By : Mln. Harpan Aziz Ahmad, Kepulauan Seribu – DKI Jakarta.
Cinta pada negara adalah bagian dari ajaran Islam, karenanya jelas bahwa setiap Muslim harus berupaya kuat meraih loyalitas dengan standar tinggi terhadap negerinya, karena ini bermakna juga sebagai jalan menuju Tuhan untuk memperoleh kedekatan kepada-Nya.
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Atba
Istilah Khilafah dalam dunia Islam bukanlah kosakata baru. Ia sudah dikenal bahkan ketika wujudnya belum ada, yang kemudian hadir menjadi bagian integral dan melekat dalam Islam serta tercatat jelas dalam naskah-naskah sejarah. Namun patut disayangkan memang persepsi yang muncul tentang Khilafah akhir-akhir ini sangat jauh dari apa yang sebenarnya dipahami dalam Islam. Ada banyak sekali kekeliruan yang demikian mendiskriditkannya, dimana Khilafah seringnya dipersepsikan dengan gerakan radikal, pemberontakan dan atau makar.
Kita tentu tidak menutup mata bahwa ada pihak-pihak yang memang secara sengaja mendistorsi atau bahkan memanipulasi faham khilafah untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kemunculan ISIS (Islamic State of Irak and Syam) misalnya, bagaimana klaim penegakan Khilafah Islamiyah mereka itu telah memunculkan kontroversi yang demikian besar. Bagaimana pemberontakan dan teror-teror yang mereka buat dengan berbagai bentuk kebengisan yang demikian vulgar dipertontonkan semata-mata hanya untuk menunjukkan eksistensinya. Kita tentu sepakat bahwa kehadiran mereka telah benar-benar menimbulkan bencana buruk bagi dunia dan juga Islam, karena selain menyisakan traumatik yang sangat dalam atas pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan, kemunculan ISIS juga telah berhasil menstigma bahwa gerakan Khilafah dalam Islam adalah sebuah ancaman.
Selain ISIS, beberapa waktu lalu jagat nasional juga diramaikan oleh berita tentang Hizbut Tahrir Indonesia, yang mana melalui KepRes pemerintah telah membubarkan dan menetapkannya sebagai organisasi terlarang. Talak tiga dari pemerintah tersebut didasari oleh pergerakan HTI yang cukup masif dalam mempropagandakan system khilafah versinya, sebagai rival bagi system pemerintahan yang sah negeri ini, yakni Pancasila. Banyak upaya mereka tempuh, berupa rongrongan-rongrongan, membangun berbagai narasi untuk melemahkan sistem pemerintahan yang berlaku dan mengikis sendi-sendi kehidupan berbangsa kita.
Fenomena-fenomena tersebut menjadi momok yang kemudian mengaburkan terma Khilafah Islam yang sebenarnya. Orang menjadi sinis bahkan phobia terhadap khilafah dalam segala bentuk. Tak sedikit orang yang beranggapan bahwa Khilafah itu musuh negara, khilafah itu musuh kebangsaan dan khilafah adalah sebuah ancaman. Bahkan karena traumatik yang sangat dalam tadi, sampai ada upaya dari internal Muslim sendiri yang seakan-akan mencoba mengeleminir khilafah dari Islam, bahwa seolah-olah ajaran Khilafah itu tidak bersumber dari Islam.
Dengan ragam pandangan dan persepsi negative tentang khilafah tadi, maka tema Khilafah Rohani Ahmadiyah dan NKRI yang sedang anda simak ini adalah upaya untuk menyuarakan Khilafah Haqqah Islamiyah dalam perspektif Ahmadiyah yang sama sekali berbeda dari persepsi public pada umumnya.
