Oleh: Mln. Muhammad Ali
Dalam ceramah-ceramah, sering kita dengar nasihat-nasihat yang menyeru kita kepada ibadah. Sejak dari kecil, dewasa hingga seseorang lanjut usia, nasihat-nasihat itu terus didengungkan, baik itu ibadah yang hubungannya terkait langsung dengan Allah Swt., atau ibadah yang bersinggungan dengan sesama hamba, semuanya terdengar sampai ke telinga, bahkan berulang-ulang rasanya. Dan demikianlah seterusnya.
Ya, berbicara tentang ibadah, tentu cakupannya sangat luas. Tidak cukup hanya dua tiga hari atau dua tiga tahun kita bisa langsung memahami permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan ibadah, dan kalaupun kita memahami dua tiga permasalahan, kadangkala justru terkendala dalam penerapan atau pengamalannya.
Ibadah ini adalah terkait pembelajaran dan pengamalan apa yang tercantum dalam Al-Quran dan apa yang tergambar dalam sunnah Nabi Muhammad saw., yang dilakukan sepanjang masa kehidupan kita, karena memang untuk itulah, yakni untuk ibadah, kita diciptakan Allah Swt. ke dunia. Terkait hal ini Allah Swt. berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Az-Zariyat 51 : 56)
Dalam ayat ini tegas Allah Swt. menyatakan bahwa kita diciptakan dengan mengemban satu tujuan, yakni menjadi hamba Allah dan senantiasa beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, dalam setiap kondisi di kehidupan kita, hendaknya setiap amalan kita selalu kita selaraskan dengan apa yang dikehendaki Allah Swt. dan Rasul-Nya saw.
Secara umum, kita bisa pahami bahwa ibadah yang kita lakukan terdiri dari dua cakupan besar, yakni terkait amalan-amalan sebagai bentuk pemenuhan terhadap hak-hak Allah Swt. (huqullah), dan yang kedua adalah terkait pemenuhan hak-hak sesama hamba (huququl-‘ibad).
Kedua hal ini seibarat dua kaki kita, hendaknya seiring sejalan, dua-duanya melangkah, tidak bisa terpisahkan jika kita ingin maju dan sampai tujuan. Artinya, tidak bisa kita hanya memenuhi satu bagian dan mengabaikan bagian lainnya.
Misalkan, ibadah shalat adalah salah satu bentuk dari huququllah, dan berbuat baik kepada orang lain dengan cara sedekah harta itu merupakan bentuk huququl-‘ibad. Kedua hal ini hendaknya kita tunaikan dengan sebaik-baiknya.
Tidak bisa kita hanya fokus saja terhadap ibadah shalat, namun dalam kehidupan sehari-hari kita abai dan tidak peduli terhadap sesama. Pun demikian, tidak bisa kita hanya fokus terhadap berbuat baik kepada sesama, namun lalai dan tidak peduli terhadap shalat-shalat kita kepada Allah Ta’ala.
Contoh lain amalan ibadah yang terkait pemenuhan hak Allah Swt. adalah membaca Al-Quran. Amalan ini erat kaitannya dengan upaya kita menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala, karena itu artinya kita sedang berusaha menghargai setiap firman Allah, berusaha memahami setiap khazanah yang terkandung di dalamnya, yang tentunya jika kita amalkan setiap perintah-Nya itu maka bisa mengantarkan kita kepada kedekatan dengan Allah Swt.
Lalu, dalam kaitannya memenuhi hak sesama hamba adalah misalkan menjenguk dan mendoakan saudara, sahabat, atau tetangga yang sedang sakit. Kedua hal ini, yakni membaca Al-Quran dan memberi perhatian terhadap sesama yang sedang dalam kondisi sakit, hendaknya kita amalkan dengan sebaik-baiknya.
Keliru jika ada seorang muslim, rajin dalam membaca Al-Quran, rutin dalam mengkaji khazanah ayat-ayatnya, namun dalam kesehariannya ia memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap sesama dan enggan untuk mengkhidmati orang yang sedang dalam kesulitan. Juga adalah tidak tepat, jika di antara kita memperlihatkan kepedulian kepada orang lain namun tidak menaruh kecintaan terhadap Al-Quran, abai terhadap membaca dan memahami apa yang terkandung di dalamnya.
