Oleh : Mln. Basyarat Ahmad Sanusi
Damai secara etimologi berarti tidak ada perang, aman, tentram, tenang tidak ada kerusuhan, tidak bermusuhan, dan hidup rukun, dari kata dasar itu kemudian kita mengenal adanya perdamaian yang merujuk kepada sebuah proses penghentian permusuhan dan perselisihan untuk menciptakan rasa aman, ketenangan dan ketentraman, sehingga terwujud kehidupan yang harmoni.
Keinginan hidup damai merupakan fitrah manusia yang sangat mendasar, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak ingin hidup damai, bahkan hingga akhirat pun hidup damai di surga menjadi harapan setiap orang, akan tetapi fitrah itu seringkali dikotori manusia itu sendiri dengan perilaku konflik dan pertumpahan darah, baik disebabkan oleh kepentingan politik, ekonomi, ideologi atau kepentingan-kepentingan lainnya.
Dalam catatan sejarah manusia kita ketahui banyak peperangan terjadi di antara bangsa-bangsa di dunia yang telah menelan kerugian yang sangat besar, ironinya banyak pula peperangan terjadi berlatar belakang agama, padahal agama adalah ranah yang dianggap paling suci pada kehidupan manusia dan agamalah sejatinya yang dominan mengajarkan kepada manusia untuk menempuh hidup damai. Dalam konteks ini tentu kita dituntut bijak mengambil kesimpulan bahwa bukan agama-agama itu yang bertikai tetapi pemeluk agamalah yang saling berebut klaim kebenaran.
Apabila kita mau meneliti dengan cermat pada jejak-jejak kehidupan manusia dalam peristiwa konflik dan damai, maka ternyata ada pola yang terulang secara terus menerus walaupun setting waktu dan pelakunya berbeda tetapi polanya relatif sama, hal tersebut disebabkan karakter manusia yang melekat padanya.
Mengenai hal ini seorang Aunur Rofiq Ph.D. menulis: “Pada dasarnya memang manusia diciptakan dengan membawa dua konsekuensi, pertama sebagai tokoh pelaku perdamaian, kedua sebagai pelaku konflik dan perang, dalam sejarah kehidupan manusia para nabi dari Adam hingga Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya adalah peace maker, kelompok kedua ditempati Qabil, Fir’aun hingga Abu Jahal dan generasinya ”. (Rofiq, 2012:1).
Sejarah kehidupan manusia memang diseret-seret melalui debu dan tanah, sejak hari dan saat Qabil membunuh saudaranya Habil, sampai hari ini demikian banyak darah telah mengalir tanpa hak. Terbunuhnya Habil di tangan Qabil merupakan darah pertama yang mengalir tanpa berdasar hukum yang telah disebutkan Al-Qur’an dan Bible sebagai peringatan bagi kita untuk selama-lamanya.
Hawa nafsu yang sama, yang dahulu bergolak di hati Habil, sekarang pun bisa bergolak dalam berbilang dada manusia, adalah merupakan bara api yang walaupun beribu tahun disirami dengan ajaran cinta, toleransi dan damai tetap tidak pernah mau mendingin (Tahir Ahmad 1984:11).
Di sudut tertentu memang nyaris padam tetapi di sudut yang lain percikan api itu baru saja tumbuh membesar, demikianlah dua konsekwensi manusia sebagai pelaku damai dan perang yang telah disebutkan Aunur Rofiq menemukan titik benarnya.
Penelusuran kita pada ajaran agama-agama akan menemukan bukti bahwa Tuhan telah mengajarkan cinta kasih, toleransi dan damai pada setiap ajaran agama secara berulang. Berulangnya ajaran itu diberikan kepada manusia menjadi pertanda hawa nafsu yang menyebabkan konflik dan pertumpahan darah nyatanya memang tidak pernah padam, prasasti ajaran cinta dan damai beberapa bagiannya dapat kita jumpai pada agama Kristen, Hindu, Budha dan Islam.
