Satu lagi hari besar diberikan khusus untuk kaum perempuan di seluruh dunia, International Women’s Day. Diperingati hari ini, 8 Maret 2022, meskipun masih di tengah kecamuk pergulatan isu ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan.
Hal yang selalu umum dan cenderung seragam ketika membicarakan bagaimana “seharusnya” perempuan adalah tentang perilaku dan pekerjaan. Budaya timur seperti telah terbiasa menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik yang tidak lazim jika bekerja lebih keras, berpendidkan dan berpenghasilan lebih tinggi dari kaum laki-laki.
Apalagi kaum konservatif memberikan imbuh bahwa tugas perempuan di dalam rumah tidak lain adalah sebuah penghormatan. Hal ini didukung juga oleh jargon “kemuliaan perempuan” dalam pandangan kelompok fundamentalis agama dan sayap kanan populer.
Padahal, jika sejenak merenungkan hak asasi tanpa memandang gender, bukankah setiap individu harus memiliki kesempatan yang sama untuk hidup, bicara, berpendapat hingga mengembangkan potensi dirinya? Apakah perempuan masih dianggap sebagai individu layaknya manusia lainnya?
Dua Sisi Penghormatan
Isu kesetaraan memang bukan hal baru. Meski demikian, semangat tinggi untuk mencapainya seolah belum menemukan kata sepadan. Bias persepsi “perempuan sukses” masih terus saja beradu sudut pandang antara kelompok feminis dan konservatif.
Perempuan yang tinggal di rumah ditempatkan sebagai penghormatan mulia oleh fundamentalis agama atau bisa disebut menempatkan perempuan mutlak sebagai makhluk domestic. Di saat yang bersamaan, muncul sebuah penghargaan kepada kaum laki-laki sebagai pemegang tampuk tanggung jawab keluarga.
Menggaungkan dalil tidak adanya kewajiban bagi perempuan untuk membiayai risiko rumah tangga seolah menjadi kunci dipilihnya “ibu rumah tangga” sebagai satu-satunya profesi, alih-alih melirik peran penting perempuan senagai kunci keberlanjutan generasi.
Penghormatan bagi perempuan dari kelompok konservatif adalah sebuah penjagaan. Menempatkan perempuan layaknya “gelas kristal” yang harus sepenuhnya terjaga dari kontaminasi keburukan dunia. Sehingga, perempuan terhormat adalah yang sepenuhnya patuh kepada superioritas laki-laki yang memimpinnya.
Sementara itu, ada kelompok yang secara ekstrem bersebarangan dengan menempatkan perempuan sebagai sebuah subjek sekaligus objek perjuangan. Meskipun faktanya tidak sedikit perempuan yang sudah berkiprah di banyak bidang, namun kesetaraan yang disuarakan tetap dirasa jauh api dari panggang.
Gerakan ini pun dipandang semata sebagai gerakan elitis. Kesetaraan yang diharapkan oleh pegiat feminis ini pun tak jarang menghadapi tembok keras, khususnya ketika berbicara tentang perlindungan hukum untuk perempuan, pemberdayaan ekonomi, kesehatan dan kekerasan seksual.
Alhasil, penghormatan yang diharapkan oleh pegiat di jalur ini adalah ketika kaum perempuan diberikan kebebasan memilih sosok dari kaumnya yang berani berbicara dan melangkah ke luar rumah, mendapatkan akses yang sama di bidang pendidikan, politik, ekonomi dan kesehatan.
Penghormatan Sesungguhnya untuk Perempuan
Mengangkat dan sepakat dengan isu kesetaraan perempuan seharusnya bukan hanya menjadi tugas kaum feminis. Demikian halnya ketika ingin menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia seutuhnya, bukan juga terikat pada dalil agama tertentu saja.
Seseorang hanya perlu menempatkan dirinya sebagai manusia yang memandang manusia lain sama berharganya. Sama-sama memiliki hak berpendapat dan mengembangkan potensi, sukses dan menjadi apa yang diharapkan. Maka penghormatan akan didapatkan tanpa harus memandang gendernya.
Kemuliaan perempuan di rumah sebagai pendidik generasi penerusnya bukan berarti tidak boleh dibarengi dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang lainnya. Lebih jauh lagi, perempuan di rumah juga tetap perlu mendapatkan hak yang sama untuk berpendapat.
