Oleh : Yati Nurhayati Abidin, Cikalong Kulon – Cianjur.
Seorang perempuan Ahmadi harus mampu memenuhi harapan Rasulullah saw dalam menciptakan sebuah gambaran sorgawi di dunia ini. Dia harus mampu menjadi sumber daya tarik dan kebahagiaan bagi rumahnya, dimana ia menjadi poros dan para anggota keluarganya berputar mengelilinginya. Mereka tidak mendapatkan kenyamanan di luar melainkan mendapatkan kedamaian dan ketenangan dalam rumah mereka.
Hazrat Mirza Tahir Ahmad rh.
Kedudukan wanita dalam Islam sangatlah mulia. Islam telah menempatkan sebuah kedudukan yang bermartabat lagi terhormat bagi wanita. Kehormatan agung atas mahkota keibuan diberikan kepada wanita. Allah telah mengkhususkan beberapa hukum syariat bagi wanita, sesuai bentuk dasarnya, keahlian, dan kelemah lembutan wanita. Sifat umumnya wanita penyabar, luwes, dan telaten membuatnya mampu berperan sebagai guru yang baik bagi anak-anaknya. Wanita mempunyai peran penting dalam pendidikan karakter anak. Oleh karena itu islam mengatur pendidikan anak-anak, jauh sebelum anak lahir ke bumi. Islam memerintahkan jika seorang mukmin ingin mempunyai keturunan yang shaleh, ia hendaknya memilih calon istrinya seorang wanita yang beragama serta berakhlak. Sebab hal ini akan berdampak terhadap pendidikan anak-anaknya kelak. Mengasuh anak pada tahun – tahun awal kehidupan merupakan tanggungjawab utama seorang wanita dalam hal ini yaitu ibu. Pada tahapan tersebut anak-anak secara naluriah akan cenderung kepada ibunya. Sejak bumi ini diciptakan hingga kini, tiada sarana lain untuk mendapatkan keturunan yang shaleh selain wanita yang mukhlis lagi berbudi luhur. Karena wanita yang baik akan melahirkan keturunan yang baik pula.
Sebagaimana halnya sebuah ladang yang subur tanahnya berpengaruh kepada hasil panennya, demikikian pula halnya seorang ibu membekaskan pengaruh pada karakter anak-anaknya. Dari ibulah sebuah karakter pribadi anak terbentuk. Semenjak dari dalam rahim, dilahirkan, dan dididik hingga dewasa. Begitu besar pengaruh ibu dalam membentuk karakter anaknya. Hal ini sesuai dengan pepatah yang mengatakan “Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Pepatah ini seakan memberikan isyarat bahwa perilaku orang tua pasti akan menurun pada anaknya. Kenapa demikian? Hal ini karena dari sejak dalam kandungan hingga lahir, lingkungan pertama yang ditemui adalah keluarga dan dari situlah karakter anak mulai terbentuk.
Pepatah lain mengatakan bahwa “Anak-anak adalah peniru yang hebat, maka berikan mereka sesuatu yang hebat untuk ditiru“. Anak-anak seibarat busa dan mereka menyerap apapun dari lingkungannya. Oleh karena itu peran ibu harus memperhatikan prilaku yang baik sehingga layak untuk ditiru oleh anak-anaknya. Jika seorang ibu ingin membesarkan anak-anaknya menjadi anak yang shaleh maka penting baginya untuk memiliki kecintan kepada Allah dan Rasulnya SAW. Ibu harus senantiasa dawam mendirikan shalat dan menilawatkan ayat-ayat suci Al Qur’an dalam rumahnya, berpegang teguh pada pardahnya, menahan diri dari kebohongan, memfitnah dan bergosip, memperlihatkan rasa hormat dan kecintaan kepada suami dan keluarganya dan menciptakan rumah yang penuh cinta dan keharmonisan.[1]
Peran ibu memiliki tugas penting untuk mempersiapkan sebuah contoh yang baik. Ibu adalah tokoh pertama yang terekam oleh memori seorang anak manusia sepanjang hidupnya. Sedikit banyak jejak rekam seorang ibu akan menentukan karakter anak nantinya. Karena Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak–anaknya. Oleh karena itu pembentukan karakter anak tidak bisa diserahkan tanggung jawabnya kepada lembaga pendidikan, sekolah–sekolah, dan jalur formal semata. Ibu sebagai sekolah pertama bagi anak–anaknya, dan waktu anak lebih banyak bersama orang tua khususnya ibu, sehingga ibu memiliki peran yang lebih besar dalam pembentukan karakter anak. Ibu adalah sosok pertama yang menanamkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan, keterampilan, dan budi pekerti.
