Oleh : Bapak Ruskandi Anggawiria
Catatan sejarah ini seperti sebuah takdir, yang hubungan satu dengan yang lainnya bukanlah kejadian yang tanpa rencana, yakni berawal dari perintah Allah SWT kepada Hz. Mirza Ghulam Ahmad untuk mendirikan sebuah jemaat di daratan India, dengan bermunculannya negara-negara di Asia dan Afrika sebagai negara merdeka.
Khusus dalam kaitan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dua puluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Khalifah ke dua Jemaat Ahmadiyah, pada tahun 1925 mengutus seorang da’i menuju tanah Sumatera. Dari sanalah bermula perkembangan Ahmadiyah di Indonesia melalui tangan utusan bernama Mln. Rahmat Ali H.A.OT.
Bagi umat Muslim Ahmadiyah, Presiden Sukarno adalah teman baik. Ketika Sukarno menjadi tahanan politik di Indonesia selama Perang Dunia II, teman satu selnya adalah misionaris Ahmadiyah bernama Imam Ahmad Nurudin.
Setelah Perang Dunia II berakhir dan keduanya dibebaskan, persahabatan yang sehat di antara keduanya membantu memperkuat Indonesia di dalam negeri dan secara internasional dengan India dan Pakistan. Bertahun-tahun kemudian, Sukarno menulis, “Kepada Ahmadiyah saya akan bersyukur, ada buku-buku dari Ahmadiyah dari mana saya mendapat banyak manfaat.”
Di bawah kepemimpinan Sukarno, Indonesia dan warga negaranya makmur, termasuk mereka yang bergabung dengan Komunitas Muslim Ahmadiyah. Demikian juga, Muslim Ahmadiyah selalu berterima kasih kepada negara Indonesia dan rakyatnya, sumber : mata-mata politik.
Tak banyak yang tahu, hubungan Bung Karno dengan Mln. Rahmat Ali, sebagaimana dikisahkan salah satu pemuda Ahmadiyah BK sering mendatangi Rahmat Ali. BK berguru dan berdiskusi mengenai banyak hal, baik agama, politik maupun budaya. Sekali waktu –menurut penuturan seorang Ahmadiyah- BK merencanakan mendirikan sebuah partai nasional. Dalam diskusi itu, BK meminta pendapat Maulana Rahmat Ali tentang lambang partainya yang memakai gambar Kepala Banteng, sumber : Kompasiana.
Tak kurang dari H. Agus Salim, banyak memberikan rekomendasi kepada para pejuang untuk belajar tentang Islam kepada da’i asal Pakistan ini di alamatnya di Petojo, Jakarta. Nama-nama pejuang yang kerap berdiskusi dengan Mln. Rahmat Ali di antaranya adalah Syahrir, Tan Malaka, dan Bung Karno sendiri (Suryawan,2005:187).
Hubungan erat itu berlanjut ketika Proklamasi dikumandangkan, seorang utusan Ahmadiyah lainnya, Sayyid Shah Muhammad berperan menerjemahkan naskah Proklamasi ke dalam bahasa Urdu, untuk diberitakan ke seluruh misi Ahmadiyah di seluruh dunia, atas persetujuan Khalifah Ahmadiyah saat itu, Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad.
Sang Khalifah pun memberi petunjuk kepada seluruh pengikutnya yang tersebar di berbagai negara, agar berdo’a untuk perjuangan bangsa Indonesia, termasuk perintah berpuasa Senin-Kamis seperti terekam dalam berita Surat Kabar Kedaulatan Rakjat, edisi Selasa Legi, 10/12/1946.
Dapat dikatakan sejarah hubungan para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan pendakwah dari kalangan Islam Ahmadiyah, demikian solidnya. Sebagai indikasinya, Presiden pertama itu menganugerahkan pengghargaan dari Presiden.
Karya Bakti Ahmadiyah untuk Indonesia turut pula mewarnai pasang surut perkembangan negara ini sejak awal diproklamasikan hingga saat era reformasi sekarang. Diantara karya tersebut adalah dukungan komunitas Islam Ahmadiyah dalam segi kemanusiaan, seperti Donor Darah secara reguler, dengan tagline Gerakan Donor Darah Nasional (GDDN), sumber : warta-ahmadiyah. Sejak lama pula anggota Jemaat Ahmadiyah mendaftarkan nama mereka sebagai calon donor mata yang dikoordinir oleh Bank Mata.
Khusus dalam program donor mata ini, Lembaga Musium Rekor Indonesia (MURI) mencatatkan Ahmadiyah sebagai pendonor mata terbesar, sumber : merdeka online. Secara reguler pula di setiap perwakilan Ahmadiyah di seluruh tanah air, mereka membaktikan bantuan kemanusiaan dalam hal pengobatan homeopathy, yang merupakan keahlian khusus yang banyak digeluti anggota Ahmadiyah.
Sebagaimana visi Ahmadiyah Internasional : Love for All Hatred for None, maka seluruh aktifitas anggota Islam Ahmadiyah senantiasa dipersembahkan kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk pengabdiannya kepada bangsa dan negara.
Selain dari sisi pengabdian terhadap kemanusiaan, komunitas ini juga turut aktif dalam pergaulan dengan komunitas keagamaan lainnya, dalam rangka menjalin tali silaturahmi dan membina toleransi antar umat beragama.
Misalnya di wilayah Jawa Barat, terdapat sebuah gerakan solidaritas keagamaan yang terdiri dari banyak aliran, misalnya syiah, Suni, bahkan Katholik dan Protestan serta Hindu dan Budha, yang diberi nama Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS), dan di dalamnya Ahmadiyah turut aktif melebur.