Penerjunan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) di Kampung Maladofok, Kladuk dan Klayili, Kab. Sorong, Papua Barat, 14 Agustus 1962.
“Selama satu minggu, Kapten (U) Radik Sudarsono hidup sendirian. Selama dalam pengembaraan di hutan yang luas dan gelap, Radik terjebak oleh halusinasinya sendiri. Ia seolah melihat kampung yang indah, padahal itu adalah jurang yang terjal.”
Mengenal Sorong Raya
Bila berbicara mengenai Sorong, maka tidak sesederhana seperti menyebutkan nama tempat lainnya. Sorong yang saat ini kita kenal, telah mengalami pemekaran demi pemekaran hingga menjadi beberapa daerah administratif pemerintahan. Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten, Maybrat, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Raja Ampat.
Kata Sorong sendiri berasal dari bahasa Biak “Soren” yang artinya laut yang dalam dan bergelombang. Kata Soren dilafalkan oleh para pedagang Tionghoa, Maluku, Sangihe Talaud dan missionaris dari Eropa, dengan sebutan Sorong. Adalah kebiasaan logat di timur ini untuk menyebut huruf “n” dengan “ng”. Misalnya, kata ikan menjadi ikang dan sebagainya.
Kota Sorong pada mulanya merupakan salah satu kecamatan yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Namun dalam perkembangannya telah mengalami perubahan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1996 tanggal 3 Juni 1996 menjadi Kota Administratif Sorong. Sedangkan ibukota Kab. Sorong kini berada di Aimas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999, Kota Administratif Sorong ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom sebagai Kota Sorong. Kemudian pada 12 Oktober 1999, bertempat di Jakarta dilaksanakan pelantikan Penjabat Walikota Sorong Drs. J.A. Jumame dan selanjutnya secara resmi Kota Sorong terpisah dari Kabupaten Sorong pada 28 Februari 2000 dengan ibukota di Sorong.
Sejak pemerintahan Dutch Nieuw Guinea atau Nederlandsche Nieuw Guinea dibentuk, beberapa kali Sorong pernah menjadi ibukota Afdeling Zuid & West Nieuw Guine ataupun Onderafdeling. Misalnya, pernah menjadi Onderafdeling dari Nederlandsch Nieuw Guinea bersamaan dengan Manokwari, Hollandia (Jayapura), Schouten-eilanden (Biak), Jappenroep dan West Nieuw Guinea.
Klamono pada Masa Belanda, Jepang dan Operasi Trikora
Nama Klamono telah dikenal oleh dunia sejak 1935 setelah diitemukan kandungan minyak yang berlimpah oleh para insinyur Belanda. Cadangan minyak itu diperkirakan merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Oleh sebab itu, dibentuklah Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij atau Perusahaan Minyak Hindia-Belanda di Sorong. Maka tidak mengherankan apabila kemudian Sorong dikenal sebagai Kota Minyak.
Suatu sumber Sekutu menuliskan, “The Klamono district oil was especially valuable in that it could be used as fuel for naval vessels without refining beyond a little “topping” to remove excess naphtha. With limited effort, the wells could be expected to bring in some 16,000 barrels of crude oil per day; with additional development, about 25,000 barrels.”
Menurut catatan itu, sumur-sumur yang ada di Klamono dapat menghasilkan minyak mentah antara 16.000 hingga 25.000 per hari. Oleh sebab itu, pada masa Jepang, lokasi ini kemudian menjadi rebutan. Pihak Sekutu yang diwakili Amerika berupaya menghidupkan kembali produksi minyak di Klamono ini. Pertimbanngannya, efisiensi dan efektifitas waktu dan biaya. Alih-alih mengambil dari pelabuhan Amerika, bahan bakar Angkatan Laut mereka dapat diproduksi di Klamono sehingga lebih dekat ke medan pertempuran.
Mungkin tidak terlalu mengherankan, apabila pada saat Operasi Trikora, Panglima Mandala Mayjen Soeharto kemudian memerintahkan untuk menerjunkan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) di kawasan dekat Klamono ini. Klamono yang berjarak sekitar 35 mil sebelah tenggara Sorong, relatif aman untuk penerjunan meskipun masih lumayan dekat dengan Pulau Jeffman dimana pangkalan pesawat (airfield) bekas Jepang berada.