Kontrversi Khilafah Dalam Islam
Spirit perjuangan menegakan Khilafah pada umumnya bermuara pada sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Hadhrat Huzaifah ra bahwa:
“Kenabian akan tinggal beserta kalian selama Allah menghendaki, kemudian khilafat yang mengikuti kenabian akan ada beserta kalian selama Allah menghendaki, sesudah itu kerajaan akan bermula dan akan berlanjut selama Allah menghendaki, lalu kerajaan yang zalim akan berlaku dan akan berlanjut selama Allah menghendaki. Sesudah itu akan ada khilafat yang mengikuti kenabian. Kemudian Rasulullah saw berdiam diri”.[1]
Sejarah Islam yang sahih telah membuktikan kandungan dari hadits tersebut, sepenuhnya. Pertama, adalah tegaknya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah setelah mangkatnya Rasulullah saw. Dimulai dengan terpilihnya Hz. Abu Bakar ra, Hz. Umar Bin Khattab, Hz. Utsman Bin Affan, dan berakhir pada kekhalifahan Hadhrat Ali Bin Abi Thalib ra. mana masa-masa itu dikenal sebagai masa Khulafaur-Rasyidiin. Periode berikutnya adalah “mulkan ‘adhon dan mulkan jabariyah”, semua priode ini tergambar dengan tegaknya dinasti-dinasti dalam Islam mulai dari Ummayyah – Abbasiyyah – Fatimiyah – dan seterusnya sampai Turki Utsmani. Selepas itu sesuai dengan nubuwatannya akan kembali tegak Khilafatan ‘alaa minhajin nubuwah, atau khilafah yang mengikuti kenabian. Para ulama terdahulu mentasrih bahwa periode khilafah ‘ala minhaajin nubuwah tsaniyah ini akan terjadi pada masa Isa dan Imam Mahdi sebagaimana tertera dalam kitab Misykat, dikatakan Azhoohiru annal murooda bihi zamanu ‘iisaa wal mahdii.
Sebagian besar kaum Muslim meyakini hadits Nabi SAW tentang Khilafah ini, namun mahrum dan kehilangan arah dalam mengidentifikasi model khilafah seperti apa yang akan tegak itu. Karena selalunya wacana yang muncul tentang Khilafah saat ini adalah jenis khilafah yang bertumpu pada satu sudut pandang saja, yakni politik. Menguasai teritorial tertentu, dengan pemerintahan yang independent sebagai rival dari system pemerintahan modern. Dengan konsep kekhalifahan demikian, maka tak heran jika kemudian buah dari pergerakannya adalah konflik, makar, permusuhan bahkan perang. Karena konsep khilafah seperti itu tidak mungkin dapat berdiri pada saat ini kecuali dengan jalan membuat makar atau melakukan pemberontakan, perebutan atas kekuasaan yang sudah ada. Padahal secara jelas Nabi Akram Muhammad saw menyatakan bahwa khilafah yang akan tegak itu adalah “Khilafatan ‘alaa minhajin nubuwah” yakni khilafah yang mengikuti kenabian.
Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi’il madhi ‘khalafa’, berarti; menggantikan atau menempati tempatnya.[2] Dalam Al-Mu’jam al-Wasith; I/251, dikatakan bahwa Khilafah adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan setelahnya. Oleh karenanya ketika Rasulullah saw bersabda, “Takuunu khilafatan ‘alaa minhajin nubuwah” maka sepatutnya difahami bahwa Khilafah atau pengganti yang akan datang itu adalah individu atau lembaga yang akan meneruskan perjuangan kenabian, yakni visi-misinya dan orientasi pergerakannya itu didasari pada ajaran-ajaran kenabian yang erat kaitannya dengan perkara-perkara keruhanian (spiritualitas). Maka seperti juga kenabian, dakwah atau penyebarannya bisa berjalan dan berkembang tanpa harus menunggangi pemerintahan atau mendirikan sebuah negara.
Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 20 memberikan penggambaran yang baik tentang perbedaan antara fungsi ‘kenabian’ dan ‘mulkan’ atau pemerintahan.
وَاِ ذْ قَا لَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ جَعَلَ فِيْكُمْ اَنْۢـبِيَآءَ وَجَعَلَـكُمْ مُّلُوْكًا ۖ
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia menjadikan di antaramu Nabi-nabi dan menjadikan kamu raja-raja…”
Kita tahu bahwa banyak sudah nabi diutus kepada Bani Israil, dan banyak juga raja-raja lahir dari bangsa tersebut. Tapi apakah setiap nabi yang diutus kepada Bani Israil dianugerahi nikmat kerajaan atau menjadi kepala negara? Atau apakah setiap raja-raja mereka adalah juga seorang nabi? Kan tidak. Seorang nabi memiliki tanggungjawab untuk membimbing dan meningkatkan kerohanian manusia, sedangkan tanggungjawab seorang raja atau kepala pemerintahan adalah melindungi dan mensejahterakan bangsanya.
