Kematian Mahsa Amini memicu protes besar di Iran. Mereka menuntut keadilan, transparansi, dan menyuarakan isu-isu kebebasan berekspresi. Sehingga kasusnya menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri Iran.
Ada dua hal mendasar yang patut didiskusikan dalam kasus ini. Pertama, tentang aturan jilbab menurut pemerintah negara Iran, dan yang kedua adalah jilbab menurut syariat Islam. Peradaban di Iran sebenarnya sudah bermula ratusan tahun sebelum masehi. Kuatnya budaya dan keberagaman Iran hari ini adalah warisan dari bangsa Persia yang berjaya sejak abad ke-6. Jantung Kekaisaran Persia ada di Iran. Kekaisaran Persia sempat menjadi salah satu peradaban terkuat di dunia. Persia unggul dalam ilmu pengetahuan dan dominasi di Timur Tengah.
Di abad ke-16, ketika Dinasi Safavid berkuasa, Kekaisaran Persia mengadopsi Islam syiah. Dinasti Pahlevi mengganti nama Persia menjadi Iran pada 1935. Dinasti ini juga punya cita-cita memodernisasi Iran. Sayangnya, rencananya itu ditentang dan memicu gejolak di masyarakat. Dinasti Pahlevi ditumbangkan lewat revolusi yang dikenal sebagai Revolusi Iran pada 1979. Revolusi yang dipimpin oleh Ayatullah Rohullah Khomeini ini mengubah Iran dari negara kerajaan menjadi negara republik.
Iran sebagai negara terbesar kedua di Timur Tengah setelah Arab Saudi menjadi negara pimpinan ulama dengan unsur demokrasi parlementer. Corak sosial yang tadinya sangat dipengaruhi negara barat, dihapus dan masyarakatnya ‘dipaksa’ mengikuti syariat Islam.
Sebenarnya, syariat [Hukum Islam] dirancang untuk meringankan beban seseorang. Lebih jauh lagi, syariat dibuat untuk melindungi seseorang dari semua jenis cobaan dan bahaya. Dengan demikian, jelaslah dari firman Allah swt bahwa agama Islam yang diturunkan untuk manusia tidak mengandung satu perintah pun yang akan menyulitkan mereka. Sebaliknya, setiap perintah, baik kecil atau besar, adalah sumber rahmat dan berkah.
Dengan demikian, pemikiran manusia cacat, sedangkan firman Allah swt adalah sempurna. Menuntut kebebasan tanpa batas di bawah keadaan sekarang sama saja dengan menempatkan domba di bawah belas kasihan singa. Di sisi lain, Islam juga melarang tindakan ‘pemaksaan’ dalam menerapkan/mengamalkan hukumnya. Sebagaiman difirmankan dalam Alquran Q.S Al-Baqarah: 257, “Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh jalan yang benar itu nyata bedanya dengan kesesatan.”
Baca juga: Menyikapi Perintah Hijab dengan Damai
Hal itu juga bertentangan dengan teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu menerapakan cara-cara yang damai dan adil dalam situasi apa pun. Teladan beliau dalam hal perdamaian dan pengampunan tidak ada bandingannya.
Contoh utamanya adalah ketika Rasulullah dan umat Islam memasuki Mekkah dengan sepuluh ribu tentara yang kuat. Di situasi seperti itu, yaitu ketika Islam di posisi yang kuat, mereka tidak memaksakan Islam kepada orang-orang Mekkah dan juga tidak menghukum orang-orang karena tidak mau masuk Islam, walaupun hal itu sangat mudah bagi mereka untuk melakukannya. Sebaliknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membiarkan mereka semua untuk tetap menjalankan keyakinan lama mereka.
Jadi, dari contoh ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meletakkan pesan perdamaian Islam yang hakiki. Dengan jelas Al-Qur’an memerintahkan bahwa setiap Muslim harus menyebarkan pesan Islam dengan cara terbaik, yaitu dengan hujjah dan hikmah, dan tidak ada ruang untuk menggunakan kekuatan ataupun kekerasan.
“Panggillah kepada jalan Tuhan engkau dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-Nya; dan Dia Maha Mengetahui siapa yang telah mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl /16: 126).
Selanjutnya menurut Al-Qur’an, misi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanyalah menyampaikan pesan-pesan Islam, tetapi setelah itu terserah kepada orang-orang untuk menerima atau menolaknya, dan pilihan mereka itu tanpa adanya paksaan atau ancaman hukuman, karena mereka akan bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada manusia.
Dengan menerapkan standar kesopanan yang tinggi, Islam menciptakan lingkungan yang sama-sama aman bagi pria dan wanita. Hadhrat Masih Mau’ud as menguraikan instruksi ini dalam Filsafat Ajaran Islam, “Kami telah diperintahkan untuk tidak melihat kecantikan mereka, apakah dengan niat murni atau sebaliknya …’
Perintah tersebut bermakna bahwa hukum menahan diri/hawa nafsu telah diberikan baik bagi laki-laki dan perempuan. Pemakaian jilbab dengan menutup aurat perempuan dan menundukkan pandangan bagi laki-laki terhadap wanita yang bukan muhrim telah jelas menjadikan keduanya, laki-laki dan perempuan, untuk setara dalam menahan hawa nafsunya.
Dengan segala cara, ambillah hal-hal yang baik dalam masyarakat, tetapi jangan pernah lupa bahwa cahaya penuntun sejati kita adalah, dan akan selalu, Al-Qur’an. Panutan sejati kita adalah Nabi Suci Muhammad saw.
Daripada mengikuti keglamoran dunia yang dangkal, atau terpengaruh oleh tren modern yang datang dan pergi, kita harus mengikuti dan mengindahkan ajaran Al-Qur’an yang abadi dan tak lekang oleh waktu. Mereka harus memahami bahwa Allah telah memberikan mereka kesetaraan sejati berdasarkan logika dan kebijaksanaan.
Penulis: Maridah Rahmahesti