Oleh : Iskandar Ahmad Gumay
“Hai manusia ! Sesungguhnya telah datang kepadamu suatu nasihat dari Tuhan-mu, dan penyembuh bagi apa yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin. (QS. Yunus: 58
Al-quran diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata mengenai petunjuk dan furqan. (QS. Al-Baqoroh: 186)
pada kesempatan ini saya mendapatkan tugas untuk menyampaikan ceramah dengan judul Kemuliaan Alquran dan Isu-isu kontemporer.
Dalam ayat diatas, Allah swt. telah mensifati Alquran dalam berbagai sifat kemuliaan. Alquran disebut sebagai Muaizhah, Syifaa, Hudan, Bayyinah dan nama sifat kemuliaan lainnya. Dimana inti dari sifat-sifat mulia tersebut menunjukan bahwa Alquran mengandung ajaran-ajaran yang luhur bagi kemuliaan manusia.
Alquran adalah kulminasi puncak kebijaksanaan. Didalamnya hanya ada kebenaran haqiqi yang mengungkapkan segala hal. Ia adalah Nur diatas Nur, dan menjadi penyejuk bagi pikiran manusia. Adalah yang Maha Pengasih yang telah mengajarkan Al-Quran dengan mewahyukan Alquran sebagai Kitab yang berisi nilai kebenaran, dan sebagai neraca penimbang kebenaran. Kitab ini menjadi petunjuk bagi umat manusia serta mengandung rincian petunjuk tersebut. Alquran membedakan kebenaran dan kedustaan melalui logikanya serta menjadi makalah penentu dan terbebas dari segala bentuk keraguan.
Allah s.w.t. telah menurunkan Kitab ini sebagai pemutus dalam masalah-masalah yang menimbulkan perselisihan, agar mereka yang beriman mendapat petunjuk dan rahmat. Kitab Al-Quran merangkum keseluruhan kebenaran yang tersebar dalam Kitab-kitab samawi terdahulu. Kebatilan tidak dapat mendekatinya, baik dari depan atau pun belakang, karena didalamnya terkandung bukti-bukti nyata bagi manusia yang akan menjadi petunjuk dan rahmat bagi mereka yang beriman.
Kitab Suci Al-Quran merupakan mutiara yang langka. Bagian luarnya adalah Nur, bagian dalamnya pun Nur, begitu pula bagian atas dan bawahnya adalah Nur semata, serta Nur disetiap kata di dalamnya. Kitab ini merupakan taman ruhani yang rangkaian buahnya mudah dijangkau, dan melaluinya mengalir banyak sungai. Semua bentuk kemaslahatan dapat ditemukan di dalamnya dan setiap obor penunjuk jalan dinyalakan daripadanya. (Ayena Kamalati Islam, Qadian, Riyadh Hind Press, 1893; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 5, hal. 545-546, London, 1984).
Kemaslahatan sesuatu hal dapat dilihat dengan cara apakah benda itu telah memenuhi tujuan diciptakannya?. Sebagai contoh, jika seekor lembu dibeli dengan tujuan untuk membajak, maka kebaikannya diukur dari kemampuan lembu itu melaksanakan fungsinya dalam meluku tanah. Begitu pula jelas kiranya bahwa tujuan dari sebuah Kitab samawi adalah untuk menyelamatkan para penganutnya dari kehidupan penuh dosa melalui ajaran-ajaran dan pengaruhnya. Kitab itu harus mampu memberikan kehidupan yang bersih kepada mereka, dan setelah mensucikannya lalu mengaruniakan wawasan yang sempurna guna mengenali Tuhan serta menciptakan hubungan kasih dan pengabdian di antara mereka dengan Wujud Maha Esa, lalu menjadi sumber mata air semua kegembiraan. Sesungguhnya kecintaan inilah yang menjadi sumber keselamatan dan yang menjadi surga, dimana semua keletihan, kegetiran, kesakitan dan siksaan dapat terobati. (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 305-309, London, 1984).
Dalam konteks kekinian Alquran hadir untuk memberikan guidance secara mendalam tentang bagaimana cara mencapai kemuliaan duniawi melalui penegakkan ajaran-ajaran rohani. Sejalan dengan pergerakan zaman yang demikian progresif, saat ini beragam permasalahan pun muncul dengan semakin kompleksnya, baik permasalahan yang datang dari kalangan intern maupun ekstern umat Islam. Saat ini kita tengah dihadapkan dengan berbagai isu yang berdampak buruk pada nilai-nilai kemanusiaan. Sebut saja isu Perang atas nama agama, Pembunuhan atas nama agama, Pendirian Negara Islam, Penegakkan Syariat Islam, Kudeta terhadap pemerintahan yang sah, Isu Gender, Eksploitasi terhadap perempuan, Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dll. Tentunya isu-isu ini memerlukan jawaban yang tepat, agar jangan terjadi kebuntuan dalam berpikir dan bertindak, yang dapat menjerumuskan umat manusia dalam lembah kehinaan dan kenistaan. Dalam kesempatan yang terbatas ini tentunya sulit untuk dapat menjawab isu-isu diatas secara mendalam, oleh karenanya hanya beberapa isu saja yang akan saya bahas dalam ceramah ini yang berdasar pada ajaran dari Hz. Masih Mau’ud as. dan para Khulafa beliau.
