Di era ini, informasi semakin mudah didapat berkat teknologi yang semakin berkembang. Namun di sisi lain, informasi itu semakin tak terbendung karena cepatnya arus dan keberadaan algoritma.
Berbagai kemudahan semakin ditawarkan sehingga menimbulkan gaya hidup yang serba instan. Semua fenomena itu akan baik-baik saja jika kita dapat menggunakannya secara efektif.
Coba kita tanyakan pada diri sendiri, apakah kita cukup ahli untuk memilah apa yang dibutuhkan? Atau malah kebobolan dengan banyaknya informasi yang pada akhirnya menjadi sampah dalam pikiran?
Bahayanya fenomena tersebut bisa menjadikan kita sebagai makhluk yang mudah stres, karena seringkali apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan atau apa yang kita alami tidak sebaik capaian orang-orang yang kita lihat di media sosial.
Rasanya semua seperti berlomba bukan? Serba cepat belum tentu tepat. Mengejar trend justru membuat kita mudah lelah. Apakah kita telah kehilangan makna kehidupan?
Mungkin kita sekilas pernah mendapati kata Mindfulness. Mindfulness adalah kualitas kesadaran diri (consciousness) yang mencakup keadaan sadar terjaga (awareness) dan perhatian (attention) dan harus dibedakan dari proses mental seperti kognisi (perencanaan-pengawasan), motivasi, dan keadaan emosi (Brown dan Ryan, 2003). Mindfulness pada prinsipnya melepaskan keterikatan terhadap penilaian positif maupun negatif (Hayes & Feldman, 2004).
Metode yang berpusat pada pengenalan diri, pada bagaimana individu mengenali proses mental dan perilaku diri sendiri (Brown & Ryan,2003). Mindfulness didefinisikan sebagai kemampuan untuk memusatkan perhatian secara langsung, keterbukaan terhadap pengalaman, dari waktu ke waktu, dengan keterbukaan pikiran dan penerimaan diri (Kabat-Zinn, 2004).
Menurut Goleman (1998), mindfulness dapat berguna untuk mengidentifikasi emosi-emosi dan mengukurnya pada tingkat kesadaran yang jauh lebih dalam. Mindfulness juga dapat meningkatkan proses afektif, stres, dan regulasi emosi menurut Nielsen & Kaszniak (2006).
Mindfulness dapat melatih orang untuk menerima kenyataan bahwa kemarahan saat ini dirasakan dan perlu waktu untuk mempertimbangkan bagaimana cara menyalurkannya. Mindfulness menawarkan banyak hal untuk pengobatan agresi dan kemarahan, dan ia mampu meningkatkan kenyamanan dan fleksibilitas melalui pengembangan keadaan emosi positif.
Elemen Mindfulness dalam Islam
Seringkali kita bingung menyikapi emosi yang ada pada diri, seperti kekhawatiran yang kita rasakan, penuhnya pikiran “overthinking” sebelum memulai, amarah yang terpendam saat berhubungan dengan orang lain dan perasaan mengganggu lainnya. Hal itu hampir setiap hari kita rasakan.
Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139)
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mengingatkan bahwa kita manusia yang sedemikian sempurna, namun seringkali manusia belum sepenuhnya menerima, menggunakan serta mengelola apa-apa saja yang ada pada diri kita.
Mengenal diri sendiri dalam proses ini sangat penting, bagaimana kita tahu siapa kita, minat apa yang dimiliki serta potensi apa yang bisa kita berikan untuk bermanfaat kepada sesama manusia.
Berikut beberapa tahapan untuk menerapkan mindfulness dalam hidup kita:
- Ma’rifatun Nafsi (Mengenal diri)
Dalam Islam, mengenal diri dikenal dengan kata “Ma’rifatun-nafsi” sebagaimana sebuah kutipan hadits berbunyi, “barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Hadist tersebut menjelaskan bahwa kita harus mengenal siapa diri kita untuk mempermudah, menemukan dan melibatkan Tuhan dalam setiap langkah kehidupan.
Tahap Ma’rifatun-Nafsi dapat disejajarkan dengan istilah dalam psikologi yakni konsep diri (self concept) yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri.
- Husnuzan
Tahap kedua adalah husnuzan atau prasangka baik dan senantiasa berpikir positif terhadap takdir. Hal ini diyakini dapat mengurangi overthinking kita dalam mengkhawatirkan sesuatu.
