“Kami patuh, jangan negosiasi supaya hidup selamat.”
Sebuah kalimat sederhana yang saya dapatkan ketika menjelajah Kampung Naga, sebuah desa di Neglasari, Tasikmalaya yang hingga saat ini tetap mempertahankan tradisinya. Damai dan sederhana, dua kata itulah yang terlintas ketika berada di sana.
Beberapa hari menjelang bulan Ramadan, niat untuk menjelajah desa ini akhirnya terlaksana. Letaknya tidak jauh dari tempat saya tinggal di perbatasan Tasikmalaya-Garut. Kampung Naga ternyata memiliki banyak pesan yang mendalam untuk direnungkan.
Sesaat setelah turun dari angkutan umum warna hijau jurusan Cikuray–Singaparna dan memasuki gerbangnya, saya disambut sebuah tugu berbentuk Kujang yang dikenal sebagai senjata khas masyarakat Sunda. Dari sini pun sudah terlihat bahwa warga di kampung ini memang “sunda banget”.
Meskipun tugu ini dibangun oleh orang luar kampung, namun menerima modernisasi dan hal lain yang di luar tradisi leluhur adalah hal sangat tabu bagi masyarakat Kampung Naga. Tugu Kujang pusaka dengan tinggi sekitar 3 meter menjadi tanda awal kepatuhan warga Kampung Naga mempertahankan tradisi Sunda.
Saya agak beruntung mengunjungi lokasi ini di hari Senin, bukan karena sepi pengunjung melainkan hari ini bukanlah “hari tabu” bagi masyarakat Kampung Naga. Di tempat ini, semua warganya sangat patuh pada nasihat dan amanat leluhur untuk tidak membicarakan dan melakukan ritual apapun pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu.
Belum sempat saya bertanya “mengapa dan ada apa” dengan ketiga hari tersebut, ketua RT di sana seketika bercerita bahwa semua masyarakat di sini hanya ingin hidup damai dan tenang. Caranya dengan patuh sepenuhnya kepada pesan leluhur tanpa perlu bertanya lagi alasannya, apalagi untuk menegosiasi aturannya.
“Hukum tidak harus tertulis, tetapi kami percaya siapa yang melanggar akan ada akibatnya,” ungkap penduduk kampung tersebut.
Hidup Sederhana dan Toleransi yang Sebenarnya
Sembari menuruni ratusan anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat, saya melihat barisan rumah menghadap utara atau selatan dilengkapi dua pintu dan jendela-jendela. Semua tertata rapi dari timur hingga ke barat. Rumah-rumah di sini berlantaikan kayu dan beratap segitiga dari ijuk hitam pekat. Jika dicermati bentuknya mirip burung yang sedang mengepakan sayap.
Azan Zuhur berkumandang dari satu-satunya masjid di sana. Tentu saja, karena semua warga di kampung ini tercatat beragama Islam. Menarik, ketika memperhatikan ritual agama bersanding dengan kearifan lokal yang kental.
Sama sekali tidak terlihat perpecahan atau adu argumen ketika agama dan tradisi berjalan bersamaan. Sebagai contohnya ketika tiba hari raya umat Islam pada hari larangan yaitu Selasa, Rabu dan Sabtu, maka masyarakat Kampung Naga hanya tinggal merayakannya di hari lainnya. Tanpa memperdebatkan hal itu.
Hamparan persawahan semakin menyita perhatian saya. Ditambah dengan semilir angin dingin khas pegunungan, karena tempat ini memang tak jauh dari Gunung Cikuray. Butuh sekitar 10 sampai 15 menit menapaki anak tangga yang berjumlah ratusan ini, hitungan saya, hampir 400 anak tangga. Ujungnya bertemu dengan jalan setapak di tepian sungai Ciwulan. Kemudian terus menyusuri jalan setapak hingga terlihatlah kehidupan.
Kesederhanaan masyarakat Kampung Naga terbilang luar biasa. Bisa-bisanya ratusan warga di sini bertahan tanpa elektronik, listrik dan kecanggihan perabotan. Dimana itu merupakan sumber kehidupan baru bagi masyarakat urban.
Melihat bentuk rumah yang seragam saja sudah menunjukan bahwa antar satu warga dengan warga yang lainnya tidak ingin saling meninggi-rendahkan. Seiring dengan kesederhaanan yang dipertahankan warga Kampung Naga seolah ingin memiliki pola pikir yang serupa, tentang bisingnya informasi ketika semua modernisasi mulai diterima.
Masyarakat Kampung Naga mempertahankan “puasa” selamanya. Bukan dalam konteks menahan asupan makan dan minum saja, akan tetapi puasa karena tak banyak bertanya. Hal yang diturunkan dari leluhur atau pimpinan. Seketika pesan para leluhurnya itu mereka yakini sebagai sesuatu yang baik sepenuhnya dan hanya tinggal dilaksanakan tanpa perlu bertanya alas an serta latar belakangnya aturannya apa.
Barangkali itulah yang membuat mereka bertahan dari gempuran modernisasi dan teknologi yang semakin melesat. Patuh sepenuhnya tanpa syarat menjadi kunci hidup penuh ketenangan dan kedamaian. Sepenuhnya sami’na wa atho’na, tanpa perlu mengadu ego untuk mencari tahu apa dan kenapa.
Semua penduduknya sepakat untuk hidup tanpa listrik. Tidak adanya perbedaan bentuk rumah dan perabotan di dalamnya menunjukkan bahwa mereka puasa dari keinginan untuk berlebihan dalam urusan duniawi. Terlihat berbeda bisa menimbulkan prasangka, maka, nikmati saja apa yang ada dan hidup secukupnya.
Kampung Naga memberikan pelajaran mendalam tentang toleransi dalam arti sebenarnya. Menghormati leluhur sudah menjadi kejelasan. Melaksanakan amanat leluhur bersamaan dengan ritual keagamaan tanpa perdebatan hanya akan terjadi di tengah orang-orang yang ingin mewujudkan kedamaian.