Seorang anak yang baru dilahirkan ibarat kertas putih yang bersih tanpa noda. Orang yang pertama kali menggoreskan tinta di atas kertas tersebut adalah orang tuanya si anak. Bagus tidaknya tulisan yang dihasilkan tergantung bagaimana si orang tua menuliskannya. Apakah kertas tersebut mau diisi dengan coretan yang tanpa makna atau tulisan indah yang mengagumkan. Hal ini sesuai dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rosulullah Saw bersabda; “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah. Kecuali orang tuanya yang menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi”.
Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Kewajiban orang tuanya untuk memberikan pendidikan kepada anak yang masih bersih bak permata yang tiada ternilai harganya. Bila ia didik dan dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik. Sebaliknya jika ia dididik dan dibiasakan dengan perbuatan jelek, ia akan menjadi orang yang merugi celaka dunia akhirat.[2]
Seorang ibu juga harus menjadi model yang baik dan utama pada anak, karena keteladanan ibu merupakan suatu pondasi dan pintu pertama. Jika ingin mencetak anak yang lurus, maka kita harus menghindarkan diri dari kebengkokan, hindari tingkah laku yang buruk. Jika anak kita ingin menjadi anak yang jujur, maka kitapun harus menghindari dusta, ibu harus memberi contoh dan berprilaku baik agar anak dapat meniru kebaikan dari ibunya. Setiap manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk berkarakter baik sesuai fitrah penciptaanya saat dilahirkan. Namun dalam perjalanan kehidupanya memerlukan proses panjang untuk pembentukan karakter melalui pengasuhan, dan pendidikan sejak dini. Oleh karena itu pendidikan karakter sebagai usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik perlu ditanamkan terus oleh seorang ibu dalam rangka membekali mereka sifat baik sejak dini.
Tujuan pendidikan Nasional dalam UUD no 20 tahun 2003 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadi bahan dalam praktek pendidikan berbasis kepada seperangkat nilai sebagai panduannya guna membangun karakter moral bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Artinya semua proses pendidikan harus bermuara pada penguatan nilai – nilai ketuhanan sesuai keyakinan agama yang dianutnya.
Namun sangat disayangkan pada kenyataanya praktek pendidikan pada jalur formal dewasa ini justru cenderung kurang memperhatikan esensi dari tujuan pendidikan nasional di atas. Kenyataan lainnya menunjukan bahwa masih minimnya kesadaran seorang ibu dalam menanamkan rasa tanggungjawab yang tinggi akan perannya sebagai model bagi anak nya. Masih banyak ibu yang lalai, lupa, dan belum tahu cara melaksanakan tugas mendidik anak dengan baik. Minimnya pengetahuan tentang pembinaan akhlak anak dan kelalaian ibu dalam mendidik akhlak anak akan menimbulkan banyak persoalan pada anak. Seperti krisis akhlak akan terjadi pada anak. Banyak anak–anak yang kurang memiliki akhlak yang baik, seperti kurang memiliki akhlak terhadap Allah Swt, kurangnya rasa hormat pada orang tua, saudara dan gurunya. Jarang melaksanakan ibadah sholat di rumah karena keasyikan bermain games dan bahkan yang lebih jauh lagi anak terlibat dalam tindak dekadensi moral, dan tindak kriminalitas lainnya, seperti terlibat dalam narkoba dan miras. Hal itu semua tentu sangat berpengaruh kepada cara didik ibu di rumah. Kita sebagai kaum wanita khususnya seorang ibu tentunya tidak menginginkan jika anak kita jauh dari moral, tidak memiliki adab dan tata krama dalam lingkungan pergaulannya.
Para ibu harus benar–benar menyadari bahwa mereka adalah orang yang paling penting dalam kehidupan anak–anak mereka, semua kebiasaan dan prilaku mereka merupakan teladan utama bagi anak–anak mereka. Semua kekuatan dan kelemahan rohani serta emosional mereka diperhatikan oleh anak–anak mereka, yang akan sangat berpengaruh terhadap mereka, karena mereka akan mengikuti bahkan tanpa mereka sadari dalam beberapa tahun mendatang.[3]
Semoga kita para ibu dapat memainkan perannya dengan baik sesuai dengan kemuliaan yang disandangnya guna menciptakan kedamaian, kenyamanan, kebahagiaan seluruh anggota keluarganya. Sebagaimana sabda Hazrat Khalifatul Masih IV, Mirza Tahir Ahmad (rh) : “Seorang perempuan Ahmadi harus mampu memenuhi harapan Rasulullah saw dalam menciptakan sebuah gambaran sorgawi di dunia ini. Dia harus mampu menjadi sumber daya tarik dan kebahagiaan bagi rumahnya, dimana ia menjadi poros dan para anggota keluarganya berputar mengelilinginya. Mereka tidak mendapatkan kenyamanan di luar melainkan mendapatkan kedamaian dan ketenangan dalam rumah mereka”.
[1] Buku surga di bawah kakimu hal 4-5.
[2] Imam Al Ghazali dalam buku Ihya Ulumuddin
[3] buku Surga dibawah kakimu hal 4- 5