Setelah mengenal diri, sebaiknya kita dapat menetralkan perasaan dan pikiran untuk berprasangka baik pada takdir. Hal ini dapat mempermudah kita menjalani kehidupan.
- Muhasabah
Tahap selanjutnya ialah Muhasabah diri, atau introspeksi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membuat draft apa-apa saja yang sudah kita lewati dan perlu didievaluai. Kita juga dapat membuat jurnal emosi untuk menulis dan membaca kembali serta mengingat apa selanjutnya penanganan emosi yang kita rasakan. Dengan bermuhasabah, kita memikirkan situasi saat ini bukan menyalahi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan.
- Syukur
Islam memberikan konsep lain seperti tawakal dan ungkapan syukur yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Akumulasi konsep-konsep tersebut jika diteliti secara berkesinambungan akan menimbulkan dan mengisyaratkan adanya konsep percaya diri yang terungkap dalam Al-Qur’an.
Bersyukur adalah mengucap terima kasih karena suatu hal, baik untuk keselamatan hidup, syukur kepada Allah Taala, maupun berterima kasih kepada orang lain atas sikap, ucapan atau perbuatan baiknta. Namun hal yang sering kita lupa adalah pentingnya bersyukur dan berterima kasih kepada diri sendiri atas segala perjuangan yang sudah dihadapi dan sudah bertahan hingga detik ini.
- Toleransi
Islam juga mengajarkan konsep ‘mindfulness’ untuk kesetaraan dan kebermanfaatan manusia. Bagaimana kita dapat melangsungkan kehidupan tanpa menegakan perdamaian. Islam sendiri adalah agama keselamatan. Dalam hal ini berarti umatNya harus menciptakan ketenangan, keamanan, saling menjaga, menghargai dan mencegah adanya permusuhan.
Sebagai Khalifah fil Ardh, manusia dipilih Allah untuk menjadi khalifah di bumi karena potensinya, akal pikirannya dan perasaannya. Kita sebagai manusia menerapkan hal tersebut untuk berdamai dengan diri sendiri, menyelesaikan konflik batin dengan baik dan juga berdamai dengan orang lain.
Prinsip mindfulness dalam kesehatan dan pencapaian kesejahteraan individu menyampaikan pada tujuan meningkatkan fokus, menghindari stres, dan menjaga kesehatan mental. Konsep ini biasanya disandingkan dengan teori barat dan juga agama Buddha. Akan tetapi dalam Islam, Kristen dan beberapa agama lain menggunakan ritual serupa untuk tujuan ibadah, pemulihan diri serta keberpasrahan atas takdir.
Shalat memiliki elemen yang lengkap dalam mindfulness. Fokus terhadap saat shalat dan hanya kepada Allah Ta’ala merupakan proses penerapan pemusatan perhatian ini. Doa-doa dalam shalat yang kita panjatkan saat sedang dalam kondisi fokus dan khusyuk dipercayai dapat menambah kecintaan kita kepada Allah Ta’ala, penyembuhan diri bahkan pengabulan doa.
Amalan Dzikir juga elemen dalam mindfulness. Praktik meditasi atau pun yoga sering dijumpai dalam penyembuhan psikologi metode baru. Namun pada ritual Islam, dzikir dengan menyendiri atau meditasi dzikir juga dipercayai menjadi faktor penyembuhan diri, penyakit hati dan penyakit lainnya. Hati akan menjadi lebih tenang dan tentram saat pemusatan pikiran. Dalam salah satu penelitian, pada saat dzikir atau didengarkan ayat-ayat positif dan kata-kata positif gelombang otak berada di posisi theta, dalam hal ini ketenangan dan penyembuhan perlahan akan tercapai.
Amalan Puasa, tentu mindfulness memiliki elemen ini. Dengan puasa kita biasanya menahan semua yang diperbolehkan dan halal, bahkan menyingkirkan kebiasaan yang membawa kemunduran.
Amalan Zuhud dan lain sebagainya juga mengandung elemen atau kriteria praktik mindfulness islami di dalamnya.
Jadi, saat kita merasa tidak baik-baik saja, sebaiknya jangan self-diagnose atau menilai dan mendiagnosa apa yang terjadi. Hal ini bisa dibicarakan dengan profesional dan dibarengi dengan ritual agama yang biasa kita lakukan. Gunakan konsep mindfulness yakni pemusatan pikiran untuk hidup pada saat ini, bukan menyalahi masa lalu, atau mengkhawatirkan masa depan, agar segala sesuatu dapat kita lewati lebih pasrah dan terarah.
Penulis: Sofia Farzanah