By: Mln. Yusuf Awwab
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi ini. Hai orang-orang beriman, mohonkanlah shalawat (keberkahan) untuknya dan berilah salam baginya.”
Qs. Al-Ahzab, 33:57
الصلوات (Shalawat) adalah bentuk jamak dari kata الصلاة yang artinya doa, ampunan, rahmat, dan keberkatan. Kebanyakan kita sering menganggap bahwa الصلاة dan الصلوات adalah dua kata yang berbeda, padahal keduanya sama, yang membedakan hanya bentuknya saja. Kita umumnya menggunakan kata الصلاة untuk arti sembahyang yaitu bentuk ibadah berupa ritual dengan bacaan dan gerakan di dalamnya. Sementara kata الصلوات lebih sering ditujukan untuk Rasulullah saw. Padahal, sekali lagi bahwa kedua kata tersebut sama, karena kata الصلوات adalah jamak dari kata الصلاة (Shalah). Jadi artinya bahwa الصلوات adalah shalat-shalat.
Untuk الصلاة yang maksudnya sembahyang, orang Arab biasanya menyebutnya الصلوات المكتوبة “Sholawatul Maktuubah” (Shalat yang diwajibkan) atau الصلوات المفروضة “Sholawatul Mafruudhoh” (Shalat Fardu). Sedangkan kata الصلاة yang maksudnya Shalawat biasanya ditambahkan على setelahnya, sehingga dibacanya: الصلاة على النبي, “Ash-Sholaatu ‘Alan-Nabi” atau الصلاة على رسول الله, “Ash-Sholaatu ‘Alar-Rosuulillaah” atau الصلوات على النبي, “Ash-Sholawatu ‘Alan-Nabi” atau الصلوات على رسول الله “Ash Sholawatu ‘Alar Rosuulillaah”. Jadi jelas bahwa الصلاة dan الصلوات adalah satu kata yang sama, bukan dua kata yang berbeda.
Menurut Al-Jurjani dalam Kitabnya At-Ta’rifat menjelaskan bahwa shalat menurut lughat artinya adalah doa.[1] Karena memang, jika kita perhatikan bahwa di dalam الصلاة yang maksudnya sembahyang maka mulai dari Takbiirotul Ihroom hingga Salaam isinya adalah Do’a. Oleh karena الصلاة adalah الصلوات maka الصلوات pun artinya adalah Do’a. Jadi bershalawat kepada Rasulullah saw berarti mendoakan kebaikan bagi beliau saw. Lalu apa maksud dari Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat atau berdoa kepada Rasulullah saw, sebagaimana surah Al-Ahzab ayat 57 tersebut.
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi ini
Pendapat Para Ulama
Imam Al-Qurtubi di dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa bershalawat atau berdoanya Allah kepada Rasulullah saw maksudnya adalah Allah menganugerahkan rahmat dan ridho-Nya kepada beliau saw. Sedangkan shalawatnya para malaikat adalah permohonan ampun (istighfar) yang mereka panjatkan untuk Rasulullah saw.[2]
Imam Baidhowi dalam tafsirnya menyampaikan bahwa makna Allah dan para malaikat bershalawat kepada Nabi adalah memberikan perhatian dalam menampakkan kemuliaan dan keagungan beliau saw.[3]
Sementara Ibnu Abbas menjelaskan bahwa makna يُصَلُّونَ “Yushallun” dalam ayat tersebut artinya adalah يبارك “Yubaarikun” yaitu Allah SWT senantiasa memberikan keberkatan kepada Rasulullah saw.[4] Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 157:
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ
“Mereka itulah yang mendapatkan Shalawat dan rahmat dari Tuhan mereka.”