Artinya bahwa ada dua tugas atau fungsi yang berbeda dari dua nikmat Tuhan tersebut, dan adalah kebijaksanaan atas kekuasaan-Nya kapan nikmat-nikmat itu Dia bebankan dalam satu tanggungjawab atau secara terpisah. Untuk itu, maka sama dengan kenabian, tegaknya khilafah tak selalu harus dengan menggenggam suatu pemerintahan atau negara tertentu.
Kembali kepada sabda Rasulullah saw di awal bahwa kekhalifahan yang dinubuwatkan kehadirannya pada masa ini adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwah atau khilafah yang mengikuti kenabian, yakni kehadirannya itu ditandai dengan ‘dibangkitkannya seorang nabi’ yaitu Al-Masih dan Al-Mahdi.
Khilafah Rohani Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Khilafah ‘alaa minhajin nubuwah yang dinubuwatkan oleh Rasulullah saw itu telah tegak dalam wujud Khilafah Ahmadiyah. Dengan jalan diutusnya Al-Masih dan Al-Mahdi yang tidak lain adalah Pendiri Jemaat Ahmadiyah, yakni Hz. Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian[3].
Sebelum kewafatannya Hz. Mirza Ghulam Ahmad menyampaikan kabar suka tentang akan hadirnya Qudrat Kedua[4] yaitu Khilafah. Maka setelah kewafatannya pada tahun 1908, sejumlah besar pengikut berkumpul dan dengan suara bulat memilih khalifah pertama, yakni Al-Hajj Hakim Nuruddin ra. Dan sejak saat itu, empat khalifah lainnya kini telah terpilih.
Ahmadiyah berdiri sejak tahun 1889 di India. Dan kini telah tersebar ke lebih dari 200 negara, dengan pengikut melebihi puluhan juta jiwa. Sebagai salah satu firqah dalam Islam, Ahmadiyah mendukung pemisahan Agama dan Negara. Lebih dari satu abad lalu, pendiri Jemaat Ahmadiyah mengajarkan pengikutnya untuk melindungi kesucian Agama dan Pemerintah, dengan cara menjadi jiwa-jiwa yang shaleh dan warga negara yang setia. Fokus Jemaat ini adalah semata-mata pada pelayanan kerohanian, menyeru manusia untuk mengenal Tuhan, menyampaikan Tabligh Islam serta kemuliaan pendirinya, Baginda kita Nabi Muhammad saw.
Sejak awal, Khilafah Ahmadiyah telah dengan tegas menolak kekerasan atas nama agama, pemberontakan, membuat onar, huru-hara atau teror dalam segala bentuk. Sebaliknya dengan spirit perjuangan; “Love for all hatred for none” Jemaat ini menablighkan ajaran Islam yang toleran dan cinta damai. Jemaat ini tidak pernah berupaya menaklukkan teritorial tertentu, akan tetapi pengaruhnya yang sudah terbangun atas hati dan pikiran jutaan orang diarahkan semata-mata sebagai kekuatan untuk kebaikan di dunia. Dengan takdir demikianlah, Jemaat ini terus berkembang dan tersebar ke berbagai belahan dunia dan diterima oleh berbagai lapisan golongan dan masyarakat.
Khilafah Ahmadiyah Dan Nkri; Bukti Keberkatan Bukan Ancaman
Termasuk disini, di negeri kita tercinta. Jemaat Ahmadiyah masuk di Indonesia sejak tahun 1925, dimana ketika itu negeri ini masih berada di bawah kekuasaan colonial Belanda.
