Tepat tanggal 12 April 2022 berita mengembirakan datang dari Senayan Jakarta. DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan tersebut disambut gembira oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya para aktivis gender yang sejak awal berjuang mendesak pengesaan RUU tersebut.
Namun tahukah kalian, perjalanan dan perjuangan itu penuh dengan lika-liku. Tercatat RUU mengenai kekerasan seksual sudah mulai diajukan sejak tahun 2012. Saat itu Komnas Perempuan yang mulai menginisiasinya dengan nama awal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Empat tahun berjalan tidak mendapatkan respon serius, baru pada tahun 2016 DPR RI meminta naskah akademiknya.
Di tahun yang sama DPR menyepakati RUU PKS masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Selain itu Presiden Joko Widodo juga menyatakan dukungannya.
Setahun kemudian, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU inisiatif DPR. Tentu keputusan itu cukup mengembirakan. Mengingat bertahun-tahun lamanya belum terlihat progres yang berarti mengenai RUU itu. Namun, pada 2018, DPR tiba-tiba mengeluarkan keputusan untuk menunda pembahasan RUU PKS dengan alasan menunggu Pemilu 2019 selesai.
Alhasil pembahasan RUU PKS pun tidak rampung di masa periode 2014-2019 dan dilanjutkan ke DPR periode 2019-2024.
Sampai 2020, pro dan kontra masih terus mewarnai perjalanan RUU tersebut. Terhitung ada lima fraksi di DPR yang mendukung, sedangkan empat fraksi masih menolak RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021. Bahkan sempat juga ada kabar bahwa pembahasan RUU itu bakal dicabut dari Prolegnas oleh Komisi VIII, yang saat itu ditunjuk sebagai pembahas RUU PKS.
Dalam perjalanannya, RUU PKS sempat mendapat ‘perlawanan’ dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), bahkan sampai detik-detik RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang partai Islam itu tetap menolaknya.
Selain itu sejumlah kelompok juga sempat menentang RUU tersebut. Mereka menilai RUU PKS “mendukung zina dan LGBT”. Anggapan seperti ini telah berulang kali dibantah oleh para pengusul RUU PKS dan Komnas Perempuan.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tidak setuju dengan nama RUU PKS. Partai itu menyarankan nama RUU diubah, tidak menyebut kekerasan seksual tapi kejahatan seksual. Pada September 2021, setelah berdiskusi dengan berbagai elemen masyarakat, panja DPR memutuskan untuk mengganti nama RUU PKS menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Proses RUU PKS diwarnai sejumlah demo yang menuntut pengesahannya. Berbagai aktivis mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU PKS. Hal tersebut mengingat maraknya kasus kekerasan seksual.
Demonstrasi tersebut terjadi di seantero Indonesia. Banyak kalangan aktivis yang memanfaatkan momen-momen penting seperti Hari Perempuan Sedunia untuk melakukan aksi unjuk rasanya.
Beberapa tahun berlalu, pada awal tahun ini tepatnya tanggal 4 Januari 2022, Presiden Jokowi menyinggung RUU TPKS. Dia berharap RUU itu segera disahkan. Jokowi juga meminta substansi dalam UU tersebut fokus pada perlindungan korban kekerasan seksual.
Di bulan yang sama RUU TPKS resmi disahkan menjadi RUU inisiatif DPR, dilakukan di rapat paripurna ke-13 masa sidang 2021-2022.
Setelah menjalani berbagai lika liku perjuangan selama 10 tahun, akhirnya pada 12 April 2022 RUU TPKS resmi disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang (UU). Pengesahan itu diambil saat rapat paripurna ke-19 masa sidang 2021-2022.
Dalam momen keputusan tersebut hadir sejumlah koalisi LSM perempuan dan kalangan aktivis, antara lain LBH APIK dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Pengesahan itu juga menjadi kado terindah bagi mereka dan para pejuang RUU TPKS yang selama ini berjuang.
RUU TPKS yang telah resmi menjadi Undang-Undang ini diharapkan menjadi produk hukum yang benar-benar berpihak kepada korban kekerasan seksual. Payung hukum itu harus benar-benar ditegakan dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual sehingga para korban mendapatkan haknya yang sesuai.