If you ask any practising Muslim woman in Britain what subject most strangers broach with her, I am convinced that she will respond ‘my hijab‘ or ‘my purdah (veil).’
(Munavara Ghauri, UK)
Secara bebas, kalimat di atas kurang lebih akan diterjemahkan demikian, “Jika Anda bertanya kepada wanita Muslim yang taat di Inggris tentang topik apa yang kebanyakan orang asing bicarakan dengannya, saya yakin dia akan menjawab ‘hijab saya’ atau ‘purdah (kerudung) saya.”
Belum beranjak jauh dari Hari Solidaritas Hijab Internasional pada 4 September lalu, diskusi tentang hijab tetap menjadi hal menarik untuk dibahas. Saya pun seorang perempuan berhijab yang beberapa kali ganti model pengenaan hijab karena “menyesuaikan” maunya orang, sebelumnya akhirnya memilih gaya berhijab senyaman yang saya mau.
Hal menarik dalam pembahasan artikel ini adalah, bahwa dalam urusan hijab saja orang bisa memberikan penghakiman sepihak yang macam-macam. Mulai dari menilai kadar religiusitas seseorang, level ego karena tidak bisa menyesuaikan pakaian dengan orang kebanyakan, sampai pada model berhijab yang kerap diidentikkan dengan golongan atau mazhab tertentu.
***
Di balik pakaian Muslimah untuk menutup auratnya, ternyata pengenaan hijab juga memiliki masa bersejarah dan perjuangan bagi sebagian kalangan. Mungkin akan aneh bagi kita yang tinggal di negara mayoritas Islam. Tapi bagi saudara-saudara kita di belahan Eropa, diperbolehkan mengenakan hijab adalah hal yang harus banget dirayakan.
Sebuah konferensi diselenggarakan di London pada 4 September 2004, yang dihadiri oleh Syeikh Yusuf Al Qardawi, Prof Tariq R, serta ratusan delegasi organisasi di Inggris. London menjadi tempat penyelenggaraan konferensi ini, tak lain karena pemerintah Inggris pernah mengeluarkan larangan bagi mahasiswa untuk memakai pakaian yang berkaitan dengan simbol keagamaan, termasuk jilbab.
Konferensi ini berhasil mendapat dukungan. Sehingga sekarang para muslimah di Inggris dan juga di beberapa negara di Eropa bisa bebas menggunakan hijab di tempat umum. Sebuah moment yang menakjubkan, bagaimana pilihan untuk berpakaian pun harus berhadapan dengan hukum negara.
Padahal, jika kita tidak memiliki masalah dengan pilihan pakaian kita sendiri, lalu mengapa orang lain harus melakukannya?
Meski demikian, Al-Quran sendiri sebenarnya tidak memberikan gaya pakaian yang saklek. Kita bisa melihat variasi di antara populasi muslim global yang berjumlah miliaran. Ada abaya hitam yang datang dari wanita Arab, kerudung Malaysia, buibui Afrika Timur dan niqab dari Pakistan.
Pilihan gaya bersifat pribadi dan dapat berfluktuasi seperti halnya usia, gaya hidup, dan lingkungan yang dialami wanita Muslim. Dengan demikian, solidaritas berhijab ini seharusnya juga dirayakan di Indonesia, sebagai salah satu negara yang masyarakatnya sangat kreatif dalam menciptakan tren.
Fenomena Pemaksaan Berhijab demi Konten
Sebuah akun youtube belakangan viral dengan mengangkat hijab sebagai pesan “pemaksaan’ alih-alih perubahan. Tanpa bermaksud mem-bully pemilik akun, hal semacam inilah yang justru kerap menjadi boomerang bagi Islam.
