“Saya berjuang untuk bangsa dan negara, bukan mencari hadiah.”
Herlina Kasim
Namanya Sitti Rachmah Herlina, tetapi nama Herlina Kasim lebih populer dibanding nama aslinya. Herlina dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada 24 Februari 1941. Pendidikan dasar diselesaikan di Malang pada 1953 (SD). Sedangkan pendidikan menengah dilakoni di Jakarta: 1956 (SMP) dan 1959 (SMA). Dua tahun kemudian Herlina menjadi wartawan perempuan di Ternate, kini Provinsi Maluku Utara, dan mendirikan Mingguan Karya.
Ketika Presiden Soekarno mencanangkan operasi Trikora pada 19 Desember 1961, Herlina merasa terpanggil untuk ikut dalam operasi tersebut. Berbekal kemampuan jurnalistiknya, Herlina akhirnya lolos dan siap diterjunkan di kawasan Irian Barat. Meskipun secara fisik, awalnya Herlina merasa ragu untuk bisa lolos. Pandangan Pangdam XVI Pattimura saat itu menyatakan, bahwa senjata pena lebih tajam dari peluru.
Salah satu kemampuan Herlina lainnya adalah kemahirannya dalam berbahasa Inggris dan Belanda. Dengan modal itu, Herlina mudah berkomunikasi dengan orang-orang lain. Ia turut andil dalam membimbing masyarakat setempat untuk menguasai baca tulis, berhias, tata busana. Terkadang untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, Herlina pun mengajarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
Pendaratan Herlina di Irian Barat
Menurut beberapa sumber, Herlina Kasim diterjunkan di kawasan Merauke dalam Tim (Himpunan) Alap-alap di bawah pimpinan Letnan (U) Benyamin Matitaputty. Tim ini diterbangkan dari Ambon, Maluku dan dibagi menjadi Tim Elang dan Tim Alap-alap, Tim Elang diterjunkan di Sorong di bawah pimpinan Kapten (U) Radik Sudarsono. Kedua Tim ini merupakan bagian dari Operasi Jatayu pada 14 Agustus 1962.
Operasi lintas udara yang akan menerjunkan pasukan pada tengah malam pkl. 02:00 ini dipecah ke dalam tiga kelompok dengan rincian sebagai berikut. Operasi Elang, melibatkan dua C-130B Hercules yang diterbangkan Letkol (U) Slamet dengan wingman Kapten (U) Sukardi dan kopilot Letnan (U) I Siboen. Pesawat akan berangkan dari Laha untuk menerjunkan 132 anggota PGT di daerah Klamono, Sorong. Pasukan dipimpin oleh Kapten (U) Radik Sudarsono.
Operasi Gagak dengan sasaran Kaimana dan Merauke, juga menggunakan dua Hercules yang dipimpin oleh Mayor (U) Pribadi dan wingman Mayor (U) T.Z. Abidin. Pesawat berangkat dari Letfuan dengan membawa 141 anggota Batalion 454 Banteng Raiders Diponegoro di bawah pimpinan Mayor (Inf) Untung Supono Syamsoeri. Mereka akan diterjunkan di sekitar Kaimana.
Sementara Operasi Alap-alap dilaksanakan dari dua Hercules dengan pimpinan Mayor (U) Nayoan dan wingman Kapten (U) Santoso Suharto. Pesawat berangkat dari Amahai dengan membawa 132 anggota PGT yang akan diterjunkan di daerah Merauke. Pasukan yang dipimpin Letnan (U) II Matitaputty itu bertugas untuk memperkuat pasukan RPKAD yang telah diterjunkan terlebih dahulu pada 23 Juni dalam Operasi Naga dipimpin Mayor Benny Moerdani.
Sedangkan sumber lainnya menyebutkan, bahwa Herlina Kasim ikut dalam rombongan kapal Angin Mamiri yang bertolak ke Pulau Waigeo. Pukul 05:40 WIT pagi kapal itu masih terombang-ambing di tengah laut. Setelah beberapa saat mendarat, sebuah kapal perang Belanda kemudian menemukan mereka dan melakukan serangan. Namun karena kondisi air sedang surut, kapal itu tidak berani mendekat ke pantai.