Peperangan Dalam Islam
Terkait Isu Perang dan pembunuhan yang dilakukan atas nama Agama, yang saat ini kerap diperagakan oleh kelompok radikal seperti ISIS. Telah menimbulkan dampak buruk bagi kemuliaan agama Islam dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Agama Islam sejatinya dengan tegas melarang segala bentuk agresi, adapun Perang yang diajarkan dalam Islam dilakukan semata-mata sebagai bentuk izin dari Allah swt. atas suatu kondisi-kondisi tertentu yang membahayakan keamanan, memperluas peperangan, lenyapnya kebebasan beragama, hilangnya usaha mencari kebenaran, dan perang diizinkan dalam rangka menegakkan perdamaian.
Dalam sejarah kita menyaksikan contoh peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Selama di Mekkah, beliau dan para sahabat mengalami penderitaan yang luar biasa, namun sedikit pun beliau saw. tidak pernah melakukan agresi. Dan ketika beliau terpaksa harus hijrah ke Medinah, dan musuh tetap bertekad kuat untuk membinasakan Islam, maka atas izin Allah swt. beliau terpaksa menghadapi musuh dalam rangka membela kebenaran dan menegakkan kebebasan beragama.
Dalam Alquran surah Al-Haj (22) :40 — 42 kita jumpai:
Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah mereka tanpa sebab yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya Allah tidak menangkis sebagian orang dengan perantaraan sebagian yang lain, niscayalah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta mesjid-mesjid yang di dalamnya nama Allah banyak disebut telah dibinasakan. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong Dia. Sesungguhnya Allah Mahakuasa, Mahaperkasa. Mereka yang, jika Kami teguhkan mereka di bumi ini, akan mendirikan sembahyang dan membayar zakat dan mengajak kepada kebajikan dan melarang dari kejahatan. Dan kepada Allah-lah terserah akibat dari segala urusan.
Ayat-ayat diatas bermaksud mengatakan, bahwa izin berperang telah diberikan kepada pihak yang menjadi korban agresi. Izin itu bijaksana, sebab jika Tuhan tidak mencegah si kejam melalui kemenangan orang yang bertakwa, maka tak akan ada kebebasan menganut agama dan ibadah di dunia. Tuhan harus menolong mereka yang menegakkan kemerdekaan dan ibadah. Oleh karena itu perang diizinkan jika suatu kaum telah lama menderita dari agresi yang buas, yang berusaha merintangi agama yang dianut oleh si korban. Kewajiban si korban selanjutnya ialah, jika dan bilamana ia meraih kekuasaan, maka ia harus menegakkan kebebasan beragama dan melindungi semua agama serta semua tempat keagamaan. Kekuasaannya harus dipergunakan bukan untuk kebesaran diri sendiri, melainkan untuk mengurus si miskin, menegakkan kesejahteraan bangsa dan mewujudkan kemajuan negara, lalu meningkatkan keamanan khalayak umum.
Ajaran ini demikian sempurna, jelas dan tegas. Ajaran ini mengumumkan kenyataan bahwa kaum Muslimin dimasa permulaan telah mengadakan peperangan semata-mata karena mereka terpaksa. Peperangan agresi dilarang oleh Islam. Kepada kaum Muslimin dijanjikan kekuasaan politik, tetapi diperingatkan bahwa kekuasaan itu tidak boleh dipergunakan untuk kebesaran dan keagungan sendiri, melainkan untuk memperbaiki nasib si miskin dan memelihara keamanan dan kemajuan masyarakat.
Dalam Alquran surah Al-Baqoroh (2) :191—194 kita jumpai:
Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang memerangimu, namun jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka, yaitu pelampau-pelampau batas ini di mana pun mereka kamu dapati, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusirmu, dan fitnah itu lebih buruk daripada pembunuhan. Dan, janganlah kamu memerangi mereka di dekat Masjidilharam sebelum mereka memerangimu di sana. Tetapi, jika mereka memerangimu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Tetapi, jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan pergilah mereka sehingga tak ada gangguan lagi, dan agama itu dianut hanya untuk Allah. Tetapi, jika mereka berhenti, maka ingatlah bahwa tak boleh lagi ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang aniaya.
Dalam mengkritisi perang yang dilakukan oleh ISIS, kita dapat melihat betapa bertolak-belakangnya konsep dan praktek perang yang mereka lakukan. Sejatinya perang hanya dilakukan oleh pihak yang saling bermusuhan. Secara kategoris ayat-ayat diatas mengajarkan peraturan-peraturan peperangan, diantaranya:
- Perang boleh ditempuh hanya semata-mata untuk Tuhan dan bukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kebesaran sendiri atau untuk kemajuan kepentingan-kepentingan lain apa pun.
- Kita berperang hanya melawan siapa yang menyerang kita terlebih dahulu.
- Kita memerangi hanya pihak yang memerangi kita. Kita tidak boleh berperang dengan mereka yang tidak terlibat dalam peperangan.
- Bahkan sesudah musuh telah memulai lebih dahulu menyerang, tetap menjadi kewajiban kita untuk berperang dalam batas-batas norma. Memperluas peperangan, baik secara teritorial atau mengenai pemakaian senjata, adalah tidak benar.
- Kita boleh perang hanya dengan angkatan perang yang digerakkan oleh musuh. Kita tidak boleh memerangi orang-orang yang lainnya di pihak musuh.
- Dalam peperangan, kekebalan harus diberikan kepada segala upacara dan ibadah keagamaan. Jika musuh membiarkan aman tempat-tempat upacara keagamaan diadakan, maka kaum Muslimin juga harus berhenti berperang di tempat-tempat seperti itu.