Agama damai ini sering disalahartikan sebagai agama yang identik dengan ekstremisme dan kekakuan, meskipun prinsip-prinsipnya mendorong untuk mengambil jalan tengah. Misalnya, meskipun perceraian dilarang dalam Islam, namun masih diperbolehkan [1] dan sementara daging babi dilarang, itu masih diperbolehkan jika ‘didorong oleh kebutuhan’. [2] Selain itu, Nabi Suci (sa) Islam mengajarkan:
‘Mudahkan agama untuk diikuti orang lain, jangan dipersulit. Demikian pula, hadirkan agama dengan cara yang menyenangkan…’ (Muslim) [3]
Nabi (saw) juga mengungkapkan dua pengamatan yang menurut saya menangkap esensi Islam; ‘Kesederhanaan adalah setengah dari kebahagiaan’ dan ‘Apa pun yang memberi Anda ketenangan pikiran dan kepuasan hati adalah baik; segala sesuatu yang mengganggu pikiran dan menyusahkan hati adalah dosa.’ [4]
Ajaran tersebut menggambarkan bahwa ada tingkat fleksibilitas, intuisi dan penilaian pribadi dalam Islam. Ini berarti bahwa ketika sampai pada perintah untuk berhijab dan berpakaian sopan, setiap wanita Muslim memiliki pilihan gaya dan cara berpakaian yang bisa dia pilih untuk diadopsi sambil tetap mematuhi perintah ini.
Hijab Hanya Secuil Syarat
Fenomena viralnya seorang content creator yang “memaksa” para talent untuk berhijab bagi saya adalah sebuah keprihatinan. Selain karena gaya berpakaian adalah ranah privat, Islam pun memberikan cara damai dalam mewajibkan Muslimah berhijab.
Namun konten tersebut memberikan sinyal bahwa hijab menjadi syarat sah hijrahnya seseorang menuju kebaikan moral. Pertobatan menuju Tuhan “dimaterai” dengan hijab. Padahal, di dalam Islam juga, hijab hanyalah sebuah secuil syarat yang memberikan sinyal kekuatan iman.
Praktik jilbab hanyalah salah satu dari lebih dari 700 perintah [5] dalam Al-Qur’an yang berusaha diikuti oleh wanita Muslim. Jadi, jilbab hanyalah salah satu aspek keimanan yang menyusun kehidupan kita sehari-hari, selain dari ibadah wajib sehari-hari hingga amalan saleh lainnya.
Dalam Al-Quran Surat 24:32, seorang wanita Muslim diperintahkan untuk menahan penampilan mereka sebagaimana layaknya pria, ketika berhubungan dengan lawan jenis yang bukan keluarga dekat. Wanita juga dibimbing untuk tidak memamerkan kecantikan mereka di depan umum dan ‘bahwa mereka menutupi kepala mereka di atas dada mereka …’. Kemudian dalam Surat 33 Ayat 60, wanita beriman diarahkan untuk menurunkan ‘pakaian luar’ mereka dari kepala hingga menutupi wajah mereka.
Bahkan, sebelum perintah menahan penampilan bagi perempuan, dikatakan terlebih dahulu bagi kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya (QS. 24:30-31). Hal ini berarti, hijab bukan syarat mutlak terjaganya seseorang dari keburukan, pun bukan syarat sah seseorang sudah berjalan menuju Tuhan.
Perhatikan, banyak orang yang telah meratapi dosa-dosanya dengan air mata yang membanjir, namun belum berhijab karena alasan malu, canggung, sampai pada alasan belum mampu beli baju baru. Di saat yang sama, ada juga orang yang mengenakan hijab hanya karena tuntutan pekerjaan, bahkan kreasi konten.
Mari berhijab dengan solider, santai dan damai.
[1] QS. 2:228
[2] QS. 2:174
[3] Selected Sayings of the Holy Prophet of Islam, Islam International Publications, 1988, p.35.
[4] Muhammad Zafrulla Khan, Wisdom of the Holy Prophet, The London Mosque, 1981 p57.
[5] Noah’s Ark, Ruhani Khaza’in Vol. 19 pp. 26-27
One thought on “Menyikapi Perintah Hijab dengan Damai”