Persiapan Operasi Jatayu
Operasi Jatayu sebagai bagian dari Operasi Trikora di Papua, dilaksanakan berdasarkan perintah operasi (PO) Panglima Mandala Nomor 15/PO/SR/7/1962 tertanggal 9 Agustus 1962. Perintah operasi ini terbilang sangat cepat dan mendadak, sebab harus dilaksanakan pada 13 Agustus 1962 atau empat hari setelah perintah itu turun. Oleh sebab itu, ada yang menyebut, bahwa inilah operasi udara terbesar pada masanya.
Operasi ini akan dilaksanakan secara serentak dengan sasaran di Klamono-Sorong, Kaimana dan Merauke. Panglima Mandala Mayjen Soeharto memimpin langsung Operasi Jatayu ini bersama Komodor (U) Leo Wattimena. Persiapan dan target pendaratan dibahas di ruang teknik Bandara Laha. Mayjen Soeharto menentukan titik-titik yang akan menjadi lokasi penerjunan Pasukan Gerak Tjepat (PGT).
Tiga hari kemudian, Panglima Mandala dengan menggunakan pesawat komando Convair-240 yang diterbangkan Kolonel (U) Tituler Partono terbang di sekitar timur Pulau Seram. Ini terjadi pada Minggu malam pkl. 22:00 WIT. Tujuannya adalah untuk memeriksa situasi di garis terdepan dengan daerah lawan.
Operasi Jatayu yang dilakukan secara serentak ini bertujuan untuk emnutuo fase infiltrasi udara yang telah dilaksanakan sejak April 1962. Operasi ini juga bertujuan sebagai pamungkas untuk memaksa Belanda menandatangani Perjanjian New York (The New York Agreement).
Untuk melaksanakan Operasi Jatayu, Komando Mandala menyiapkan enam Hercules. Setiap sasaran didukung oleh dua pesawat. Keenam Hercules tadi akan dikawal oleh tiga pembom strategis Tu-l6 Badger, satu II-28 Beagle, dua B-25/26, empat P-51 Mustang dan dua UF-1 Albatross yang berperan sebagai pesawat SAR.
Operasi lintas udara yang akan menerjunkan pasukan pada tengah malam pkl. 02:00 WIT di Klamono ini disebut dengan nama gugus tugas Elang. Ini melibatkan dua C-130B Hercules yang diterbangkan Letkol (U) Slamet dengan wingman Kapten (U) Sukardi dan kopilot Letnan (U) I Siboen.
Pasukan ini akan dipimpin oleh Kapten (U) Radik Sudarsono, yang meniti karir di PGT sebagai perwira pembinaan jasmani (binjas). Kedua Hercules akan dikawal oleh satu II-28 dengan penerbang Letnan (U) II Wakidjan.
Persiapan Penerjunan Operasi Jatayu
Dalam catatan, ada tiga lokasi penerjunan yang dilakukan di Klamono. Ketiga lokasi itu adalah Kampung Maladofok, Kampung Saluk dan Kampung Klayili. Ketiga kampung ini letaknya lumayan dekat dengan Klamono dan saat itu menjadi bagian dari Distrik Klamono. Pada tahun 1962 itu, jalan tembus dari Klamono ke Ayamaru atau Teminabuan sudah selesai dibangun meski masih sederhana.
Kampung Maladofok berada sekitar 35 mil dari Sorong. Di lokasi ini pasukan diterjunkan untuk pertama kali, disusul dengan di Salukuk dan di Klayili. Klamono berada di tenggara Sorong, sedangkan Kampung Maladofok, Kampung Saluk dan Kampung Klayili berada di sebelah timurnya lagi.
Sebanyak 132 Pasukan Gerak Tjepat akan diterjunkan di kawasan ini langsung diangkut dengan pesawat yang dari Laha, Ambon, Maluku. Mereka berasal dari Peleton 2 dan 4 Resimen Tim Pertempuran (RTP) yang baru menyelesaikan pendidikan di Margahayu, Bandung, Jawa Barat. Meskipun rata-rata masih muda, namun semangatnya terlihat membara.
Setelah melalui masa persiapan di Margahayu, Bandung, mereka kemudian diberangkatkan ke Halim Perdanakusuma lewat Puncak Bogor untuk selanjutnya dengan menggunakan kapal laut akan diberangkatkan ke Makassar dan Ambon dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Karena membawa satu batalion prajurit, kapal laut itupun dikawal oleh kapal selam, yang berada di depan dan di belakang.
