Oleh : Rauhun Thoyibah Mansur, Jabar
Kegembiraan menyambut hari raya bagi semua agama dan keyakinan pasti menjadi hari yang paling dinantikan dalam satu tahun penuh. Tak terkecuali bagi umat Nasrani, perayaan Natal ditunggu-tunggu kedatangannya dengan suka cita dan penuh kegembiraan.
Sebagaimana doa yang diucapkan Nabi Isa as selaku pembawa risalah bagi umat Nasrani yang tertuang dalam surah Al Maidah:115,
اللّٰهُمَّ رَبَّنَاۤ اَنْزِلْ عَلَيْنَا مَآئِدَةً مِّنَ السَّمَآءِ تَكُوْنُ لَـنَا عِيْدًا لِّاَوَّلِنَا وَاٰ خِرِنَا وَاٰ يَةً مِّنْكَ ۚ وَا رْزُقْنَا وَاَ نْتَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ
“Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami ataupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.”
Seiring natal tiba seringkali muncul dipermukaan permasalahan boleh tidaknya mengucapkan selamat natal kepada umat Nasrani. Padahal mengucapkan atau tidak pastinya tidak akan mengurangi semangat dan kegembiraan umat Nasrani merayakan hari Natalnya.
Mengucapkan selamat natal sejatinya tergantung pada niat kita. Jika Natal dianggap sebagai merayakan kelahiran Yesus oleh jutaan umat Nasrani di seluruh dunia, itu kan aqidah mereka namun bagi kita mengucapkan itu sebagai bentuk toleransi dan menghargai perayaan mereka. Tentunya niat kita lepas dari mengikuti niat mereka yang mengakui ke Tuhanan Yesus.
Seorang muslim harus menghormati segala bentuk perbedaan dan menghormati pula kebebasan dalam beribadah bagi penganut agama lainnya. Karena kebebasan dalam beragama dan mejalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan adalah hak setiap orang.
Dijaman Rasulullah (saw) pun mencontohkan bagaimana sikap toleransi itu yang dikisahkan dalam suatu riwayat bahwa Nabi Muhammad (saw) mempersilahkan 60 delegasi Nasrani Bizantium dari Najran di Yaman untuk beribadah di mesjid Madinah. Dipimpin oleh pendeta mereka, mereka datang untuk mendiskusikan sejumlah permasalahan dengan beliau (saw). Ketika tiba waktu berdoa mereka, mereka meminta izin Nabi (saw) untuk melaksanakannya di mesjid. Beliau bersabda, “Lakukanlah kebaktian kalian di sini, di mesjid ini. Ini adalah tempat yang disucikan demi Tuhan.” Apakah Nabi Muhammad (saw) berbuat syirik (Naudzubillah) dengan mengizinkan para Nasrani untuk beribadah di mesjidnya, padahal beliau tahu bahwa mereka meyakini Yesus (as) adalah anak Tuhan?
Allah Ta’ala tidak memaksakan hambaNya untuk harus beriman pada satu keyakinan karena sudah sunatullah bahwa manusia memiliki kebebasan memilih beriman atau tidak beriman, sebagaimana firmanNya:
وَ قُلِ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکُمۡ ۟ فَمَنۡ شَآءَ فَلۡیُؤۡمِنۡ وَّ مَنۡ شَآءَ فَلۡیَکۡفُرۡ ۙ
Dan katakanlah, “Inilah kebenaran dari Tuhanmu; maka barangsiapa menghendaki, maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki, maka ingkarlah.” (Al-Kahf:30)
Perkara beriman dan tidaknya seseorang menjadi bagian dari hak Allah Ta’ala yang tidak bisa dilakukan oleh hambanya. Dia lah yang akan memberi hidayah pada hati hambaNya untuk bisa menerima kebenaran meskipun Dia menetapkan agama yang paling Dia ridhai itu adalah Islam.
Bergaul dengan yang berbeda keyakinan selama saling menghargai dan kuat dengan keyakinan masing-masing tidak perlu menjadi kekhawatiran. Sama halnya ketika saudara yang berbeda keyakinan merayakan hari besar agamanya lalu mengucapkan selamat kepada mereka tidak akan berarti kita akan mengikuti keyakinan mereka.
Mengucapkan selamat adalah sebagian kecil dari cara kita menerima perbedaan. Mereka memiliki hak merayakan hari besar agamanya dengan penuh suka cita dan mengucapkan selamat Natal kepada saudara-saudara Nasrani tidak akan menjadikan kita Nasrani bukan?
Begitu indahnya kebersamaan dalam perbedaan dan saling menghargai tanpa harus saling mendeskreditkan keyakinan masing-masing. Jika sebagai muslim kita berhak merayakan kebahagiaan setiap hari raya besar kita mengapa mereka umat Nasrani atau yang lainnya tidak berhak. Mereka berhak berbahagia, menyalakan lampu-lampu di dalam rumah mereka, jangan kita rusak rasa suka cita mereka dengan hanya ungkapan halal haram mengucapkan selamat.
Kita luruskan niat kita untuk menghargai perbedaan dalam bingkai persatuan terlebih di negara kita tercinta Indonesia Raya yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yakni Berbeda-beda namun tetap satu jua.