Sebaliknya, perempuan yang memilih untuk melangkahkan kakinya menuju jenjang pendidikan atau karir yang lebih tinggi, bukan juga menjadikannya alasan sah untuk meninggalkan peran pendidik yang sesungguhnya. Dimana peran ini tetap tidak akan bisa digantikan oleh siapapun yang tinggal di rumah bersama anak-anak.
Memberikan kebebasan seraya menetapkan batas-batas bagi orang lain dan memberikan ajaran tentang bagaimana menerapkannya adalah sebaik-baik penghormatan yang tidak disertai dengan tindakan mencederai hal orang lain.
Terkait dengan hal ini, sebuah nasihat telah disampaikan:
“Islam mengajarkan bahwa jika masyarakat yang damai telah diupayakan, maka hak setiap orang harus dijamin dan setiap orang harus menjalankan peran dan kewajibannya. Islam tidak hanya memberi tahu kepada para wanita untuk mendapatkan hak-hak mereka tetapi juga mengajarkan untuk memahami derajat mereka dan menjauhkan diri dari keburukan.” (Pemimpin Internasional Muslim Ahmadiyah dalam pidato di Pertemuan Tahunan Muslim Ahmadiyah UK, 2021).
Teladan Kesetaraan untuk Perempuan
Kesetaraan yang selama ini didambakan sebenarnya sudah diperjuangkan sejak zaman Nabi Muhammad salallahu alaihi wasallam. Beliau memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berpendapat, bahkan mengatakan dengan tegas bahwa hari-hari membungkam wanita telah berakhir.
Sejak di rumah hingga di tengah masyarakat, banyak contoh yang mengemukakan bahwa perempuan pun diberikan tempat yang sama untuk berkiprah. Islam menghargai dan memberikan perhatian pada ketenangan dan ketentraman hati perempuan sejak berada di rumah, melalui mahar, warisan, dan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal.
Islam juga mendorong pendidikan yang tinggi untuk perempuan. Keistimewaan “surga di bawah telapak kaki ibu” mengarah kepada perbaikan generasi di pundak perempuan. Pendidikan tinggi adalah hak yang penting untuk dikejar. Akan tetapi, kewajiban yang jauh lebih penting adalah bagaimana perempuan bisa menerapkan pendidikan tersebut, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk perbaikan generasi keluarga, bangsa dan negara.
Oleh karenanya, jika masih ada pendapat yang mengatasnamakan kebebasan dan kemerdekaan namun tidak pernah mengindahkan teladan tersebut, maka perlu diperhatikan, apakah kemerdekaan yang disuarakan adalah untuk kepentingan perempuan, atau kepentingan pribadi.
Keseimbangan yang diharapkan seharusnya dipahami dengan baik oleh setiap kelompok, bahwasanya teladan inilah yang paling tepat disebut sebagai kesetaraan. Perempuan yang menganggap dirinya dibatasi karena “pakaian” tentu belum memahami bahwa perintah menundukkan pandangan terlebih dahulu diberikan kepada kaum laki-laki.
Perempuan yang memandang bahwa berada di rumah tanpa sekolah, pekerjaan dan penghasilan adalah batasan orotodoks kaum fundamentalis agama, tentu belum merenungkan pentingnya keberlanjutan generasi yang lebih baik di masa depan.
Demikian halnya siapapun yang menganggap bahwa bergeraknya perempuan menjadi lebih tinggi dalam pendidikan dan pekerjaan adalah sebuah pemberontakan, tentu juga sangat perlu memahami bahwa manusia terlahir dengan daya pikir dan daya juang yang harus dioptimalkan untuk merevolusi diri dan lingkungannya.
Maka kebebasan berpendapat seperti apakah yang harus diangkat jika hanya mengesampingkan keindahan teladan dari manusia paling sempurna. Penghormatan kepada perempuan sejatinya adalah menempatkan perempuan sebagai individu yang sudah sempurna dengan tugasnya. Membuka dan memberikan ruang bicara, menjalankan perannya di berbagai bidang, tanpa harus melupakan kekuatannya sebagai pendidik utama.
Penulis: Rahma Roshadi