Persiapan yang mendadak dan seolah terbilang cepat, menyebabkan semua berjalan tergesa-gesa. Setelah dilakukan pengecekan keperluan, Operasi Jatayu Gugus Tugas Elang, Garuda dan Alap-alap pun dirasa siap diberangkatkan. Selain ke Klamono Sorong, dua gugus tugas lainnya adalah ke Kaimana & Fak Fak dan Merauke. Ini untuk memperkuat pasukan sebelumnya yang sudah diterjunkan lebih dulu.
Jejak dan Pengalaman PGT di Belantara Papua
Hingga kini, hutan Papua di lokasi terjadinya Operasi Elang di Klamono, Sorong masih tampak seperti dulu. Hutan perawan itu sangat lebat dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Ketinggian pohon rata-rata antara 30 hingga 50 meter. Bila dilihat dari atas, hanya permukaan yang datar mirip karpet hijau. Di beberapa tempat tampak sungai besar yang mirip ular raksasa sedang berjalan.
Di lokasi seperti inilah, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) akan diterjunkan pada pagi dinihari itu. Sebelum diberangkatkan, Panglima Mandala memberikan doktrin untuk menguatkan mental pasukan. Mayjen Soeharto menyampaikan dengan nada berwibawa:
“Saudara-saudara semua adalah pasukan pilihan dan orang-orang pemberani. Tugas saudara-saudara berat dan penuh resiko. Bersama saudara-saudara malam ini diterjunkan kurang lebih satu batalion pasukan-pasukan pilihan seperti saudara-saudara di tiga sasaran berbeda. Sekali lagi, tugas saudara-saudara berat tetapi sangat mulia. Nasib negeri ini terletak di pundak kalian.”
Pasukan dibekali dengan berbagai macam perlengkapan untuk hidup di Irian terutama di belantara Papua yang terkenal ganas. Selain itu, mereka juga dibekali dengan mata uang gulden Belanda dengan nominal 600 gulden tiap orang. Terkadang, dengan mata uang ini mereka membeli makanan kepada warga kampung yang kebetulan dilewati.
Kesulitan yang dihadapi pasukan di Irian saat itu, terutama adalah masalah makanan. Ternyata di hutan Papua, tidak banyak tumbuhan yang bisa dijadikan sebagai bahan makanan. Oleh sebab itu, ada kisah yang miris, bahwa salah seorang prajurit kemudian merebus sepatu kulitnya dan memakannya. Ini karena betul-betul sudah tidak ada lagi yang bisa dijadikan sebagai makanan.
Pernah terjadi, bahwa jenis tumbuhan tertentu mirip pakis di Jawa coba untuk dimakan. Tetapi ternyata itu adalah tumbuhan beracun yang akan memberikan dampak bagi yang memakannya. Oleh sebab itu mengenai masalah makanan pun, pasukan yang diterjunkan di Klamono juga mengalami kesulitan. Kondisi hutan yang seperti itu, tidak memungkinkan adanya pohon pisang hutan atau sejenisnya yang bisa dimakan.
Kesulitan lainnya adalah masalah komunikasi. Pada saat itu tidak semua prajurit dibekali dengan radio komunikasi. Bahkan, ada larangan untuk menghidupkan radio komunikasi saat penerbangan dari Ambon ke Sorong sehingga harus menggunakan komunikasi grafis. Begitu juga ada larangan untuk menyalakan api atau mengeluarkan suara tembakan senjata api.
Praktis, selama berhari-hari setelah mendarat di tanah, pasukan tidak dapat berbuat apa-apa. Lokasi pendaratan yang terpencar, dipisahkan oleh jauhnya jarak membuat konsolidasi menjadi lumayan lama. Bahkan, ada prajurit yang hingga empat hari tidak kemana-mana dan diam di tempat pendaratan sambil menunggu kedatangan teman-temannya.
Bagi Kapten (U) Radik Sudarsono sendiri, kondisi ini sangat sulit. Komandan tim itu kemudian terpaksa membunyikan senjata api, sehingga kemudian disusul bunyi yang sama di sekitarnya. Akhirnya ini menjadi satu isyarat untuk mengetahui posisi mereka masing-masing. Tidak perlu waktu lebih lama, mereka kemudian dapat berkumpul kembali.