- Jika musuh menggunakan tempat peribadatan sebagai pangkalan untuk melakukan serangan, maka kaum Muslimin diperkenankan membalas serangan itu. Jika kaum Muslimin berbuat demikian maka tidak akan dipersalahkan. Tidak diizinkan berperang bahkan di dekat tempat-tempat keagamaan. Serangan terhadap tempat-tempat agama dan membinasakannya atau memberi kemudaratan dalam bentuk apa pun terhadapnya sama sekali dilarang. Suatu tempat keagamaan yang dipergunakan sebagai pangkalan operasi-operasi boleh mendapat balasan. Pertanggung-jawaban terhadap kerusakan yang ditimpakan kepada tempat itu kemudian dilimpahkan kepada musuh, tidak kepada kaum Muslimin.
- Jika musuh mengetahui bahaya dan kekeliruan penyalahgunaan tempat keagamaan sebagai pangkalnya lalu memindahkan medan pertempuran, maka kaum Muslimin harus mengadakan penyesuaian terhadap perubahan itu. Kenyataan bahwa musuh memulai serangan dari suatu tempat keagamaan, ini tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menyerang tempat itu. Sebagai penghormatan, kaum Muslimin harus mengalihkan medan pertempuran segera sesudah musuh berbuat serupa.
- Peperangan dilangsungkan hanya selama gangguan terhadap agama dan gangguan terhadap kemerdekaan beragama masih berjalan. Jika agama telah bebas dan gangguan kepada agama tidak diperkenankan lagi dan musuh menyatakan dan mulai bertindak sesuai dengan itu, maka tidak boleh ada peperangan lagi, walaupun musuh yang memulai peperangan. (QS. 8:39—41 dan QS. 8 : 62—63)
- Alquran pun mengajarkan tentang tawanan perang : Tidak layak bagi seorang nabi mempunyai tawanan perang sebelum ia sungguh-sungguh berperang di muka bumi. Jika kamu mengambil tawanan selain dalam peperangan yang sungguh-sungguh, maka berarti bahwa kamu menginginkan harta benda duniawi, padahal Allah menghendaki akhirat bagimu; dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana (9:68). Tidak layak bagi seorang nabi membuat musuhnya jadi tawanan-tawanan, kecuali sebagai akibat perang yang membawa banyak pertumpahan darah. Cara kebiasaan menawan (menyandra) suku-suku musuh tanpa perang dan pertumpahan darah yang berlaku sampai — dan bahkan sesudah — Islam lahir, diharamkan dalam ayat ini. Yang boleh dijadikan tawanan-tawanan ialah perajurit-perajurit dan setelah pertempuran usai.
- Peraturan membebaskan tawanan-tawanan juga ditetapkan dalam QS. 47:5.
Selain poin-poin diatas, beberapa peraturan dari Rasulullah saw terkait peperangan.
- Kaum Muslimin sama sekali dilarang mencacati mayat (Muslim).
- Kaum Muslimin dilarang tipu-menipu (Muslim).
- Anak-anak tidak boleh dibunuh, begitu pula wanita (Muslim).
- Pendeta-pendeta dan pejabat-pejabat tugas keagamaan dan pemimpin-pemimpin keagamaan tidak boleh dicampur-tangani (Tahawi).
- Orang-orang tua dan lemah dan wanita-wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh. Kemungkinan damai senantiasa harus diperhatikan (Abu Daud).
- Jika kaum Muslimin masuk di daerah musuh, mereka tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap khalayak penduduk. Mereka tidak boleh mengizinkan perlakuan tidak baik terhadap rakyat jelata (Muslim).
- Balatentara Muslim tidak diperkenankan berkemah di suatu tempat yang dapat menyebabkan timbul rasa gelisah pada khalayak umum. Apabila balatentara itu bergerak, hendaknya berhati-hati agar jangan membendung jalan, begitu pula jangan menyebabkan adanya keresahan pada pemakai-pemakai jalan lainnya.
- Mencacati muka orang tidak diperkenankan (Bukhari dan Muslim).
- Kerusakan dan kerugian yang ditimpakan kepada musuh harus ditekan sampai sekecil-kecilnya (Abu Daud).
- Jika tawanan-tawanan perang ada dalam penjagaan, keluargakeluarga dekat harus ditempatkan bersama-sama (Abu Daud).
- Tawanan-tawanan hendaknya hidup nyaman, kaum Muslimin harus lebih memperhatikan kenyamanan tawanan-tawanan mereka daripada kenyamanan mereka sendiri (Tirmidhi).
- Duta-duta atau delegasi-delegasi dari negeri-negeri lain harus dihormati. Kesalahan-kesalahan atau kekurangan tatakrama mereka harus dimaklumi (Abu Daud, Kitab A1-Jihad).
- Jika orang-orang Muslim berdosa memperlakukan dengan cara buruk seorang tawanan perang, penebusannya ialah harus membebaskan tawanan itu tanpa memungut uang tebusan.
- Jika seorang orang-Muslim menjamin hidup seorang tawanan perang, maka tawanan itu harus diberi makan dan pakaian yang sama seperti orang Muslim itu sendiri (Bukhari).
- Bangunan-bangunan umum dan pohon-pohon buah (dan tanaman-tanaman pangan) tidak boleh dibinasakan (Mu’atta – Hz. Abu Bakar Sidiq ra.)