Makna Shalawat disini bukanlah doa namun lebih kepada keberkatan yang sempurna. Jadi maksud Allah bershalawat kepada Rasulullah saw adalah Allah menganugerahkan keberkatan yang sempurna kepada beliau saw. Abul ‘Aliyah melengkapi pendapat dari Ibnu Abbas tersebut, dengan mengatakan bahwa
صَلاَةُ اللَّهِ ثَنَاؤُهُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَلاَئِكَةِ ، وَصَلاَةُ الْمَلاَئِكَةِ الدُّعَاءُ
“Dalam pandangan Malaikat Shalawat-nya Allah kepada Rasulullah saw adalah pujian Allah Ta’ala kepada beliau saw. Sementara Shalawat-nya para malaikat kepada Rasulullah saw adalah doa para malaikat kepada beliau saw.”[5]
Pendek kata, para ulama sepakat bahwa bershalawatnya Allah Ta’ala kepada Rasulullah saw bukan berarti Allah Ta’ala berdoa kepada Rasulullah saw, sebab tidak mungkin Sang Pencipta berdoa kepada ciptaan-Nya. Melainkan maksudnya bahwa Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan rahmat dan keberkatan-Nya kepada Rasulullah saw. Sedangkan shalawatnya para malaikat diartikan sebagai bentuk istighfar atau doa ampunan yang mereka panjatkan kepada Allah Ta’ala bagi Rasulullah saw.
Pendapat Hadhrat Masih Mau’ud
Hadhrat Masih Mau’ud, Mirza Ghulam Ahmad as berpendapat bahwa shalawatnya Allah dan para Malaikat adalah sebuah sanjungan atas akhlak dan amal perbuatan yang ditampilkan Rasulullah saw. Beliau as bersabda:
“Lihatlah ketulusan dan kesetiaan Sayyidina wa Maulana, Muhammad Rasulullah saw dalam menghadapi setiap kejahatan. Beliau saw tetap optimis ditengah segala musibah dan penderitaan yang mendera beliau. Inilah ketulusan dan kesetiaan yang karenanya Allah swt telah memberkati beliau dengan mengungkapkan: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi ini. Hai orang-orang mukmin, mohonkanlah shalawat untuknya dan berilah selalu salam baginya.”
Kemudian beliau as bersabda, “Dari ayat ini jelas sekali bahwa amal perbuatan Rasulullah saw sungguh sedemikian rupa, sehingga tidak ada ungkapan kata-kata pun yang pantas Allah Ta’ala gunakan untuk memuji kualitas amal perbuatan beliau saw tersebut.”
Lebih lanjut beliau as bersabda, “Mungkin saja ada ungkapan kata-kata lain yang bisa Allah Ta’ala gunakan untuk itu, namun secara sengaja Dia tidak menggunakannya. Ini artinya bahwa amal perbuatan beliau sedemikian rupa luhur dan tingginya bahkan lebih tinggi dari makna definisi sempurna itu sendiri, juga dari definisi berbagai penjelasan mana pun.”