Tentu masih banyak lagi amalan-amalan lain yang bisa menjadi ladang ibadah bagi kita. Dan amalan-amalan tadi, barulah bisa menjadi nilai ibadah bagi kita ketika kita awali dan dasari amalan itu dengan niat untuk meraih ridho Allah Swt. semata. Terkait hal ini Allah Swt. berfirman :
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-An’am 6 : 162)
Jadi, dalam ayat tersebut menegaskan bahwa amalan kebaikan apapun yang kita lakukan, baik itu pengorbanan-pengorbanan kita, seluruh sisi kehidupan kita, dan bahkan mati kita, dasar niatannya hendaknya adalah untuk Allah Ta’ala saja, untuk meraih ridho dan kasih sayang-Nya. Barulah tentu semua hal itu menjadi nilai ibadah bagi kita.
Seseorang yang mendirikan shalat, dasar niatannya hendaknya adalah untuk meraih ridho Allah semata, dan juga agar Allah senang terhadapnya. Dan sebaliknya, jika ternyata shalat-shalat yang dilakukan tidak didasari keikhlasan demi hanya untuk Allah, bahkan justru niatannya adalah agar ingin dilihat oleh orang lain, dan bahkan terselip rasa kesombongan di dalam dirinya, maka tentu ia akan menjadi orang yang merugi, akibatnya bukan saja membawanya kepada ketidak-beruntungan, justru yang didapatkan adalah kecelakaan.
Seseorang yang berbuat kebaikan kepada sesama, atau memberi bantuan kepada yang membutuhkan, ini pun hendaknya didasari oleh niat agar bisa meraih ridho Allah semata. Bisikan-bisikan hati yang mengarahkan kita kepada unsur ria dan takabbur, atau bahkan pamrih, hendaknya kita coba bersihkan dalam diri kita.
Jika niatan kita ikhlas untuk Allah semata, sekecil apapun perbuatan baik kita kepada orang lain, terlepas apakah orang lain itu mengetahuinya atau tidak, maka pasti akan bernilai ibadah bagi kita, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan baik yang kita lakukan.
Sebaliknya, sebesar apapun perbuatan kita untuk orang lain, namun jika ada terselip kesombongan, dan bahkan ketika orang yang diberikan kebaikan oleh kita tadi suatu waktu mengecewakan kita, lalu kita mulai menyebut-nyebut amal baik kita sebelumnya sambil menyakit hati dan perasaanya, itu artinya tiada ketulusan dalam niat dan amal kita. Hal ini tak ubahnya seibarat tanah yang kita letakkan di atas batu licin, lalu hujan lebat menimpanya, maka tidak ada lagi tersisa sesuatu di atasnya.
Maka oleh karena itu, disinilah letak pentingnya lurus niat dalam setiap amalan kita. Rasulullah saw. pernah bersabda: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhari)
Amalan kita akan dinilai oleh Allah Ta’ala sesuai dengan niatnya. Dan bagi Allah tidak ada yang tersembunyi dalam pandangan-Nya. Sebesar apapun perbuatan baik kita kepada orang lain, namun terlihat oleh-Nya bahwa di dalamnya terselip niatan bukan untuk Allah Ta’ala, ada ria dan sombong dalam dirinya, meskipun orang lain menganggap hal tersebut luar biasa, maka tetap saja Allah pasti mengetahuinya.
Namun, jika seseorang bersedekah dengan memberi walau seribu dua ribu rupiah saja, di dalam hatinya ikhlas agar Allah Ta’ala ridho atau senang terhadapnya, tidak peduli apakah orang memberi pujian terhadapnya atau tidak, maka itu jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang berjuta-juta rupiah bersedekah namun niatnya hanya untuk pamer semata.