Saat ini ketika kita melihat segala bentuk perang yang dilakukan oleh kelompok Radikal seperti ISIS, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa tindakan ISIS sangat bertentangan dengan Ajaran Alquran dan contoh mulia Rasulullah saw. Serta dengan sederhana dapat kita katakan bahwa segala bentuk kekejian yang tengah dilakukan oleh ISIS, tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama Islam.
Namun disisi lain, muNcul beberapa kritikan terhadap agama Islam terkait dengan adanya izin perang dalam agama Islam. Tokoh dunia seperti Mahatma Ghandi mengajarkan bahwa sekalipun bila kita dipaksa berperang, maka kita tidak boleh berperang, kita tidak boleh berkelahi. Menyikapi kritikan ini, yang patut dipahami bahwa ajaran ini sama sekali belum pernah di-praktekkan di masa mana pun dalam sejarah dunia; belum pernah diuji atau dicoba. Oleh karenanya, kita tidak dapat mengetahui bagaimana nilai pelajaran ini dalam urusan peperangan dan perdamaian. Realitanya Ghandi telah berusia cukup panjang menyaksikan Pemerintahan India mencapai kemerdekaan politik. Walaupun demikian Pemerintah tidak juga membubarkan angkatan perangnya dan angkatan-angkatan bersenjata lainnya, bahkan Pemerintah merencanakan untuk mengangkat kembali opsir-opsir India yang membentuk diri menjadi Angkatan Bersenjata Nasional India. Pada tahap-tahap akhir Perang Dunia yang lalu. Ghandi sendiri, dalam beberapa peristiwa, telah memperdengarkan suaranya untuk membela kejahatan-kejahatan dan kekerasan, dan meminta dengan keras untuk membebaskan mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan demikian. Hal itu sedikitnya memperlihatkan bahwa pelajaran Ghandi tidak dapat dipraktekkan dan bahwa Ghandi dan begitu juga semua pengikutnya mengetahui hal itu. Tidak ada contoh amal telah dikemukakan untuk membuktikan kepada dunia, bagaimana politik non-violence (anti kekerasan) dapat diterapkan jika perkelahian bersenjata timbul antara bangsa dan bangsa, dan negara dan negara, atau bagaimana politik non-violence dapat mencegah atau menghentikan perang. Mengajarkan suatu cara menghentikan peperangan, tetapi tak pernah mampu mengemukakan gambaran mengenai pengamalan cara itu, menunjukkan bahwa cara itu tak dapat dipraktekkan. Oleh karena itu, pengalaman dan kebijaksanaan manusia mengacu hanya kepada satu cara pencegahan atau penghentian perang; dan cara itu telah diajarkan dan diamalkan oleh Yang Mulia Hz. Rasulullah s.a.w.
Sistem Negara Islam
Isu selanjutnya adalah terkait dengan sistem pemerintahan suatu negara. Harus dengan sistem apakah sebuah negara menegakkan pemerintahannya? Apakah harus dengan sistem Negara Islam, sistem Demokrasi, Kerajaan atau sistem lainnya. Sejauh menyangkut politik nasional, kita perlu menelaah, apakah kegagalan suatu sistem politik menjadi penyebab kesengsaraan dan kemarahan rakyat, ataukah ada sebab lainnya?. Apakah sistemnya yang harus disalahkan atau mereka yang mengendalikan sistem tersebut?.
Islam sejatinya sangat menekankan nilai moralitas yang mutlak dalam semua aspek kegiatan manusia, termasuk di bidang politik. Dalam Islam tidak ada ditentukan suatu sistem politik sebagai sistem yang paling baik dibanding sistem yang lain. Memang benar bahwa Al-Quran mengemukakan sistem demokratis, dimana para pemimpin dipilih oleh rakyat, namun hal ini tidak merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan oleh Islam. Juga tidak menjadi prerogatif dari suatu agama yang universal untuk memilih suatu bentuk sistem pemerintahan tanpa memperhatikan bahwa sulit menetapkan sistem tunggal yang berlaku bagi semua daerah dan masyarakat di dunia.
Islam tidak menolak suatu sistem politik apa pun di dunia ini, dan Islam menyerahkan hal tersebut kepada pilihan umat, serta tradisi yang secara historis berlaku di tiap negeri. Yang ditekankan oleh Islam bukanlah bentuk pemerintahannya, tetapi bagaimana pemerintah tersebut melaksanakan tugas-tugasnya. Sepanjang suatu sistem peraturan sejalan dengan idealisme Islam dalam pelaksanaan amanat rakyat, berbagai sistem pemerintahan seperti feodalisme, monarki, demokrasi dan lain-lain, dapat saja diakomodir dalam Islam.
Sistem monarki disebut beberapa kali dalam Al-Quran tanpa menyalahkannya sebagai suatu lembaga. (QS.2 Al-Baqarah: 248) (QS.5 A-Maidah: 21), dll.
Kerajaan yang diciptakan atau diperluas melalui penaklukan secara paksa tidak disukai sebagaimana dikemukakan dalam ayat tentang Ratu Sheba ketika mengingatkan para penasihatnya:
Berkatalah ia, ratu itu: ‘Sesungguhnya raja-raja apabila mereka memasuki suatu negeri, mereka merusakkannya dan penduduknya yang termulia mereka jadikan orang-orang paling hina. Dan demikianlah selalu mereka kerjakan.’ (QS.27 An-Naml: 35)
Raja-raja dapat bertabiat baik atau pun buruk, sama saja seperti perdana menteri atau presiden yang dipilih secara demokratis. Tetapi Al-Quran menyitir suatu kategori raja-raja yang memang ditunjuk oleh Tuhan. Mereka bukan saja sebagai raja seperti dalam pemahaman Yahudi dan Kristen tetapi juga sebagai Rasul menurut Al-Quran, sebagaimana contohnya Raja Sulaiman. Hal ini menggambarkan bahwa kadang-kadang fungsi kenabian dan kerajaan dapat diemban oleh satu orang dan ia adalah raja yang ditunjuk langsung oleh Tuhan.