Berkiprah di Tengah Masyarakat
Tim akhirnya dipecah pada Juli 1962. Petualangan selama satu bulan pun dimulai. Herlina Kasim dan teman-temannya akhirnya bisa menembus Irian Barat setelah melalui ganasnya alam. Dalam catatan itu, Herlina Kasim kehabisan bekal makanan sehingga kerang pun harus dimakan hidup-hidup karena ada larangan untuk menyalakan api.
“Sebulan lamanya kami mengembara di hutan belantara. Juli 1962, kami mendarat di Irian Barat. Makanan yang dibawa sudah habis, binatang-binatang tak ada, kecuali kerang di tepi pantai. Itupun harus dimakan mentah. Karena kami tidak boleh menyalakan api. Takut ketahuan musuh,” kata Herlina.
Dengan latar belakang seorang jurnalis, Herlina Kasim pun kemudian berkeliling Irian Barat untuk menumbuhkan semangat nasionalisme, termasuk mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Terkait hal ini, Herlina berkata, “Saya bersyukur jadi wartawan. Saya yakin, andai bukan wartawan, pasti tak akan memiliki nilai plus hingga lolos tes ikut dalam Operasi Militer Trikora di Irian”.
Pada 23 Oktober 1962, Herlina berangkat ke Kotabaru (Jayapura) dan disambut gegap gempita oleh masyarakat luas. Tugas baru pun menunggu berupa penataan kembali surat kabar Cenderawasih yang semula masih stensilan menjadi surat kabar profesional.
Kehadirannya di Irian Barat lama-kelamaan dicintai warga dan membuatnya seperti selebriti. Saat berkunjung ke Sorong, ia sampai harus dibawa ke rumah seorang Kepala Kehutanan asal Tana Toraja agar tidak dikerumuni massa.
Mengembalikan Penghargaan dari Presiden
Atas perjuangannya tersebut, Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat kemudian menganugerahkan penghargaan dan hadiah berupa 500 gram emas berbentuk pending (sabuk) dan uang tunai sebesar Rp 10 juta. Sertifikat penghargaan itu tertanggal 23 Februari 1963.
Namun, semua hadiah itu kemudian dikembalikan lagi oleh Herlina. Menurutnya, ia berjuang murni untuk bangsa dan negara dan bukan semata untuk mencari hadiah. Begitu juga, Herlina tidak mau menerima tunjangan dari negara. “Saya berjuang untuk bangsa dan negara, bukan mencari hadiah,” kata pejuang Trikora asal Malang tersebut.
Akhir Hayat Si Pending Emas
Usai dari Operasi Trikora, Herlina kemudian mengikuti Pendidikan Militer Korps Wanita Angkatan Darat (1963-1964). Herlina juga mengikuti Pendidikan Atase Pers Departemen Luar Negeri (1965).
Ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia, Herlina pun dikirim ke negeri jiran itu untuk menyebarkan surat kabar di Semenanjung Malaka. Peredaran surat kabar itupun berhenti ketika pecah Gerakan 30 September/PKI.
Sekitar tahun 1980, Herlina pun mendirikan klub sepakbola yang diberi nama Caprina Football Club. Selain itu Herlina juga membuka klub voli dan tinju. Herlina mengadopsi anak-anak dari berbagai daerah terutama Indonesia Timur untuk membekali mereka dalam bidang olahraga.
Dalam mengelola klub olahraga itu, Herlina menerapkan disiplin yang tinggi. Tidak ada kompromi bagi mereka yang terlambat atau malas-malasan. Tetapi semangat kekeluargaan tetap dipertahankan, sehingga mereka menjadi seperti senasib sepenanggungan.
Pada Selasa, 17 Januari 2017 pkl. 22:45 WIB, Herlina Kasim meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes dan gangguan paru-paru yang dideritanya. Si Pending Emas itu dimakamkan di TPU Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur.
Putranya, Rigel Wahyu Nugroho menyampaikan, bahwa sebelumnya Herlina Kasim berkali-kali mengungkapkan tidak mau disemayamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta. Hal ini juga dibenarkan oleh anak perempuan Herlina, Soebiyati Jaka yang lahir di Makassar.
Penulis: Mln. DR. rakeeman R.A.M. Jumaan (Muballigh Daerah Papua Barat)