By: Harpan Aziz Ahmad, Kepulauan Seribu – DKI Jakarta.
Ketahuilah! Allah Maha Kaya. Dia tidak akan peduli sampai seseorang memperbanyak dan berulang kali berdoa dalam keadaan perasaan tertekan dan merintih.
Hadhrat Masih Mau’ud as
Setiap kita tentu memahami bahkan semua orang beragama meyakini bahwa doa adalah bagian integral dan terpenting dalam kehidupan kita. Bagi seorang mukmin doa adalah sandaran terbaik dan utama bagi tumbuh kembang, maju dan suksesnya kehidupan, baik jasmani terlebih lagi rohani.
Doa sangat besar kaitannya dengan kehidupan kita. Al-Quran ataupun sabda-sabda Nabi kita Muhammad saw banyak mengajarkan kepada kita betapa pentingnya doa, bahkan ia menjadi ciri khas dari hamba-hamba Allah yang sejati.
Penggalan demi penggalan sejarah para nabi menjadi bukti bagaimana doa itu merupakan satu-satunya sejata yang membawa keberhasilan dalam misi-misi mereka. Sebagai contoh; Kisah Nabi Musa ‘alaihis salam misalnya. Bagaimana gentingnya kondisi ketika beliau beserta Bani Israil berada dalam pengejaran Fir’aun? Jarak Fir’aun beserta bala tentaranya yang kian bertambah dekat, sementara tak ada jalan lagi yang dapat ditempuh oleh Nabi Musa as dan Bani Israil kecuali bentangan lautan yang luas. Dalam kondisi sulit seperti itu beliau as memanjatkan doa;
“Allahumma lakal hamdu wa’alaikal musytaka, wa antal musta’an, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adziimi”
“Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, hanya kepada-Mu lah kami mengadu, dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
Kemudian kita ketahui akhir kisahnya bahwa kondisi itu seketika berubah, air laut menyurut, Bani Israil selamat dan Fir’aun beserta bala tentaranya yang gagah perkasa tenggelam.
Contoh lain tentang kekuatan doa, kita lihat demikian agung dalam kehidupan beberkat Nabi Akram Muhammad saw. Satu contoh diantaranya adalah ketika segolongan kecil umat Islam di Badr, yang harus berhadapan dengan seribu tentara perang musuh yang bersenjata lengkap dengan segala kecongkakannya. Dalam kondisi yang rawan itu Rasulullah saw memanjatkan doa;
“Allahumma anjizliy maa wa’adtaniy, allahummaa aati maa wa’adtaniy, allaahummaa in tuhlika hadzihil ‘ishoabata min ahlil islaami laa tu’bad fil ardhi.
Bahwa Ya Allah, penuhilah janjimu. Ya Allah, berilah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini. (HR. Muslim 3/1384 hadits no 1763).
Dan atas kehendak Tuhan, kita menjadi saksi bagaimana kemenangan telah diraih secara gemilang oleh golongan muslim.
Kisah-kisah tersebut mempelihatkan kepada kita tentang peran besar doa bagi kehidupan kita, bagi misi yang kita jalankan, bagi profesi yang kita jalani. Hadhrat Masih Mau’ud, Mirza Ghulam Ahmad as bersabda “Hamare Hetyar du’a he”, senjata kita adalah doa! Untuk itu maka penting untuk memperhatikan doa dalam segala hajat dan masalah yang kita hadapi.
Terkati dengan doa ini, sering muncul pertanyaan bahwa “kami sering berdo’a tetapi tidak kami lihat pengaruh doa, dengan kata lain doanya itu ‘seperti’ tidak dikabulkan?”
Sebetulnya tidak demikian halnya, karena Allah swt secara jelas menyatakan ud’uunii astajiblakum, “mohonlah kepada-Ku maka akan Aku kabulkan”. Dalam kondisi tersebut yang biasanya terjadi adalah ketidak fahaman seseorang, antara apa yang dia minta dengan kondisi pribadinya. Hadhrat Masih Mau’ud as memberikan permisalan yang menarik terkait kondisi tersebut dan bersabda:
“Seibarat seorang petani yang membutuhkan hewan guna membajak sawahnya. Namun saat dia menghadap kepada Raja, dia malah meminta seekor unta untuk menopang kebutuhannya tersebut. Seorang raja yang bijak tentu tidak akan memberikan unta, tetapi dia akan memberikan lembu, atau sapi, atau kerbau kepada petani tersebut. Kebijaksanaan sang raja ini sesuai dengan kebutuhan petani dari pada keinginan petani itu sendiri”. (Esensi Ajaran Islam)
Jadi apa yang terjadi sebenarnya adalah Allah Ta’ala selalu mengabulkan setiap doa sesuai dengan kebijakannya, untuk kebaikan hambanya. Namun seorang hamba terkadang cenderung tidak memahami kondisinya sendiri. Dalam kesempatan lain Hadhrat Masih Mau’ud as juga memberikan permisalan, seperti seorang bayi yang tertarik pada nyala bara api. Apakah sebagai orang tua yang bijak, kita akan memberikan bara api kepada bayi kita?
