran luhur yang bertujuan untuk mendirikan perdamaian antara manusia dengan Allah, sebagai pencipta segala makhluk; kemudian antara sesama manusia, dan antara manusia dengan makhluk Allah lainnya. Jadi bagaimana mungkin kemudian agama yang membawa ajaran semacam ini dapat disandingkan dengan isu-isu anarkisme dan radikalisme?
Islam juga senantiasa menekankan bahwa kaum beriman diciptakan untuk mencapai akhlak yang tinggi, berperilaku adab yang baik, dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang mulia yang bisa mengubah mereka menjadi orang-orang yang mencintai umat manusia dengan tulus tanpa membeda-bedakan perbedaan agama, ras maupun status sosial (Qs. 49:13-14). Tidak ragu lagi bahwa Islam menganjurkan diskusi yang atas dasar rasional dan logika dengan orang dari semua agama dan kepercayaan dengan cara nyaman dan tidak memihak, yang bertujuan adalah semata-mata agar kebenaran unggul di atas kekeliruan dan kesalahan. Bukan dengan pedang dan ancaman (Qs. 16:126).
Rasulullah saw pernah bersabda; “Barangsiapa yang memperoleh bagiannya dari sifat kasih sayang, maka benar-benar ia telah diberi bagiannya dari kebaikan dunia dan akhirat, sedang barangsiapa yang terhalang bagiannya dari sifat kasih sayang, maka benar-benar telah tertutup bagiannya dari kebaikan dunia dan akhirat.” (HR. Ahmad)
Jadi, Rasulullah saw senantiasa menganjurkan umatnya untuk meningkatkan kecintaan kepada umat manusia dan pentingnya menunjukkan kasih juga simpati kepada setiap makhluk Allah. Karena pada dasarnya cinta dan simpati yang sejati itulah yang merupakan obat penangkal radikalismem, dan Islam mengajarkan itu.
Beliau saw juga menyatakan bahwa Allah tidak mengasihi orang yang tidak mengasihi sesamanya. Bahkan kasih sayang dan kepedulian kita kepada sesama telah dijadikan tolak ukur bagi keimanan “Laa yu’minu ahadukum hatta yuhibbu liakhiihi ma-yuhibbu linafsihi” yakni, tidaklah beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.
Jadi, jauh dari sifat menghasut kebencian dan perilaku agresif, Islam justru memerintahkan kebaikan dan simpati bagi semua. Karenanya maka, bagaimana mungkin agama yang demikian menekankan kepada umatnya untuk hidup berkasih satu dengan yang lainnya, memberi manfaat antara satu sama lain, dapat dianggap mendukung dan membenarkan tindakan terror, anarkis, intoleran dan radikal?
[1] http/yusufeff84.wordpress.com/2010/04/21/radikalisme-islam-di-indonesia. Diakses pada 19 April 2011.
[2] Lihat, Departemen Pendidikan; Kamus Besar Bahasa Indobnesia, Edisi Ketiga, Cet Balai Pustaka, Jakarta; 2005.
[3] Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, h. xxv (pengantar).
[4] Khawārij (bahasa Arab: خوارج baca Khowaarij, secara harfiah berarti “Mereka yang Keluar”) ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib ra., dan kemudian menolaknya Karena tidak setuju dengan penyelesaian perang melawan pemberontakan Muawiyah melalui tahkim (penjurian), dalam perang siffin yang terjadi pada bulan saffar 37 H. sementara perundingan terjadi di Dumatul Jandal pada bulan Sya’ban 37 H. sementara itu pendapat lain mengatakan pertemuan di Dumatul Jandal terjadi pada bulan Ramadhan 37 H.
http://www.wikipedia.org/Indonesia/ensiklopedia/khawarij-sejarah-perkembangan-dan -prinsip-prinsip-nya.htm, diakses pada Rabu, 7/05/2011 09:31 WIB
[5] Lihat, Ir.Hm. Su’aibi Didu. Mm. Radikalisme Dalam Islam Antara Argumen Jihad Dan Terorisme (Jakarta: 2006) h. 7
[6] Lihat, Ir.Hm. Su’aibi Didu, Mm. Radikalisme Dalam Islam Antara Argumen Jihad Dan Terorisme (Jakarta:2006). hal. 16.