Sejak kehadirannya di bumi Nusantara, banyak peran yang telah diambil oleh Jemaat Ahmadiyah beserta khalifahnya bahkan sedari bangsa yang besar ini masih berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya. Harian Al-Fadhl edisi 10, Desember 1946 mendokumentasikan seruan dari Khalifah Ahmadiyah saat itu, yakni Hz. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dalam seruannya itu, Beliau sampaikan: “Jika bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan 100% tentu hal ini akan berfaedah besar bagi dunia Islam. Untuk hal itu, ada baiknya jika negara-negara Islam pada masa ini dengan serentak memperdengarkan suaranya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia serta meminta supaya negara-negara lain juga mengakuinya.
Selain itu saya berharap supaya seluruh mubaligh Ahmadiyah yang kini ada di India dan di luar India seperti Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Kanada, Amerika Selatan dan lainnya mendengungkan serta menulis dalam surat-surat kabar, harian dan majalah-majalah yang mereka keluarkan. Karangan-karangan yang berhubungan dengan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya meminta kepada negara-negara Islam untuk membantu bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya.
Perihal kemerdekaan Indonesia harus tiap-tiap waktu didengung-dengungkan supaya negara-negara di dunia memperhatikan hal itu. Sudah menjadi haknya bangsa Indonesia untuk merdeka di masa ini. Bangsa ini adalah bangsa yang maju memiliki peradaban yang tinggi serta mempunyai pemimpin-pemimpin yang bijaksana. Mereka adalah suatu bangsa besar dan bersatu. Bangsa belanda yang jumlahnya begitu kecil sekali-kali tidak berhak untuk memerintahnya.’
Selain itu, beliau juga menganjurkan kepada setiap anggota Jemaat Ahmadiyah diseluruh dunia untuk melakukan puasa nafal selama bulan September sampai dengan Oktober tahun 1946 dan berdo’a kepada Allah SWT agar menolong bangsa Indonesia dalam perjuangan, memberi semangat hidup untuk tetap bersatu-padu dalam meraih cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Atas seruan itu, banyak peran yang dimainkan oleh para Ahmadi di Indonesia. Majalah Sinar Islam, Januari 1976, mendokementasikan kisah perjuangan para Ahmadi dari catatan harian Mlv. Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani.[5]
Disebutkan bahwa sehubungan dengan diterimanya perintah dari Khalifatul Ahmadiyah pada waktu itu, maka beberapa anggota Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang menetap di Jogyakarta, seperti Bapak R. Hidayat dan Bapak Ahmad Sarido serta Bapak-bapak Ahmadi dari Jawa Barat, antara lain Bapak Harmaen, Bapak Dahnan Mansur, Bapak Karnaen dan lain-lain. Setelah mengadakan perundingan, mereka mengambil prakarsa untuk mengadakan konperensi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di daerah RI bertempat di Jogyakarta.
Konperensi memikirkan langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh Ahmadiyah pada waktu itu supaya membantu perjuangan Republik Indonesia, yang pada waktu itu belum mendapat pengakuan dari luar. Tanah air Indonesia masih dipersengketakan dengan Belanda. Badan itulah yang menjadi wadah bagi Jemaat untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di antara peran yang telah diambil oleh Ahmadiyah dikisahkan; Atas prakarsa Dewan Keamanan PBB, di masa itu dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa Konsul Jendral negara-negara asing yang berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggota komisi itu seringkali mondar-mandir ke Jogyakarta. Pada suatu ketika Konsul Jendral Tiongkok yang namanya Mr. Chiang, sebagai anggota komisi tersebut mengunjungi Jogyakarta. Untuk menghormati kedatangan Konsul Jendral itu, di Presidenan diadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh para Menteri Kabinet, pembesar-pembesar militer maupun sipil dan para terkemuka.
Dalam pertemuan itu Mr. Chiang berpidato dengan bersemangat dan dengan nada sombong. Ia sangat mencela dan menghantam bangsa Indonesia atas kejadian-kejadian di Tangerang, Tegal, Malang dan lain-lain tempat di mana banyak penduduk China jadi korban. Setelah ia selesai berpidato, maka hadirin diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan. Karena tiada seorang pun yang tampil ke muka dan memang keadaan tak mengizinkan dan kurang tepat untuk orang-orang Indonesia, maka Mlv. Sayyid Shah Muhammad memberanikan diri untuk menyambut pidato Mr. Chiang itu. Kurang lebih setengah jam lamanya pidato dari Mr. Chiang itu beliau kupas.