Jadi, amalan-amalan kita, apakah itu terkait pemenuhan hak-hak Allah Ta’ala maupun terkait pemenuhan hak-hak sesama hamba, perlu kita dasari dengan niat agar Allah ridho kepada kita. Memang, kita pun diperintahkan oleh Allah untuk memohon dan berdoa kepada-Nya dengan berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, Aku pasti kabulkan untuk kamu,” artinya kita dipersilakan oleh Allah untuk memohon sesuatu yang kita perlukan.
Namun, tentu kita juga hendaknya perlu mendasari setiap permohonan kita dengan niat agar Allah ridho kepada kita. Artinya, apapun keputusan yang nantinya Allah berikan kepada kita, apakah sesuai dengan apa yang kita mohonkan atau justru sebaliknya, tentu dengan ikhlas hendaknya kita menerimanya.
Misalkan, si fulan sehari-harinya rajin dalam mendirikan shalat dan berdoa. Fardhu dan nafalnya ia kerjakan, dan bahkan tilawat Al-Quran pun rutin dilakukan. Tidak lupa, sedekah-sedekah ia keluarkan sesuai kemampuannya bagi orang-orang yang membutuhkan.
Suatu ketika ia melihat ada orang lain yang bersedekah, katakanlah sahabatnya, padahal sudah lama jarang memberi dan sedekah kepada sesama. Lalu tidak berapa lama sahabatnya ini memperoleh kemajuan-kemajuan dalam usahanya.
Si fulan tadi akhirnya menggerutu dalam hatinya, “Kenapa saya kok tidak maju-maju ya dalam usaha, padahal tidak kurang apa saya ini, saya shalat rajin, tilawat quran rutin, dan bahkan selalu bersedekah juga. Tapi sahabat saya, sekali saja dia sedekah, usahanya langsung maju.”
Kondisi di atas adalah gambaran saja, namun perlu juga untuk kita renungkan, boleh jadi kita menemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Peristiwa ini memperlihatkan kepada kita bahwa secara sekilas, ada semacam ketidak tulusan dalam ibadah yang dilakukan, ada ketidak lurusan dalam niat yang mendasarinya.
Jika kita tulus ibadah dan lurus dalam niat, apapun kondisi yang kita hadapi, tentu dengan lapang dada kita akan menerimanya. Jika pun kita hendak memohon kepada Allah, maka memohonlah dengan tidak menyinggung ibadah yang sudah kita tunaikan.
Memohonlah agar Allah memberikan pertolongan di setiap langkah usaha kita, memohonlah dengan merendahkan diri sepenuhnya kepada-Nya, memohonlah dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, dan tetaplah ikhlas dalam menerima apapun keputusan yang diberikan oleh-Nya.
Jika apa yang kita mohonkan tidak terpenuhi, maka tentu Allah sangat mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Hendaknya kita tidak putus asa terhadap Allah Swt. karena tidak ada yang sia-sia dari setiap amal ibadah yang dilakukan untuk-Nya.
Inilah tugas kita bersama sebagai seorang muslim, yakni memenuhi hakikat tujuan kita diciptakan oleh-Nya, yaitu beribadah dan senantiasa menjadi hamba Allah Swt. Ya, menunaikan hal ini tidaklah mudah, penuh dengan ujian, penuh rintangan dan cobaan, banyak duri-duri tajam yang selalunya ada di kiri dan kanan kita, di depan dan di belakang kita, serta di sekeliling kita.
Kadang, atau mungkin bahkan sering kita terjatuh dalam lubang kemunduran, karena memang sifat manusia adalah penuh dengan kelemahan, namun tentu hendaknya tidak menyurutkan kita untuk bangkit, maju dan kembali teguh melangkah menuju Allah Ta’ala.
Selain itu, meluruskan niat dalam setiap amal ibadah kita, tulus ikhlas dalam melakukannya hanya untuk meraih ridho Allah Swt. semata, sangat penting untuk selalu kita tunaikan. Istighfar dan kembali taubat kepada-Nya, merupakan cara kita agar Allah membawa dan membimbing kita dengan Rahman dan Rahim-Nya kepada tujuan akhir kita.
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan karunia kepada kita untuk bisa memahami dan mengamalkan hal ini dalam kehidupan kita. Aamiin.