Disisi lain asas demokrasi, yang sangat dibanggakan oleh bangsa Eropa, pertama kali ditetapkan oleh Alquran. Alquran menganjurkan adanya organisasi, disiplin dan ketaatan disatu pihak, dan pada pihak lain memerintahkan agar pejabat-pejabat pemerintah menjalankan kewajiban mereka dengan kejujuran dan kesetiaan.
Alquran adalah Kitab pertama yang telah membatasi kekuasaan para penguasa dan memaksa mereka tunduk kepada disiplin. Alquran tidak mengakui hak seseorang memegang kekuasaan mutlak terhadap masyarakat dan tidak pula mengakui peraturan dan tatalaksana pemerintahan sebagai kebaikan yang diperlihatkan oleh orang yang memerintah terhadap yang diperintah. Alquran menekankan prinsip bahwa kedaulatan itu ada di tangan rakyat dan bahwa orang yang memegang kekuasaan itu diamanati kekuasaan atas nama Tuhan (4:59).
Penggunaan wewenang pada saat-saat yang tepat dan dengan cara yang selaras bukanlah satu anugerah terhadap rakyat, tetapi merupakan amanat yang dibebankan kepada mereka yang diberi wewenang. Oleh karena itu Alquran menegaskan bahwa dalam menggunakan hak pilih hendaknya jangan dipengaruhi oleh pertimbangan kepentingan partai atau pribadi, tetapi satu-satunya tolok-ukur adalah harus adanya kecocokan si calon untuk melakukan dan memperjuangkan kewajiban-kewajiban yang akan diserahkan kepadanya. Hanya dengan cara demikian orang yang terpilih akan berada dalam keadaan sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas dengan cara yang paling memuaskan.
Alquran menuntut supaya patokan akhlak yang harus dipegang oleh perseorangan dan dipegang juga oleh pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Alquran tidak menyetujui faham bahwa moral yang tinggi tidak perlu ditekankan pada pemerintah dan tata laksananya.
Demokrasi sendiri di negara yang paling maju belum mencapai tingkat penerapan sebagaimana visi politis para demokrat. Dengan bangkitnya kapitalisme dan pengembangan teknologi yang demikian maju di negeri-negeri kapitalis, pemilihan umum yang benar-benar demokratis belum dapat dilakukan. Belum lagi maraknya korupsi, munculnya kelompok Mafia dan kelompok penekan lainnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa sistem demokrasi tidak berjalan aman bahkan di negeri yang katanya paling demokratis. Lalu bagaimana mungkin sistem ini cocok bagi Dunia Ketiga?
Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi Barat dapat berlaku di Afrika, Asia dan Amerika Latin atau negeri-negeri yang katanya negara Islam, sama saja dengan membuat pernyataan hampa dan tidak benar.
Sistem demokrasi pun tidak selalu menjadi pilihan yang paling benar. Dalam sistem demokrasi dapat saja terjadi mayoritas rakyat tidak dapat menemukan nilai-nilai pokok dari kepemimpinan seorang, dan akan memprotes jika yang bersangkutan dipaksakan dipilih sebagai pemimpin mereka. Berdasarkan semua kriteria politis, penunjukannya akan dianggap sebagai diktatorial. Mungkin untuk kepentingan publik yang bersangkutan memang baik tetapi opini umum tidak dapat menerimanya.
Kelemahan inheren dari pemilihan secara demokratis adalah kenyataan bahwa rakyat melakukan pilihannya berdasarkan kesan-kesan impresi permukaan dan kinerja terakhir dari si calon, sedangkan nilai-nilai kepemimpinan sehat yang seharusnya ada malah sulit diketahui.
Konsep demokrasi berfalsafah, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kata-kata itu merupakan klise yang amat menarik, namun jarang diterapkan seutuhnya di muka bumi ini.
Kalimat “untuk rakyat” definisinya sangat kabur dan dapat membahayakan. Apa yang dapat dideklarasikan secara pasti sebagai untuk rakyat? Dalam suatu sistem yang menganut pola mayoritas, seringkali terjadi bahwa apa yang dianggap untuk rakyat sebenarnya adalah untuk mayoritas rakyat dan tidak berlaku bagi sisa minoritasnya.
Dalam sistem demokrasi, dapat juga terjadi keputusan-keputusan yang sangat penting ditentukan oleh mayoritas absolut. Namun jika ditelaah dan dianalisis lebih lanjut data dan faktanya, ternyata sebenarnya apa yang diputuskan sejatinya berasal dari kelompok minoritas yang dilambungkan secara demokratis dan diterapkan pada mayoritas.
Kita juga menyadari bahwa konsep mengenai apa yang baik untuk rakyat nyatanya berubah dari masa ke masa. Jika keputusan tidak berdasarkan prinsip absolut maka apa yang dianggap baik untuk rakyat akan selalu mengalami pergeseran kebijakan dengan berjalannya waktu. Apa yang dianggap baik hari ini mungkin dianggap buruk keesokan harinya dan baik lagi lusanya.
