Bandung – Lajnah Imailah Indonesia menghadiri Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Komunitas Iteung Gugat di Aula Kantor Sinode Gereja Kristen Pasundan, Bandung, Sabtu (29/01/2022).
FGD yang bertajuk “Perempuan Bersuara untuk Perjuangan dan Keberagaman” itu dihadiri oleh para perempuan anusiaan dan lintas iman, diantaranya BPD Peruati Priangan, Jaringan Advokasi Jawa Barat, JAKATARUB, Bilik Pengaduan WSC UIN Bandung, Hope Helps UNPAD, Hope Helps UNPAR, Hope Helps ITB, Great UPI, Komisi Perempuan Gereja Kristen Pasundan (GKP), Komisi Perempuan Gereja Kristen Indonesia (GKI), Komisi Perempuan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Jawa Barat, Wanita Katolik RI (Jawa Barat), Puan Hayati, Wanita Hindu Dharma Jawa Barat, Wanita Konghucu, Fathimiyyah, Fatayat NU, Muslimat, dan Lajnah Imaillah (LI).
Sebelum acara dimulai, para peserta FGD saling bersilaturahmi dan bertukar nomor handphone satu sama lain.
FGD itu dibagi menjadi tiga sesi, yang masing-masing dipantik oleh Pdt. Ira Imelda (WCC PasDur), Sri Mulyati (SAPA Institute), dan Hana Nabila (BP UIN Bandung) sebagai pemantik diskusi.
Sesi pertama FGD membahas tentang apa itu kekerasan seksual dan bentuknya. Menurut Pdt. Ira Imelda, kekerasan seksual dibagi menjadi dua yakni kekerasan seksual subjektif dan objektif.
Subjektif karena kelihatan bentuknya, ada peristiwanya, dapat dilihat kejadiannya dan ada korbannya. Sedangkan Objektif meliputi motivasi di balik kekerasan seksual. Menurutnya, hal ini-lah yang berbahaya karena ini simbolik dan sistemik.
“Simboliknya ada ide, cara berpikir dan biasa tersembunyi dalam bawah sadar serta dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Salah satunya adalah faktor seksis maupun klinis. Secara umum, bentuk kekerasan seksual itu untuk menundukan seseorang. Biasanya terjadi di daerah konflik yang banyak perempuan dan anaknya. Mereka menjadi korban kekerasan seksual, dan itu bentuk menunduan, karena konsep berpikirnya perempuan itu adalah milik laki-laki,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pdt. Ira mengatakan bahwa harkat martabat suatu negara akan ambruk ketika perempuan dan anaknya dijadikan korban kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual sebenarnya tidak bisa hanya ditangani secara parsial. Tetapi harus ditangani secara komprehensif, meliputi semua. Karena pada era digital seperti sekarang, kasus pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara fisik dan non-fisik saja. Namun, sudah lebih kompleks karena disertai dengan transmisi dokumen elektrik (kekerasan berbasis online),” ujarnya.
Lalu, Pdt. Ira menenangkan bahwa persoalan yang dihadapi oleh korban yakni proses pembuktian, yang pada kenyataannya selalu dibebankan kepada korban. Ditemukan pula data bahwa kasus kekerasan paling banyak selama pandemi, yang justru terjadi dari rumah.
Tidak sedikit pelaku kekerasan seksual adalah tokoh agama atau tokoh masyarakat maupun orang penting. Parahnya korban dituntut untuk mengampuni. Korban bahkan ada yang melindungi pelakunya. Dampak kekerasan seksual sudah pasti, mulai dari kesehatan reproduksi, kesehatan fisik dan mental.
Dalam sesi pertama, yang patut digarisbawahi juga adalah kaitannya dengan dunia digital seperti sekarang. Banyak korban kekerasan seksual yang takut dan terkena dampak mental lebih berat sebab rekam jejak digitalnya tidak akan hilang. Seperti korban kehilangan namanya, dan berulang kali disebut korban dari x, mereka selalu disandingkan dengan nama pelaku.
Pada sesi kedua, FGD difokuskan pada bahasan mengenai peran tokoh agama yang turut dapat berkontribusi pada penyelesaian kasus kekerasan seksual.
“Ketika berbicara soal kekerasan seksual itu adalah juga persoalan hak sebagai warga negara yg memiliki hak institusi. Kekerasan seksual berbasis online banyak juga menimpa perempuan dewasa dan lansia. Sehingga, diperlukan sosialisasi di komunitas agama terkait dengan persoalan ini,” tutur Sri Mulyati, pemantik kedua dari SAPA Institute.
Di sesi ini juga diisi perkenalan masing-masing peserta FGD dari berbagai komunitas. Dan kemudian dilanjutkan sharing mengenai kasus kekerasan seksual yang dialami atau bahkan terjadi di komunitas masing-masing.
Salah seorang perwakilan Lajnah Imailah mengungkapkan bahwa belum pernah mendapatkan informasi atau kasus kekerasan seksual di komunitasnya. Hal tersebut dikarenakan Lajnah Imailah rutin mengadakan kelas parenting, jaga diri dan anak. Jenis kegiatannya berupa pembinaan kepada para ibu dan anak-anak perempuan, mereka menamainya Youm Ummahat dan Youm Binaat.
“Jika pun ada yang mengalami kekerasan seksual, kami memiliki tim konselor dan psikolog yang siap menangani dan membantu memulihkan,” pungkas perwakilan Lajnah Imailah tersebut.
Sedangkan pada sesi tiga, FGD difokuskan pada cara membantu korban untuk pulih. Baik secara hukum maupun medis.
Hana Nabila Pemantik ketiga dari BP UIN Bandung menyampaikan bahwa kekerasan tidak hanya sesuatu yang sifatnya fisik, namun juga kekerasan bisa secara psikis. Kasus-kasus ini kerap kali terjadi di kampus, banyak mahasiswa yang menjadi korban dari para dosennya.
Dia menambahkan bahwa kekerasan seksual di kalangan anak muda lebih banyak dilakukan oleh pelaku melalui verbal. Seorang pendamping harus memiliki jaringan yang dapat membantu korban untuk pulih, baik secara hukum maupun medis. Pemberdayaan pengetahuan tentang kekerasan seksual kepada para mahasiswa pun menjadi sangat penting.
Di penghujung acara, semua peserta mengisi angket evaluasi kegiatan baik dari segi materi, fasilitas atau akomodasi dan kepanitiaan.
Panitia berharap bahwa setiap komunitas sebaiknya secara kontinu memberikan sosialisasi dan edukasi. Selain itu juga memiliki SDM untuk membuka ruang konsultasi atau layanan dan melakukan pendampingan. Jika tidak memiliki ketersediaan SDM, antar komunitas perempuan lintas iman dapat saling membantu, baik dala sisi hukum maupun medis (psikolog).
Panita pun menanggapi masukan dari para peserta yang menginginkan agar kegiatan seperti ini terus berlanjut. Dengan keberlanjutan kegiatan akan membuat para peserta secara bersama mengetahui tahapan apa saja yang harus dilakukan dalam menanggulangi kasus-kasus kekerasan seksual khususnya di Jawa Barat.
Kontributor: Liana S. Syam
Editor: Hajar Ummu Fatikh