Selama dua tahun (2018-2020) ditugaskan di Maluku sebagai Mubalig Daerah, Penulis merasa banyak sekali terbantu dengan wawasan Etnografi dan Antropologi yang sebelumnya dipelajari. Selama di Maluku –begitu juga kini selama dua tahun di Papua Barat—relatif tidak ada kendala berarti untuk menjalin hubungan dengan pihak lainnya. Bahkan, dengan pihak yang sebelumnya tidak dikenal sekalipun.
Adalah Kol. Syahbuddin Burhan, mantan Sekretaris Umur Kharijiah PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang 20 tahun lalu menyarankan agar Penulis mendalami Etnografi dan Antropologi, tentu saja selain materi yang wajib dikuasai oleh seorang Mubalig Ahmadiyah. Bahkan, almarhum yang juga memberikan beberapa buku terkait Etnografi kepada Penulis. Saat ini masih ingat, judul kedua buku dengan sampul berwarna kuning tersebut.
Persentuhan dengan Etnografi dan Antropologi pun semakin erat setelah Penulis ditugaskan di Salatiga dan mendalami Teologia. Meski Etnografi dan Antropologi yang dipelajari umumnya tulisan para pekabar Injil (missionaris) Kristen dan Katolik, namun itu sudah memadai. Buku-buku yang ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya saat melakukan pekabaran Injil di pelosok Maluku, Sulawesi dan Papua, memiliki bobot naratif yang hidup. Penulis seolah diajak memasuki ruang dan waktu pada masa itu.
Sebut saja nama Albertus Christiaan Kruyt alias A.C. Kruyt (10 Oktober 1869-19 Januari 1949). Missionaris dan Teolog Belanda kelahiran Mojowarno, Jombang dan anggota dari Nederlandsch Zendeling Genootchap (Lembaga Missionaris Belanda) itu dikenal sebagai seorang Etnografer (Pakar Etnografi) yang membuka pos penginjilan di Sulawesi Tengah khususnya di Teluk Tomini, Poso.
Penulis selalu terkesima ketika membaca salah satu buku karya pencetus Teori Zielestof itu. Dalam buku “Keluar dari Agama Suku, Masuk ke Agama Kristen” (judul asli: Van Heiden tot Christen), Kruyt memaparkan mengenai animisme dan dinamisme di Poso dengan sangat baik. Bahkan, Kruyt menciptakan satu istilah baru – yaitu zielestof—ketika membahas materi tersebut. Zielestof adalah roh hidup yang tetap hidup meskipun orangnya telah meninggal sekalipun. Zielestof ini biasanya terdapat di rambut, kuku, feses dan bagian tubuh manusia lainnya.
Nama kedua yang tidak kalah pentingnya adalah Jan Boelaars. Missionaris kelahiran Tilburg (Belanda), 17 Februari 1915 itu dengan sangat baik memotret etnografi dan antropologi suku-suku di Tanah Papua (dulu Irian Jaya). Bukunya “Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan” membahas pandangan hidup dan pengalaman beragama Suku-suku: Marind-anim, Yah’ray, Asmat, Mandobo, Ekagi, Dani dan Ayfat.
Sama halnya dengan Kruyt –kedua-duanya adalah missionaris– Boelaars pun kemudian menjadi dosen Etnografi di Universitas Cendrawasih Jayapura dan beberapa kampus Katolik di Manado, Abepura, Pematang Siantar dan Flores. Wawasannya yang luas mengenai Etnografi dan Antropologi di Tanah Papua, menempatkan posisinya sebagai akademisi yang paling dicari pada masanya.
Mengenal Etnografi Dan Antropologi
Menurut Wikipedia, Etnografi adalah adalah suatu bidang penelitian ilmiah yang sering digunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa cabang sosiologi. Etnografi juga dikenal sebagai bagian dari ilmu sejarah yang mempelajari masyarakat, kelompok etnis dan formasi etnis lainnya, etnogenesis, komposisi, perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan sosial, juga budaya material dan spiritual mereka.
Sedangkan Antropologi adalah ilmu tentang manusia atau ilmu yang mempelajari manusia. Dalam melakukan kajian terhadap manusia, Antropologi mengedepankan dua konsep penting, yaitu Holistik dan Komparatif. Aspek Sejarah dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial (ilmu hayati) dan juga humaniora.
Ilmu Etnografi berkembang semenjak Ilmu Antropologi mulai berkembang, yaitu pada akhir abad ke-15. Saat itu, suku-suku bangsa Afrika, Asia, Amerika dan Australia mulai didatangi oleh penjelajah bangsa Eropa. Etnografi pada saat itu berfungsi untuk mengetahui penyebaran kebudayaan manusia, membangun koloni penjajahan dan mencari kelemahan suku asli dan kemudian menguasainya.
Penelitian Etnografi biasanya mencakup Geografi dan Demografi, Bahasa, Struktur Sosial, Kehidupan Sosial Individu, Lingkaran Hidup Individu, Ritual dan Kepercayaan, Organisasi Politik dan Harta Benda. Penulisan Etnografi biasanya menggunakan “the incription of participatory experience”.