Bagi orang awam keadaan ini menimbulkan situasi gamang. Eksprimen sistem komunisme dalam skala raksasa selama lebih dari setengah abad juga sebenarnya didasarkan pada slogan untuk rakyat. Adapun pemerintahan sosialis tidak semuanya bersifat diktatorial.
Islam tidak ada memberikan definisi hampa mengenai demokrasi. Agama ini hanya mengatur tentang prinsip-prinsip penting saja dan sisanya diserahkan kepada umat. Ikutilah dan kalian akan menerima manfaat, tinggalkan dan kalian akan dihancurkan. Konsep demokrasi menurut Islam, yaitu:
(1). Pemilihan umum secara demokratis harus didasarkan pada azas amanah dan kejujuran. Islam mengajarkan bahwa ketika kita memberikan suara dalam pemilihan umum, lakukanlah hal itu dengan kesadaran bahwa Tuhan mengawasi kita dan kita harus mempertanggung-jawabkan keputusan yang diambil. Pilihlah mereka yang paling mampu mengemban amanat nasional dan mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya.
(2). Pemerintah harus berfungsi atas dasar prinsip keadilan mutlak. Pilar kedua dari demokrasi menurut Islam ini mengatur bahwa apa pun keputusan yang diambil, lakukan dengan berlandas pada prinsip keadilan mutlak. Baik berkaitan dengan masalah politis, agama, sosial atau pun ekonomis, keadilan tidak boleh dikompromikan. Setelah terbentuknya pemerintahan, pemungutan suara di dalam partai pun harus selalu berorientasi pada keadilan. Dengan kata lain, tidak boleh mempengaruhi proses pengambilan keputusan karena kepentingan kelompok atau pertimbangan politis. Dalam jangka panjang, semua keputusan yang dilakukan dalam semangat ini akan benar-benar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Bagian kedua dari definisi demokrasi menyangkut oleh rakyat. Hal ini dijelaskan dalam ayat:
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya . . . (S.4 An-Nisa: 59)
Berarti bahwa kapan saja kita menyatakan keinginan untuk memilih penguasa di atas kita, selalu tempatkan kepercayaan pada orang yang tepat.
Hak rakyat untuk memilih penguasanya disinggung juga tetapi secara insidentil. Tekanan utamanya adalah pada bagaimana seseorang melaksanakan haknya itu. Umat Muslim diingatkan bahwa bukan hanya masalah melaksanakan hak mereka dengan cara bagaimana, yang harus diperhatikan adalah amanat nasional. Dalam masalah pengembanan amanat, seseorang tidak mempunyai banyak pilihan. Kita harus melaksanakan amanah itu dengan kejujuran, integritas dan semangat tidak mementingkan diri sendiri. Amanah harus berada pada mereka yang berhak.
Menurut definisi Al-Quran, seorang pemilih bukanlah penguasa mutlak hak suaranya, melainkan sebagai pengemban amanat. Sebagai pengemban ia harus melaksanakan amanatnya secara adil dan tegas dimana dan kepada siapa yang berhak. Ia harus selalu awas dan menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan tindakannya itu kepada Tuhan-nya. Dalam pandangan konsep Islam demikian, kalau suatu partai politik telah menominasikan seorang calon sedangkan seorang anggota partai itu menganggap calon bersangkutan akan gagal mengemban amanat nasional, maka anggota tersebut sebaiknya keluar dari partainya daripada memberikan suaranya kepada seseorang yang tidak seharusnya diberi kepercayaan. Kesetiaan kepada partai tidak boleh mempengaruhi pilihannya itu. Selain itu berkaitan dengan kehidupan politis masyarakat Muslim, Alquran mengajarkan bahwa dalam masalah pemerintahan, keputusan-keputusan harus diambil secara musyawarah.
Saat ini bertambah populer di antara para pemikir politik Muslim yang mengatakan bahwa Tuhan adalah empunya kedaulatan tertinggi maka kerajaan absolut adalah milik Tuhan. Al-Quran menyimpulkan bidang kekuasaan-Nya dalam ayat:
Maka Mahaluhur Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Tiada tuhan selain Dia. Tuhan arasy yang sangat mulia. (S.23 Al-Muminum: 117)
Prinsip fundamental bahwa semua kekuasaan untuk memerintah pada akhirnya milik Tuhan dan Dia adalah Raja segalanya. Dalam menjalankan aktivitas politik, kerajaan Tuhan diekspresikan dalam dua cara:
(a). Hukum Shariah yang disusun berdasarkan Al-Quran dan sunah Rasulullah s.a.w. sebagaimana dirawikan oleh para Muslim awal, menduduki tempat tertinggi. Hukum ini berisi pedoman-pedoman pokok untuk legistatif, dan pemerintahan yang telah dipilih secara demokratis tidak boleh merobah Keputusan Tuhan.
(b). Tidak ada proses legislatif yang valid jika bertentangan dengan prinsip di atas.
Hanya sayangnya tidak ada kesatuan pendapat di antara para pemikir dari berbagai sekte dalam Islam mengenai apa yang disebut Shariah.
Agama dan penataan kenegaraan adalah dua dari sekian banyak roda kendaraan yang membawa masyarakat. Dalam kenyataan sebenarnya tidak relevan apakah rodanya dua, empat atau delapan, sepanjang roda-roda itu mantap orientasinya dan berputar dalam orbitnya masing-masing. Dalam hal seperti itu tidak akan ada masalah konflik atau pun konfrontasi.