“Tidak pernah ada ayat seperti ini yang Allah swt gunakan untuk mengagungkan seorang Nabi manapun. Di dalam ruh beliau saw terdapat derajat ketulusan dan kemurnian yang begitu tinggi, dan segala amal perbuatan beliau saw dihargai sedemikian rupa dihadapan Allah Ta’ala. Sehingga Allah pun memerintahkan umat manusia agar di masa mendatang mereka senantiasa bershalawat sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat tersebut.” [6]
Mengapa Rasulullah saw dianggap sebagai sebuah nikmat Allah Ta’ala yang harus disyukuri. Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan bahwa karena “beliau saw adalah Rasul yang telah mengubah orang-orang liar menjadi manusia, dan mengangkat derajat mereka menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia, lalu mewarnai mereka dengan warna-warna Ilahi…. Beliau itulah Rasul yang menjadi matahari kebenaran, di kaki beliau lah ribuan orang-orang yang batinnya telah mati karena paganisme, atheisme dan kehidupan dosa, kemudian dibangkitkan. Apa yang dilakukan beliau saw tidak semata hanya bicara seperti halnya yang dilakukan Yesus as. Rasul yang muncul di Mekah ini, telah menyingkap kegelapan mengenai hubungan dengan Tuhan dan penyembahan mahluk hidup. Beliau itulah terang dunia sesungguhnya, yang menemukan kegelapan di dunia dan mengaruniakan Nur yang telah merubah malam yang gelap gulita menjadi siang yang terang benderang.”[7]
Pendeknya bahwa pada diri beliau saw lah nur keberkatan itu ada. Dunia patut berterima kasih kepada beliau saw, karena tanpa kedatangan beliau saw dunia akan tetap gelap gulita dimana kedudukan dan keagungan Tuhan yang wajib disembah telah digantikan oleh sesembahan lainnya. Dan yang membuat Allah Ta’ala murka adalah ketika dunia menjadikan batu, pohon bahkan seorang manusia menjadi Tuhan mereka.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Sebelum turunnya wujud yang mulia ini, nyatanya keagungan dan kebesaran Tuhan telah dilupakan manusia di seluruh negeri. Dan keimanan manusia telah dialihkan kepada dewa-dewa, batu-batu, bintang-bintang, pohon, hewan dan bahkan kepada wujud manusia lainnya, dimana mahluk-mahluk yang rendah seperti itu didudukan ditempat yang seharusnya hanya berada Keagungan dan Kesucian AllahTa’ala. …karena Tuhan melihat betapa dunia ini sudah tenggelam dalam kegelapan dan kemusyrikan, maka dari itu Dia telah mengutus Rasulullah saw untuk mengusir kegelapan tersebut.[8]
Selanjutnya beliauas bersabda, “Rasulullah saw muncul di saat kegelapan dan telah mencerahkan dunia dengan Nur beliau saw. Beliau tidak merasakan letih ataupun lelah sebelum jazirah Arab bersih dari kemusyrikan. Beliau adalah bukti dari kebenaran wujud beliau sendiri karena Nur beliau tetap kemilau di segala zaman, dan ketaatan yang seutuhnya kepada beliau akan mampu mensucikan jiwa seseorang sebagaimana air sungai yang jernih membersihkan kain yang kotor.”[9]
Mengapa Allah Ta’ala memuji dan memuliakan beliau saw sedemikian rupa, sampai-sampai tidak ada kata yang pantas untuk mengungkapkan kesempurnaan beliau saw selain kata يُصَلُّونَ “Yushallun”. Hadhrat Masih Mau’udas bersabda;
“Barangsiapa yang memahami periode kehidupan Mekah dari beliau tentunya mengetahui betapa ratapan dan permohonan doa yang dilakukan beliau saat itu tidak ada padanannya atau bandingannya sama sekali dengan para pencinta yang sedang mencari kekasihnya. Ratapan beliau bukanlah untuk dirinya sendiri tetapi karena kesadaran beliau akan kondisi dunia pada saat itu. Zaman itu penyembahan terhadap Allah swt telah sirna, sedangkan Dia telah menanamkan keimanan dalam jiwa beliau yang memberikan kegembiraan dan kecintaan. Dengan sendirinya beliau ingin menyampaikan kegembiraan, kecintaan dan kasih ini kepada dunia, namun ketika beliau menyadari kondisi dunia serta kemampuan dan fitrat manusia saat itu, maka beliau menghadapi rintangan yang amat besar. Beliau meratapi dan menangisi kondisi dunia sedemikian rupa sehingga nyawa beliau pun terancam.”[10]
Melihat hal ini Allah Ta’ala pun berfirman kepada beliau saw
لَعَلَّكَ باخِعٌ نَفسَكَ أَلّا يَكونوا مُؤمِنينَ
‘Boleh jadi engkau akan membinasakan dirimu sendiri dari dukacita karena mereka tidak mau beriman’ (QS. Asy-Syuara 26:4).
