“The missionaries chose Inanwatan to counter the presence of Islam in Tarof and Negri Besar in what was then called the Berau region. The Berau region comprises the coastal area roughly from Inanwatan to Arandai. The area west of Teminabuan was referred to as Berauer.”
Dua penulis Belanda yang tidak diragukan lagi kualitasnya, menulis bahwa Islam telah dianut oleh orang-orang Berau di Teminabuan dan Inanwatan. Anthonie Haga, dalam karyanya Nederlandsch-Nieuw Guinea en de Papoesche eilanden: historische bijdrage (1500-1883) menyebutkan, bahwa Nicolaas Vinck melaporkan adanya orang-orang Berau yang telah menganut kepercayaan Islam pada tahun 1663.
Hal ini diperkuat oleh tulisan Dr. Freerk C. Kamma dalam bukunya Dit wonderlijke werk: het probleem van de communicatie tussen oost en west gebaseerd op de ervaringen in het zendingswerk op Nieuw-Guinea (1855-1972): een socio-missiologische benadering. Menurut Kamma, Islam sudah dipeluk oleh suku Berau yang berada di sebelah barat dari Teminabuan dan sekitarnya.
Islam juga mulai diterima oleh suku Kokoda. Oleh sebab itu, missi Kristen kemudian mencoba membendung penyebaran Islam di Kokoda dengan menempatkan missionarisnya di Inanwatan. Peristiwa ini terjadi pada sesudah tahun 1911 hingga 1918. Dalam kata-kata Jaab Timer disebutkan demikian:
“The missionaries chose Inanwatan to counter the presence of Islam in Tarof and Negri Besar in what was then called the Berau region. The Berau region comprises the coastal area roughly from Inanwatan to Arandai. The area west of Teminabuan was referred to as Berauer.”
Islam Diterima Oleh Suku Berau
Jaab Timer juga merujuk tulisan Anthonie Haga dengan menuliskan bahwa “Nicolaas Vinck already reported the presence of Islamic belief among the ‘Berau people’ in 1663. Vinck was one of the first Europeans to travel into the MacCluer Gulf.” Dalam perkembangan berikutnya, Vinck disebut sebagai Penemu Teluk Bintuni.
Itu artinya, sejak 1663 hingga 1918, Islam telah ada di Teminabuan dan Inanwatan. Selama 255 tahun, Islam telah berkembang dan dipeluk oleh masyarakat Teminabuan dan Inanwatan. Artinya, Islam merupakan agama pertama yang dipeluk oleh orang-orang Papua di kawasan ini. Dengan jelas Jaab Timer menulis kondisi ini.
“The Teminabuan area belonged to the sphere of influence of the ‘kingdom’ of Sailolof, of which leaders were appointed as tributaries of the sultan of Tidore. Imyan and Tehit mythologies, origin stories, and explanations of the unequal division of wealth in the world, portray Tidore and Sailolof as a centre of wealth and knowledge. The raja of Sailolof resided on the island of Salawati, one of the Raja Ampat Islands situated to the west of the Kepala Burung.”
Teminabuan dan Inanwatan juga pernah di bawah pemerintahan Kesultanan Tidore (Zelfbestuur) pada masa-masa akhir. Tercatat dalam sejarah, tiga orang dari kawasan Teminabuan dan Ayamaru ditetapkan sebagai Raja. Mereka adalah Anggok Kondjol atau Fle-Fle Kondjol sebagai Raja Kaibus, Besi Thesia sebagai Raja Siribau (Teminabuan) dan Flebroe sebagai Raja Framu (Ayamaru).
Ketiga Raja tersebut diangkat oleh Kesultanan Tidore di Kampung Wersar, dekat Sungai Kaibus. Sebagai bukti pengangkatan, mereka menerima medali dan tongkat kebesaran serta topi/kopiah. Surat Pengangkatan itu tertulis dalam bahasa Belanda dan Melayu. Ini terjadi sekitar tahun 1920 hingga 1930.
Pekabaran Injil Di Teminabuan Dan Inanwatan
Menurut catatan sejarah gereja, ada dua missi Kristen yang masuk ke Teminabuan dan Inanwatan. Missi pertama berasal dari Utrechtse Zendingsvereniging (UZV) yang berasal dari denomimasi Protestan. Sedangkan missi kedua berasal dari Doopsgezinde alias Mennonite (Katolik). Missi Protestan Belanda mulai bekerja di Inanwatan sejak 1918.
Tujuan utama penyebaran agama Kristen itu adalah mengikuti saran dari Heldring yang menyatakan bahwa Tanah Papua “masih dalam kegelapan” (waar het nog nacht is). Oleh sebab itu kerja missi bukan hanya “karena kebutuhan untuk menyelamatkan tanah ini dari poligami, perbudakan, despotisme, takhayul, penyembahan berhala dan penyebaran Islam, tetapi juga karena bahaya politik meninggalkan daerah yang kaya dan menjanjikan ini.
Bahaya politik yang dimaksud adalah keberadaan Inggris dan Jerman. Apabila missi tidak meluaskan pengaruhnya, maka otomatis pemerintahan juga biasanya tidak terbentuk di tempat itu. Bila pemerintahan tidak ada disana, maka dipastikan pos militer atau polisi pun tidak ditempatkan disana. Ini berarti, bahwa keberadaan missi harus ditindaklanjuti dengan pembentukan pemerintahan setempat. Inilah yang biasanya terjadi.
Bagian 2: Teminabuan dan Inanwatan Pada Masa Nederlandsch Nieuw Guinea
Penulis: Mln. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Mubaligh Daerah Papua Barat; Ikon Prestasi Pancasila 2021 Katagori Sosial-Enterpreneur dan Kemanusiaan)