Ajaran agama Kristen untuk hidup damai dan penuh cinta yang terdapat dalam kitab injil sebagai berikut:
(1). Semua yang hidup karena pedang ia akan mati karena pedang. (Matius 26:51-52)
(2). Tetapi aku berkata kepadamu: kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang telah menganiaya kamu. (Matius 5:43)
(3). Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, lakukanlah apa yang baik bagi semua orang, sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung kepadamu hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang, saudara-saudaraku yang terkasih janganlah kamu sendiri menuntut balas, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis pembalasan itu adalah hak-ku, akulah yang akan menuntut pembalasan, tetapi jika musuhmu lapar, berilah dia makan, jika dia haus berilah dia minum, dengan berbuat demikian kamu menupuk bara api dikepalanya. (Roma 12:17-21)
(4). Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut sebagai anak-anak Tuhan. (Matius 5:9) Ajaran cinta kasih dalam agama Kristen telah bermutu tinggi, mencintai dan hidup damai dengan sesama tanpa membedakan merupakan pilihan terbaik yang diajarkan, menghilangkan kebencian sekalipun terhadap musuh, dan kejahatan tidak dibalas dengan kejahatan merupakan ajaran praktis menghilangkan dendam, sementara itu tujuan terbesarnya adalah agar terjadi rekonsiliasi dan hidup damai dalam harmoni.
Kemudian literasi damai dalam agama Hindu kita jumpai sebagai berikut: Tujuan akhir dari spiritualitas Hindu adalah memperoleh visi tentang kesatuan yang bersifat non-diskriminatif, kerena setiap bentuk kehidupan sangatlah penting. Visi ini berkaitan dengan memupuk rasa hormat yang mendalam satu sama lain dan hubungan yang positif antara manusia dan alam (Sundararajan, 2001).
Ranganathananda (1968) menjelaskan bahwa: Cinta dan hormat kepada makhluk lain adalah buah dari rasa kesatuan yang diyakini umat Hindu (Srimad Bhagavatam). Sementara itu Vaswani (2007) menyebutkan beberapa prinsip penting Hindu: Jalani kehidupan bermoral dengan pikiran dan tindakan yang benar, kendalikan keinginan dan amarah seseorang, berlatih ahimsa (non-kekerasan atau non-cedera), mempromosikan cinta dan kasih sayang serta keadilan.
Selanjutnya kita beralih kepada literasi damai dalam agama Budha. Ajaran Budha mempromosikan pemurnian spiritual melalui pemberantasan kekotoran batin sampai seseorang mencapai nirwana, yang merupakan pembebasan terakhir dari penderitaan akhir dari siklus kelahiran dan kematian seseorang. Doktrin Buddha menegaskan bahwa perang, kejahatan dan penderitaan adalah kekotoran batin dan ini perlu diatasi dengan latihan disiplin diri, meditasi, kebijaksanaan dan pencerahan (Sirikanchana, 2001).
Buddhisme mengajarkan welas asih dan cinta kasih (Dalai Lama:2001) Kitab Suci Buddha menunjukkan persetujuan Buddha terhadap seseorang yang tidak mau membunuh, bebas dari keserakahan di antara yang tamak. ”(The Dhammapada), Budha mendefinisikan welas asih sebagai “perasaan tidak tertahankan saat melihat makhluk lain dalam penderitaan.”
Dalam salah satu tulisannya, Etika untuk Milenium Baru, Dalai Lama (1999) menekankan pentingnya prinsip-prinsip berikut: Sifat manusia pada dasarnya lembut dan tidak agresif. Kedamaian batin adalah karakteristik utama kebahagiaan, akar kebahagiaan adalah perhatian pada kesejahteraan orang lain dan hubungan antar sesama. Seseorang tidak boleh merugikan orang lain dan harus memupuk sifat kemurahan dan kerendahan hati. Pikiran dan perasaan negatif menyebabkan ketidakbahagiaan dan penderitaan.
Ajaran Buddha mengungkapkan bahwa perbudakan materialistis, keegoisan dan keserakahan adalah sumber dari semua ketidakadilan dan karena itu mengajarkan orang untuk memberi lebih banyak, mengambil lebih sedikit, hidup sederhana dan membebaskan diri dari sumber duka (Sirikanchana, 2001).