Selesai memberikan sambutan, beliau diserbu oleh para pemimpin bangsa Indonesia seperti almarhum Bapak Panglima Besar Jendral Sudirman, Sri Sultan Hamengkubowono IX, Dr. Sukirman, Mr. Sujarwo Condronegoro, H. Tabrani, Bung Tomo dan lain-lain. Mereka semua mengucapkan selamat dan terima kasih serta memeluknya. Pidato sambutan dari Mlv. Sayyid Shah Muhammad itu dianggap mereka sebagai pembelaan di forum Internasional, uraian beliau itu disiarkan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggeris, Perancis, Tionghoa, Arab, Urdu dan bahasa Indonesia oleh IBC (Indonesian Broadcasting Corporation) dan harian-harian yang terbit di Jogyakarta.
Mlv. Sayyid Shah Muhammad juga mengisahkan bahwa; bulan Oktober 1948, dirinya mendapat instruksi untuk membawa satu koper penuh uang Belanda dari pihak pemerintah pusat RI ke Jakarta untuk membantu perjuangan kaum Republik di Jakarta dan di antaranya untuk membiayai “Sari Pers” yang ada di bawah pimpinan Sastro Suwignyo di jalan Guntur. Untuk menyelundupkan uang itu beliau harus menempuh jalan-jalan yang berbahaya.
Setelah resolusi Dewan Keamanan mengenai perundingan RI – Belanda, di Jogyakarta terbentuk Panitia Pemulihan Pemerinah RI Pusat, yang diketuai oleh Bapak Ki Hajar Dewantara dan beliau sendiri pun menjadi anggota dalam panitia tersebut.
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik Indonesia, Bung Karno harus pindah lagi dari Jogyakarta ke Jakarta. Mlv. Sayyid Shah Muhammad mendapat kehormatan terpilih dalam rombongan 12 orang pengantar Presiden Soekarno ke Jakarta dengan plane pertama “Garuda”, di mana beliau satu-satunya orang yang bukan warga-negara RI. Di antara ke-12 orang itu terdapat antara lain Ki Hajar Dewantara, Mr. Susanto Tirtoprojo, Sri Paku Alam, Raden Mas Haryoto dan lain-lain.
Selain Mlv. Sayyid Shah Muhammad, ada juga Bapak R. Mohammad Muhyidin, Ketua Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu yang juga pegawai tinggi RI, beliau aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. Pada waktu akan diadakan perayaan Ulang Tahun RI pertama di Jakarta, beliau diangkat sebagai Sekretaris Panitia. Bahkan beliau sendiri pada hari perayaan kemerdekaan RI pertama akan memimpin barisan pawai dengan memegang bendera Sang Merah Putih di muka barisan. Akan tetapi delapan hari sebelum HUT RI yang pertama, beliau telah diculik oleh Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Menurut keterangan Bapak Suwiryo dan Yusuf Yahya (mantan Walikota dan Wakil Walikota Jakarta), beliau telah dibawa oleh serdadu-serdadu Belanda ke suatu tempat di Depok dan kemudian ditembak mati (disyahidkan).
Tokoh lainnya adalah Mln. Abdul Wahid HA dan Malik Aziz Ahmad Khan penyiar RRI untuk siaran bahasa Urdu yang juga aktif dalam memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke benua alit India.
Selain nama-nama tadi, banyak lagi anggota Jemaat Ahmadiyah yang tidak kalah patriotiknya, mereka ikut aktif bersama rekan-rekan sebangsanya memasukkan diri dalam kancah perjuangan, baik secara langsung mengangkat senjata sebagai anggota BKR-TKR, ataupun lasykar-lasykar rakyat seperti TRIP dan dalam badan-badan perjuangan lainnya seperti “KOWANI”, KNI dan sebagainya. Bahkan ketika RI memerlukan pinjaman uang dari rakyat, maka anggota Jemaat Ahmadiyah dengan spontan turut serta memberikan dengan segenap kemampuan yang ada. Tidak sedikit jumlah uang yang diberikan oleh Jemaat Ahmadiyah saat itu.