Pendek kata bahwa shalawatnya Allah dan para Malaikat-Nya kepada Rasulullah saw merupakan bentuk pujian akan keluhuran akhlak beliau saw serta ketulusan, keikhlakasan, keberanian, kesetiaan, kebesaran hati dan kesabaran beliau saw dalam menghadapi setiap kejahatan dan permusuhan dari kaum beliau saw. Bahkan di tengah-tengah perlawanan dan penindasan yang dilakukan kaumnya, alih-alih menyusun strategi untuk balas dendam, beliau saw malah sibuk berdoa agar Tuhan menjadikan mereka kaum yang dinaungi keberkahan dan kemuliaan.
Begitu luhurnya akhlak beliau saw sehingga Allah Ta’ala pun tak sungkan memujinya.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak luhur” (Qs. Al-Qalam 68: 5)
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Kata azhiim yang digunakan dalam ayat ini menggambarkan istilah bahasa Arab yang mengandung arti kesempurnaan tertinggi dari suatu spesies makhluk. Sebagai contoh kalau dikatakan sebuah pohon itu azhiim maka yang dimaksud adalah pohon itu memiliki panjang dan lebar yang terbaik sebagai sebuah pohon. Berarti semua akhlak mulia dan fitrat baik yang mungkin dimiliki seorang manusia, semuanya ada dan terhimpun dalam wujud Yang Mulia Rasulullah saw.”
Dengan demikian, ini merupakan pujian yang tertinggi. Hal ini juga diindikasikan dalam ayat lain:
وَكَانَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Karunia Allah atas engkau sangat besar.” (Qs. An-Nisa: 114)
Ini berarti bahwa Tuhan telah menganugerahkan Rahmat-Nya atas diri beliau saw dalam takaran yang tertinggi dan tidak ada Nabi lain yang bisa sepadan derajatnya dengan beliau. Pujian ini juga dikemukakan dalam Mazmur di Kitab Perjanjian Lama yang merupakan nubuatan berkaitan dengan kedatangan Yang Mulia Rasulullah saw yang berbunyi, “Sebab itu Allah, Allahmu telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu” (Mazmur 45:7).[11]
Singkatnya bahwa ungkapan إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ mengandung makna bahwa Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memuji keluhuran dan derajat kesempurnaan akhlak Nabi Muhammadsaw. Oleh karena itu Allah Ta’ala pun berseru يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا , Hai orang-orang mukmin, sebagaimana Allah dan Malaikat-Nya memuji Rasul ini, maka puji juga lah Rasul ini dan sampaikan juga salam keberkatan bagi beliausaw.
[1] Lihat Ali bin Sayyid Muhammad Syarif al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut: Darul Kutubul-Ilmiyah,1988 (http://suaragemaislami.blogspot.com/2011/12/pengertian-sholawat.html)
[2] Lihat Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Kairo, Darul Hadis, 2010, jil. VII, hal. 523
[3] Lihat Nashirudin Al-Baidlowi, Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta’wîl, 2000 [Damaskud: Darur Rosyid], Jil. III, hal. 94
[4] Lihat M. Syukron Maksum & A. Fathoni el Kaysi, Rahasia Sehat Berkah Shalawat, Best Publisher, 2009
[5] Lihat Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syarh Al-Mumthi’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’, Dar Ibnul Jauzi, Cet. I, 1422 H
[6] Lihat Khutbah Hudhur 16 Januari 2015, Intisari Shalawat atas Baginda Nabi Muhammadsaw
[7] Lihat, Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, Neratja Press, cet. II, hal 216-218.
[8] Lihat, Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, Neratja Press, cet. II, hal 216-218; & Majmua Ishtiharat, vol.22,hal.67- 68
[9] Lihat, Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, Neratja Press, cet. II, hal 209; dan Ruhani Khazain, vol.23, hal.301-303
[10] Lihat, Malfuzat, vol. II, hal. 178-179
[11] Lihat Ruhani Khazain, vol.1, hal.605-606, London, 1984; dan Lihat, Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, Neratja Press, cet. II, hal 268.