Ajaran cinta dan damai dalam agama Islam lebih ditegaskan lagi, bahkan bermula dari penamaan Islam saja sudah mengandung arti damai dan kecintaan, karena itu isi ajaran Islam dipenuhi oleh prinsip-prinsip perdamaian, misalnya:
(1) Hai manusia, Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu dapat saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (QS 49:13)
(2) Sesungguhnya Allah swt. menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat; dan melarang dari perbuatan keji, dan hal yang tidak disenangi, dan memberontak. Dia memberi kamu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran. (QS 16:90)
(3). Barangsiapa yang membunuh seseorang. padahal orang itu tidak pernah membunuh orang lain atau telah mengadakan kerusuhan di bumi, maka seoleh-olah ia membunuh sekalian manusia. Dan barangsiapa menyelamatkan nyawa seseorang, maka ia seolah-olah menghidupkan sekalian manusia. Dan sesungguhnya telah datang kepada merekarasul-rasul Kami dengan Tanda-tanda nyata; kemudian sesungguhnya kebanyakan dari mereka sesudah itu melampuai batas di bumi ini. (QS 5:32)
(4) “Janganlah kamu menyembah sesuatu selain Allah swt. dan berbuatlah kebaikan terhadap ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, dan ucapkanlah kata-kata baik kepada manusia dan dawamlah mendirikan shalat dan bayarlah zakat, kemudian kamu berpaling, kecuali sedikit di antara kamu dan kamu selalu berpaling. (QS 2:83)
(5) Dan, janganlah kalian memaki apa yang diseru mereka selain Allah swt., maka mereka memaki Allah swt. karena rasa permusuhan, tanpa ilmu. Demikianlah Kami menampakkan indah kepada tiap-tiap umat amalan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, maka Dia akan memberitahukan kepada mereka apa-apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS 6:108)
Prinsip hidup damai yang dikemukakan Al-Qur’an bersifat global menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, pada tulisan ini hanya sebagian saja yang dikemukakan. Dari prinsip-prinsip hidup damai dalam Al-Qur’an kemudian menuntun umatnya untuk menerapkan budaya damai dalam segala bidang kehidupan, antara lain; budaya damai dalam peperangan (QS 8:6), budaya damai dalam keluarga (QS 4:128), perdamaian antar umat beragama (QS 2:256) dan perdamaian dalam masyarakat multikultur, budaya damai menurut Al-Qur’an yang disebutkan ini mewakili aspek kehidupan individu, keluarga dan masyarakat, bahkan dalam suasana perang pun islam mengajak umatnya untuk menerapkan budaya damai dalam makna jika musuh menghendaki damai maka jalan damai itu harus diutamakan. Namun, manakala terjadi pengkhianatan maka peperangan harus dituntaskan sampai tidak ada lagi penindasan atas hak-hak asasi setiap orang atau kelompok. Sabda nabi Muhammad Saw dalam hal ini menegaskan bahwa; “ Seorang Muslim itu adalah orang (menjamin) keselamatan manusia lainnya dari keburukan lisan dan tangannya (perbuatannya, )sedangkan seorang mu’min itu adalah orang yang memberi keamanan bagi darah dan harta manusia lainnya. (HR. An-Nasai)
Term perdamaian yang dikemukakan Al-Qur’an cukup banyak yang secara langsung terkait dengan suatu proses perdamaian aktif maupun dalam upaya preventif menjaga perdamaian, istilah-istilah itu antara lain: Assalam (selamat), Rahmah (lembut), Hub (cinta), Afwun (memaafkan), Islah (perdamaian), Sabar (sabar), Ma’ruf (kebaikan), Ihsan (indah), Safh (lapang), Amnu (menahan), dan Ta’aruf (saling mengenal).
Banyaknya Istilah perdamaian yang dikemukakan ini menunjukan kompleksitas masalah perdamaian, misalnya saja kata afwun (memaafkan) adalah perbuatan baik jika setelah pemberian maaf kepada orang yang bersalah berefek positif, akan tetapi jika pemberian maaf malah berimplikasi negatif makin memberi angin kepada orang yang berbuat salah untuk lebih bertingkah melampaui batas, maka term amnu (menahan) diri dari memaafkan, atau menahan perbuatan buruk mereka secara tegas supaya menimbulkan efek jera menjadi pilihan terbaik dalam konteks seperti ini. Inilah yang penulis katakan perdamaian adalah masalah yang sangat kompleks dan terminologi Islam dalam masalah perdamaian sangat lengkap sehingga bisa menjadi pilihan solutif dalam mengupayakan perdamaian di tengah kompleksitas masalah kehidupan sosial masyarakat.