Sejalan dengan ajaran-ajaran samawi sebelumnya, Al-Quran memperjelas tema ini dengan memberikan batasan pada ruang lingkup aktivitas tiap komponen masyarakat. Tidak berarti bahwa tidak ada titik temu atau landasan berpijak yang sama dimana negara dan agama dapat berbagi. Memang benar ada titik sentuh, tetapi sebatas semangat kerjasama di antara keduanya. Masing-masing tidak akan memonopoli yang lain.
Sebagai contoh, banyak sekali ajaran moral dalam tiap agama yang kemudian menjadi bagian integral dari perundang-undangan di semua negara di dunia. Di suatu negara, mungkin sebagian kecil, sedangkan di negara lain relatif banyak perundang-undangannya yang mengikuti ajaran agama panutan. Hukuman yang diberikan dapat saja ringan atau pun keras, tetapi kemarahan agama atas suatu kejahatan yang diganjar hukuman, tidak akan disebutkan sebagai rujukan dalam perundang-undangan mana pun. Kaum beragama dapat saja tidak sependapat dengan beberapa hukum sekuler, namun jarang sekali mereka memilih konfrontasi dengan pemerintah berkaitan dengan masalah tersebut.
Hal itu tidak saja berlaku pada umat Muslim dan Kristiani, tetapi juga pada semua agama di dunia. Kita tahu bahwa hukum agama Hindu yang murni yaitu MANUSMARTI sama sekali berbeda dengan perundang-undangan sekuler pemerintahan politis di India, namun nyatanya rakyat negeri itu dapat berkompromi menerimakan keadaannya.
Kalau saja hukum agama secara serius diberlakukan terhadap sistem politik di berbagai negara maka di dunia ini akan terjadi banjir darah. Syukurlah bagi umat manusia bahwa keadaannya tidak demikian.
Sepanjang menyangkut agama Islam, maka semestinya tidak akan ada masalah, karena prinsip utama dan yang tidak dapat ditawar dalam ajaran Islam adalah prinsip keadilan mutlak. Prinsip tersebut tetap bersifat sentral dan fundamental untuk semua bentuk pemerintahan yang mengklaim sebagai bersifat Islami. Namun sayangnya, titik tumpu yang paling pokok dalam pemahaman kenegarawanan Islami malah kurang sekali dimengerti oleh para pemikir Muslim. Mereka gagal melihat perbedaan antara aplikasi perundangan umum tentang kejahatan yang bersifat universal tanpa pengaruh agama dengan kejahatan-kejahatan yang memang berkaitan dengan agama tertentu.
Semua agama mempunyai tanggung-jawab untuk mengingatkan dewan legislatif terhadap masalah-masalah moral. Tetapi tidak berarti bahwa semua perundangan lalu dimasukkan dalam yurisdiksi agama. Melihat begitu banyaknya sekte-sekte agama dan perbedaan pandangan di antara sekte-sekte serta antar agama, jika dipaksakan maka yang akan muncul adalah kekacauan dan anarki. Sebagai contoh, hukuman tentang alkohol. Walaupun alkohol dilarang dalam Al-Quran, tetapi tidak ada disebutkan spesifikasi hukuman yang patut dikenakan. Ada yang bersandar pada hadist, namun kemudian ditentang oleh berbagai pandangan yurispridensi. Hukuman yang dikenakan di suatu lokalitas atau negeri nyatanya berbeda dengan di tempat lain.
Setiap pemeluk agama mana pun dapat mengamalkan kepercayaannya di bawah hukum yang bersifat sekuler. Ia dapat menjalankan kebenaran tanpa ada undang-undang negara yang mencampuri kebebasannya itu. Ia dapat melaksanakan sembahyang dan boleh mengerjakan ibadahnya tanpa harus menunggu perkenan khusus dari suatu perundang-undangan.
Masalah tersebut dapat juga ditinjau dari sudut menarik lainnya. Kalau ajaran Islam menyetujui suatu pemerintahan Muslim dimana umat Muslim merupakan mayoritas, maka berdasarkan azas keadilan mutlak seharusnya Islam juga membenarkan pemerintahan lain bertindak sesuai dengan pengaturan dari agama yang dianut mayoritas penduduknya. Contohnya, kalau Pakistan sebagai tetangga India, harus menerimakan penerapan hukum Hindu di negeri India maka hal itu akan menjadi malapetaka bagi seratus juta umat Muslim yang akan kehilangan hak hidupnya di India. Begitu juga, kalau India menjalankan Manusmarti, kenapa Israel tidak boleh mengatur penduduk Yahudi dan non-Yahudi menggunakan hukum Taurat? Kalau semua ini terjadi maka hidup akan menjadi sangat menyengsarakan, tidak saja bagi penduduk Israel tetapi juga sejumlah besar orang Yahudi sendiri.
Kalau misalnya Islam menekankan penggunaan hukum shariah berdasarkan undang-undang karena penduduknya mayoritas Muslim, maka mestinya juga dapat menerimakan konsep adanya berbagai negara keagamaan. Keadaan demikian akan menimbulkan situasi paradoks yang bersifat universal karena berdasarkan azas keadilan mutlak, maka negara mempunyai kedaulatan untuk memaksakan hukum menurut agama mayoritas. Akibatnya, setiap tindakan dari mereka yang termasuk kelompok minoritas akan dihukum berdasarkan peraturan agama yang tidak mereka yakini. Hal tersebut justru malah jadinya menyalahi konsep keadilan mutlak. Dilema seperti ini tidak pernah dibahas atau dicoba pecahkan oleh para penggagas hukum Islam di tempat yang katanya negeri-negeri Muslim.