Fakta sejarah ini, memberikan gambaran jelas tentang peran Ahmadiyah yang cukup besar dalam perjuangan meraih Kemerdekaan Bangsa ini, sebuah perjuangan yang lahir dari semangat cinta tanah air dan keimanan serta ketaatan kepada Khalifahnya, yang sedari awal memang telah digariskan menjadi bagian dari keberadaan Jamaah ini.
Dalam Lujjatun-Nur, hal. 3-4, ada sebuah Ilham yang diterima oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. Yang diantara bagiannya berbunyi ;
وَأُعْطِي لَكَ بَرَكَاتٍ حَتَّى يَتَبَرَّكُ الْمُلُوكُ بِثِيَابِكَ
“Dan diberikan berkat-berkat kepadamu sehingga para raja akan mengambil berkat dari pakaian-pakaian engkau.”
Jika kita gunakan ilham ini sebagai sudut pandang untuk mencermati korelasi antara himbauan yang tulus dari Khalifah Ahmadiyah dan perjuangan yang penuh kesungguhan dari para Ahmadi di masa awal, maka kemerdekaan Bangsa Indonesia juga bisa dimaknai sebagai hadiah atau berkah dari Khilafah Ahmadiyah.
Relasi yang terjalin antara Ahmadiyah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini bukanlah sebuah hubungan yang bertepuk sebelah tangan, karena selain fakta sejarah tadi ada juga fakta hukum berupa ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA. 5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953 tentang pengesahan Jemaat Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan.
Ketetapan tersebut merupakan pengakuan legal dari pemerintah terhadap eksistensi Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia, dan sekaligus menjadi bukti bahwa konsep khilafah yang diusung oleh Ahmadiyah adalah khilafah yang ramah lingkungan, sebuah konsep khilafah yang sama sekali bertolak belakang dengan kosep-konsep khilafah pada umumnya sebagaimana yang diusung oleh HTI, apalagi ISIS. Alih-alih sebagai ancaman, Khilafah Ahmadiyah adalah berkah dan rahmat untuk sekalian alam.
Komitmen Dalam Kehidupan Berbangsa
Tentang komitmen dalam kehidupan berbangsa, Ahmadiyah memiliki sikap yang jelas sebagaimana Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifah Ahmadiyah saat ini pernah sampaikan bahwa :
‘Prinsip mendasar Islam adalah, kalimat yang diucapkan seseorang tetapi tidak pernah diamalkan, maka ia memiliki standar ganda atau kemunafikan. Kesetiaan sejati memerlukan bentuk hubungan atas dasar ketulusan dan integritas. Hal ini menuntut apa yang seseorang tampilkan pada permukaan harus sama dengan apa yang ada di dalamnya. Dalam istilah kebangsaan, prinsip-prinsip ini sangat penting. Karenanya sangat mendasar bagi setiap warga negara untuk membangun hubungan dengan kesetiaan sejati dan keyakinan murni kepada bangsanya.’[6]
Akhir-akhir ini banyak orang atau kelompok mengklaim cinta tanah air, setia pada negara, cinta bangsa dan sebagainya. Namun pada zahirnya apa yang mereka lakukan, atau aksi-aksi yang mereka jalankan malah menunjukan kebalikannya. Mereka melawan undang-undang, membuat kerusakan dalam orasi atau tuntutannya, menghujat atau mengancam pemerintah ketika kebijakan-kebijakannya tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Ahmadiyah sama sekali terbebas dari itikad-itikad dan sikap demikian.
Sebagai Muslim, Ahmadiyah memaknai ‘kesetiaan’ sebagai pemenuhan janji dan pembatasan pada tiap tingkat dan dalam semua keadaan, terlepas dari kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi. Oleh karenanya, dalam kondisi seperti sekarangpun, dimana adanya ketimpangan hak yang dirasakan oleh Ahmadiyah, adanya aturan-aturan, perda-perda yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah, namun bakti Ahmadiyah pada bangsa ini, pada negara ini dan juga masyarakatnya tidak pernah surut atau berkurang.