Namun demikian, untuk keterkabulan suatu doa memang memiliki syarat. Dan Hadhrat Masih Mau’ud as dibanyak tempat sering menyampaikan mengenai topik doa ini. Ada dua syarat yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan ini, terkait aspek fundamental dan sentral terkait pengabulan doa.
Beliau menyampaikan: “Doa tidak diterima sampai hati menjadi murni. Jika hati anda dipenuhi dengan dendam mengenai seseorang bahkan dalam kaitannya dengan masalah duniawi tertentu, doa anda tidak dapat diterima”.[1]
Jadi salah satu syarat untuk terkabulnya doa adalah kebersihan hati. Karenanya sangat penting demi pengabulan doa, seseorang tidak memberi tempat pada semua dendam dan kebencian pribadi di hatinya; karenanya penting untuk senantiasa beristighfar, memohon ampun kepada Allah swt guna pemurnian hati dan memohon karunia kepada-Nya untuk itu.
Syarat lainnya yang beliau sampaikan adalah:
“Di kalangan manusia terdapat orang yang jika mendengar sesuatu dari satu telinganya, ia keluarkan itu melalui telinga lainnya. (maksudnya bahwa doa yang ia panjatkan itu bukan sesuatu yang lahir dari kata katinya, atau dalam bahasa slengeannya “ngawang” jadi bukan atas dasar pemikiran yang dalam). Beliau menyatakan; “Ketahuilah! Allah Maha Kaya. Dia tidak akan peduli sampai seseorang memperbanyak dan berulang kali berdoa dalam keadaan perasaan tertekan dan merintih. Perhatikanlah bagaimana seseorang merasa tertekan dan cemas tatkala istrinya atau anaknya sakit, atau ketika menghadapi gugatan yang membahayakannya di pengadilan. Demikianlah, doa akan menjadi sia-sia secara praktis bila tidak berpengaruh, jika ia kosong dari keperihan hati dan perasaan tertekan”.[2]
Jadi syarat pengabulan doa berikutnya adalah “Distress” (perasaan tertekan, merintih dan susah hati). Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala “am may yujiibul mudhtharro idza-da’aahu”, yakni “Siapakah yang mengabulkan doa orang yang kesulitan (sengsara) apabila ia berdoa kepada-Nya?” (Qs. An-Naml, 27:63).
Jika di awal tadi dikatakan bahwa doa akan diterima jika hati kita bersih dari segala dendam dan kemarahan, dan obat bagi itu adalah istighfar dan memohon pertolongan Allah Ta’ala. Maka langkah untuk menunjukan keperihan hati bagi keterkabulan adalah dengan menjalankan ibadah-ibadah nafal, khususnya shalat tahajjud.
Beliau menyatakan; “Jika tidak terdapat keperihan yang khas dan kepedihan hati yang dirasakan oleh qalbu, bilakah seseorang akan bangun dari tidurnya yang nyaman? Bangun tidur pada waktu dini hari menunjukan kualitas keperihatinan yang dirasakan qalbu sehingga menimbulkan kegelisahan dan ketidak berdayaan dalam doa, yang pada akhirnya mengarah pada pengabulan doa”.
Jadi memang orang yang memiliki suatu hajat atau masalah biasanya tidurnya itu tidak nyenyak, sering terbangun. Sedangkan kenyamanan dan kenyenyakan dalam tidur merupakan tanda ketiadaan perasaan keprihatinan dan keperihan.
Demikian dua syarat bagi terkabulnya suatu doa, dan semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kemampuan untuk memenuhinya. Sehingga doa-doa yang kita panjatkan sampai pada derajat doa-doa yang maqbul.
[1] Khutbah Jum’ah, 20 Mei 2011
[2] Idem