Setelah berkumpul kembali, pasukan kemudian bergerak ke arah selatan menuju pantai. Perjalanan itu dilakukan selama 10 hari lamanya, mendaki gunung dan menuruni bukit. Meskipun kondisinya terasa sulit, tetapi mereka tetap bersemangat. Hingga pada akhirnya mereka mendengar bahwa terjadi gencatan senjata dan akan dilaksanakan penyerahan Irian Barat ke pangkuan Indonesia.
Dalam menunggu itu, mereka kemudian ditampung oleh seorang republikan yang merupakan seorang Kepala Kehutanan dan anak buahnya di Sorong. Namun karena belum 1 Oktober 1962, oleh UNTEA PBB, didatangi di rumah Simon Randa itu agar mereka kembali masuk hutan kembali. Tetapi Simon Randa menolak dan minta supaya mereka tetap berada di rumahnya. Minimal mereka berada enam kilometer dari pasukan Belanda di Sorong. Dan, Klasaman letaknya enam kilometer dari posisi Belanda.
Akhirnya PBB pun sedikit luluh dan mempersilakan mereka tetap tinggal disana. Lokasinya di KM 12 alias Klasaman sekarang. Untuk urusan makanan akan ditanggung oleh PBB, meskipun ternyata kurang dan akhirnya tetap dibantu oleh Simon Randa, orang Toraja dan para pemuda Suku Moi yang terlibat dalam membantu para infiltran Trikora. Apalagi ketika sekitar 300 orang prajurit Trikora dikumpulkan disana sebelum dipulangkan kembali ke pos asalnya.
Para pemuda suku Moi itu ikut berperan dalam Operasi Trikora dengan membantu Simon Randa, seorang Toraja pegawai kehutanan pemerintah Belanda, menyuplai kantong-kantong gerilya sekitar Sorong oleh pasukan infiltran Trikora (disebut Enso-Enso dalam bahasa Moi). Enso-enso adalah sebutan Merah Putih. Para pemuda itu membawa makanan dan tembakau untuk prajurit Trikora yang ada di hutan-hutan.
Para pemuda bersama Randa yang tercatat bernama Oscar Osok, Lodewijk Osok, David Osok, Fritz Osok, Edwar Osok, Robert Malibela, Sadrak Malibela, Amanja Malibela, Edwin Malibela, Petrus Kalabim, Steven Kalaibim, Aminyas Kalaibim, Joel Kalaibim, Karel Kalaibim, Josafat Kalaibim, Josan Kalaibin, Jonas Satisa dan Hermanus Mili. Peninggalan perjuangan ini berupa Rumah di KM 12 Klasaman, Sorong.
Apa yang Bisa Dilakukan Saat Ini?
Mengingat peristiwa ini memiliki nilai sejarah yang tinggi, sudah sepantasnya di lokasi penerjunan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) itu dibangun sebuah tugu pendaratan seperti yang telah dibangun di Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kab. Sorong Selatan. Ini untuk mengenang peristiwa pendaratan yang penuh perjuangan heroik tersebut.
Begitu juga, menurut catatan, ada beberapa anggota pasukan yang meninggal karena kecelakaan saat penerjunan dan dimakamkan di lokasi penerjunan itu. Makam itu bisa dicari kembali dan dibuat sebagai tanda dengan prasasti di dekatnya. Nama Lubis, disebutkan sebagai prajurit yang gugur itu. Goa kecil tempat prajurit bermalam juga bisa dijadikan sebagai penanda.
Rumah tempat Simon Randa menampung dan dijadikan sebagai markas pasukan Trikora juga masih ada di KM 12 Klasaman. Rumah itu bisa dijadikan sebagai bangunan cagar budaya. Sedangkan makam prajurit Trikora yang gugur, kini sudah dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Sorong.
Sebagai operasi pamungkas yang kemudian terjadi penyerahan Irian Barat ke pangkuan NKRI, Operasi Jatayu memiliki kedudukan sejarah yang tinggi. Mungkin, tanpa adanya operasi ini, PBB dalam hal ini United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) akan terus mengulur-ulur waktu dalam penyerahan Provinsi Irian Barat ke pangkuan NKRI.
Penulis: Mln. DR. Rakeeman R.A.M. Jumaan, dalam rangka HUT TNI ke-77 Tahun 2022