Seorang peneliti Etnografi memasuki tatanan sosial dan mendalami pengetahuan tentang masyarakat yang bersangkutan secara intim. Etnografer harus terlibat langsung dalam rutinitas keseharian masyarakat yang sedang ditelitinya. Peneliti Etnografi mencatat dan menuliskan hasil penelitiannya secara berkala, dengan cara sistematis ketika menngikuti hidup keseharian bersama mereka.
Etnografi Dan Antropologi Di Kalangan Pekabar Injil
Bila pekabar Injil yang Etnografer sudah dituliskan dua sosoknya seperti tersebut di atas. Maka, untuk data faktual, Penulis juga menuliskan seorang lagi missionaris atau pendeta yang Antropolog di Maluku. Meskipun sebelumnya banyak sekali pendeta atau pekabar Injil yang juga seorang Etnografer dan Antropolog, tetapi pendeta-Antropolog dari Gereja Protestan Maluku (GPM) alumnus Indonesia Jakarta (2021) tersebut terbilang unik.
Berlawanan dengan kebiasaan umum pada saat ini –terutama di kalangan pekabar Injil atau pendeta— Pdt. Dr. Rudy Rehabeat justru mengambil doktoralnya mengenai antropologi. Meskipun banyak pihak yang mempertanyakan keputusannya itu, tetapi Rudy tetap tak bergeming. Sekretaris Sinode GPM itu menulis, “(Hendaknya) ada kerjasama dan kolaborasi lintas ilmu. Para ilmuwan mesti saling kerjasama lintas ilmu, termasuk ilmu teologi.”
Suami dari Ruth Saiya itu memantapkan pertimbangannya, “Secara pribadi saya melihat ada dua agenda praksis terkait sumbangan ilmu antropologi bagi teologi (gereja). Pertama, mengembangkan kerja-kerja etnografi terkait pelayanan di Jemaat-jemaat. Hal ini sebenarnya telah dilakukan oleh para zendeling (penginjil) pada zaman Hindia-Belanda, mereka membuat catatan-catatan harian mengenai Jemaat-jemaat yang mereka layani. Kedua, mengembangkan teologi kontekstual. Melalu kajian-kajian antropologis dan sosiologis yang memadai, gereja dan teolog dapat mengembangkan teologi yang berakar pada budaya dan realitas sosial setempat.”
Etnografi dan Antropologi oleh Mubaligh Ahmadiyah
Ketika pada akhir 1922 Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. menunjuk Hadhrat Maulana Rahmat Ali, H.A., O.T. sebagai Mubaligh untuk Sumatera dan Jawa, Maulana Rahmat Ali pun mulai mempelajari wawasan Ketimuran khususnya Indologi. Bahkan, Maulana Rahmat Ali juga mengambil kursus singkat terkait Oriental Training (O.T.) alias Studi Ketimuran.
Dalam buku “Riwayat Hidup Maulana Rahmat Ali, H.A. O.T., Maulana Basyiruddin Ahmad, Sy. menulis, “Kemudian Maulana Rahmat Ali pun datang kepada para pelajar Indonesia yang ada di Qadian itu untuk belajar bahasa Indonesia. Untuk memenuhi permintaan itu, mereka memesan buku-buku dari tanah air, di antaranya adalah buku Empat Serangkai. Namun, baru saja Maulana Rahmat Ali belajar sebulan, beliau sudah dikirim ke Indonesia.”
Tentu saja, terlalu mudah membayangkan, bahwa hanya dengan waktu satu bulan mempelajari Bahasa Indonesia, wawasan Etnografi atau Antropologi Mln. Rahmat Ali dapat diandalkan. Faktanya, kemungkinannya tidak seperti itu, melainkan beliau juga telah mempelajari mengenai studi ketimuran (Oriental Training) dalam kurun waktu yang cukup lama. Terbukti, dalam penulisan nama beliau selalu dicantumkan gelar O.T. yang maksudnya Oriental Training.
Gelar ini berasal dari lembaga yang menyelenggarakan semacam kursus singkat (short course) mengenai Indologi atau Etnografi yang umumnya sedang berkembang dan diminati pada paruh perempat pertama abad ke-20 tersebut. Sebab, untuk di Indonesia (Hindia-Belanda/East Indie) saat itu, para pegawai sipil (ambtenaar) juga diwajibkan memiliki kemampuan Etnografi dan Antropologi, terutama yang akan ditempatkan di Nederlandsch Nieuw Guinea (Papua).
Selain Mln. Rahmat Ali, dalam sejarah Jemaat, kita juga mendapati fakta, bahwa Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h., yaitu Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, H.A., B.A., Syahid, juga pernah menempuh pendidikan selama dua setengah tahun di University of London, Inggris. Pada tahun 1950-an itu, Mia Tahir melanjutkan pendidikan di School of Oriental and African Studies (SOAS). Ini memang sesuai dengan pesan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., bahwa beberapa khandan, harus menimba ilmu Kebaratan (Occidentalisme) dan Ketimuran (Orientalisme) supaya dapat menangkis budaya dan tradisi Barat dan Timur yang tidak selaras dengan Islam.
Penulis: Mln. DR. Rakeeman R.AM. Jumaan (Mubalig Daerah Papua Barat)
Masya Allah …. keren tulisan nambah ilmu.