Di bawah bimbingan Khilafah, Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki lembaga dan program-program sosial-kemanusiaan dan kemasyarakatan. Seperti Humanity First yang bergerak dalam bidang kesehatan dan pendidikan, juga membantu dalam penanggulangan bencana. Di masa pendemi seperti sekarang ini, organisasi sayap Ahmadiyah ini telah banyak mengambil peran untuk membantu pemerintah membuat kampanye, berbagi masker, handsanitizer, APD sampai sembako. Ia juga bergerak untuk mengkoordinir para volunters untuk membantu ketersediaan stok darah di beberapa rumah sakit dan tercatat selama masa pandemi ini mereka berhasil mengumpulkan lebih dari 1000 kantong darah. Ahmadiyah juga punya Gerakan Donor Mata terbanyak baik di Indonesia maupun di dunia dengan jumlah pendonor mendekati 5.000 jiwa. Dan ada juga Clean The City, sebuah kampanye penyadaran untuk menjaga lingkungan melalui kebersihan. Semua pengkhidmatan itu bukanlah semata-mata lahir dari rasa cinta mereka pada bangsa ini, namun juga merupakan buah dari ajaran Islam yang mereka terima dari Ahmadiyah.
Khalifah Ahmadiyah saat ini, Hz. Mirza Masroor Ahmad menyampaikan ; ‘Cinta pada negara adalah bagian dari ajaran Islam, karenanya jelas bahwa setiap Muslim harus berupaya kuat meraih loyalitas dengan standar tinggi terhadap negerinya, karena ini bermakna juga sebagai jalan menuju Tuhan untuk memperoleh kedekatan kepada-Nya. Oleh karena itu, tidak mungkin kecintaan seorang Muslim sejati kepada Allah bisa menjadi hambatan atau penghalang untuk mencegahnya dari menampilkan cinta sejati serta kesetiaan kepada negaranya.’[7]
Jadi, inilah komitmen Ahmadiyah dalam menjalani kehidupan berbangsa bahwa dimanapun seorang Ahmadi berada, sebagai Muslim sejati punya tanggungjawab untuk taat, loyal dan cinta pada negara dan pemerintahannya, sebagaimana al-Quran juga mengajarkan ‘Ati’ul Laaha wa athi’ul Rasul wa ulil amri minkum’ bahwa setiap mukmin punya tanggungjawab untuk menunjukan ketaatan baik kepada Allah Sang Pencipta, kepada Rasul Allah dan juga para pemimpin kaum, pemangku amanah yang diberi kepercayaan oleh masyarakat. Dan relasi yang terjalin demikian panjang antara Khilafah Ahmadiyah dan NKRI, kiranya bisa menghapus stigma negatif tentang Khilafah Islamiyah, bahkan menjadi cerminan sejati Khilafah Islamiyah, contoh kesetiaan, loyalitas dan pengkhidmatan sejati. Salam
[1]Musnad Ahmad, Jil. 4, hal.273, Darul Fikr Beirut, Lebanon. Misykat Babul Inzaar wat Tanzir
[2](Al-Munawir, 1984:390)
[3] إِنِّيْ جَاعِلُكَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ مُقْتَدِرًا
Sesungguhnya Aku Allah menjadikan engkau sebagai Isa ibnu Maryam, dan Allah itu berkuasa atas segala sesuatu (Ainah Kamalati Islam, hal. 423 dan Tadzkirah, hal. 218).
فَأَنَا ذلِكَ النُّوْرُ الْمُجَدِّدُ الْمَأْمُوْرُ وَالْعَبْدُ الْمَنْصُوْرُ وَالْمَهْدِيُّ الْمَعْهُوْدُ وَالْمَسِيْحُ الْمَوْعُوْدُ
Maka, akulah cahaya itu, sebagai Mujaddid yang diperintahkan, dan seorang hamba yang ditolong, dan Al-Mahdi yang kedatangannya dijanjikan serta Al-Masih yang dijanjikan kedatangannya (Al-Khutbah Al-Ilhamiyah, hal. 5)
[4] Al-wasiyat hal 14-16 cetakan th 2008
[5]Majalah Sinar Islam Nomor Yubillium 50 tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Sulh 1355, Januari 1976, No.15/tahun ke-IV
[6] Krisis Dunia Dan Jalan Menuju Perdamaian, hal.30
[7]Ibid, hal.32