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang menjadi penegak keadilan dan jadilah saksi karena Allah walaupun perkara itu bertentangan dengan dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat. Baik ia yang terhadapnya kesaksian diberikan itu kaya atau miskin, maka Allah lebih memperhatikan kedua mereka itu daripada kamu. Karena itu janganlah menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil. Dan jika kamu menyembunyikan kebenaran atau mengelakkan diri, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan. (S.4 An-Nisa: 136)
Islam menganjurkan pemerintahan sentral yang bersifat netral dimana semua permasalahan pemerintahan bersifat umum dan dapat diterapkan pada semua penduduk negeri dan dimana perbedaan agama tidak dimungkinkan berperan disini. Agama Islam selalu mengingatkan umat Muslim untuk mematuhi hukum dalam semua permasalahan duniawi:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (S.4 An-Nisa: 60)
Hanya saja sepanjang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya, maka area itu eksklusiv masuk urusan agama dan negara tidak punya hak mencampurinya. Pikiran dan hati manusia harus merdeka sepenuhnya dalam hal urusan yang berkaitan dengan keimanan dan cara peribadatan. Adalah bagian dari hak azasi manusia untuk mempercayai apa pun yang dipilihnya dan menyembah Tuhan atau pun berhala sebagaimana suruhan agama atau keyakinannya.
Menurut Islam, dengan demikian agama pun tidak seharusnya mencampuri area yang eksklusiv bagi negara, sebagaimana negara tidak berhak mencampuri bidang-bidang yang bersinggungan di antara keduanya. Hak dan tanggungjawab sudah jelas didefinisikan dalam Islam sehingga permasalahan pertentangan antara keduanya tidak ada lagi. Banyak ayat yang sudah saya kutipkan mengenai hal ini dalam bagian kedamaian agama.
Sayangnya sekarang ini ada tendensi di antara banyak negara sekuler yang kadang-kadang memperluas bidang sekulernya keluar dari batas alaminya. Hal yang sama juga terjadi pada negara-negara theokratis atau negara yang dipengaruhi oleh hirarki keagamaan.
Islam dan Isu Gender
Terkait isu gender, Islam memiliki konsep yang jelas tentang bagaimana memposisikan wanita dalam nilai yang mulia. Rasulullah s.a.w. sangat berhasrat memperbaiki keadaan wanita di tengah masyarakat. Beliau menjamin mereka mendapat kedudukan terhormat dan perlakuan wajar lagi pantas. Islam adalah agama pertama yang memberikan hak waris kepada wanita. Alquran menjadikan anak-anak perempuan bersama-sama dengan anak-anak lelaki sebagai ahli waris kekayaan orang tua mereka. Demikian pula ibu menjadi ahli waris harta benda peninggalan anak laki-laki atau anak perempuan; dan seorang isteri jadi ahli waris harta-benda suaminya. Jika seorang saudara laki-laki menjadi ahli waris harta benda saudaranya yang meninggal, maka saudara perempuan juga jadi ahli waris harta-benda itu. Tidak ada agama sebelum Islam begitu jelas dan tegas dalam menjamin hak waris wanita dan hak memiliki harta kekayaan. Dalam Islam seorang wanita menjadi pemilik mutlak harta-bendanya sendiri dan suaminya tak dapat mempunyai hak sedikit pun mengendalikan harta-benda itu hanya semata-mata karena alasan ia suaminya. Seorang wanita bebas sepenuhnya bertindak atas harta-bendanya menurut kehendaknya sendiri.
Rasulullah s.a.w. begitu berhati-hati mengenai perlakuan terhadap wanita sehingga mereka di sekitar beliau, yang sebelumnya tidak biasa memandang kepada wanita sebagai kawan dan mitra, merasa sukar untuk menyesuaikan diri pada standar yang Rasulullah s.a.w. inginkan. Sayyidina Umar meriwayatkan, “Isteriku kadang-kadang berusaha mencampuri urusanku dengan memberi saran dan usul dan aku biasa memarahinya dengan mengatakan bahwa bangsa Arab tidak pernah mengizinkan isterinya mencampuri urusannya.” Ia membantah, “Masa itu telah berlalu. Rasulullah s.a.w. mengizinkan isteri-isteri beliau memberi saran dan usul dalam urusan beliau dan beliau tidak melarangnya. Mengapa engkau tidak mengikuti contoh beliau?” Maka aku biasa menjawab: Mengenai Aisyah, Rasulullah s.a.w. sangat senang kepadanya, tetapi mengenai anakmu (Hafsah), jika ia berbuat demikian, pada suatu hari ia akan menderita oleh kelancangannya.
Telah terjadi bahwa sekali peristiwa Rasulullah s.a.w. marah, karena suatu sebab. memutuskan untuk hidup pisah dari isteri-isteri beliau, untuk sementara waktu. Ketika aku mengetahui itu kukatakan kepada isteriku: Apa yang kutakutkan telah terjadi. Kemudian aku pergi ke rumah anakku, Hafsah, dan mendapatkannya sedang menangis. Kutanyakan apa sebab-sebabnya, dan apakah Rasulullah s.a.w. telah menceraikan. Ia menjawab, “Aku tak tahu apa-apa tentang perceraian, tetapi Rasulullah s.a.w. telah memutuskan untuk hidup pisah, untuk sementara haktu, dari kami semua.” Aku katakan kepadanya, “Bukankah aku telah sering mengatakan bahwa “kau jangan begitu lancang seperti Aisyah terhadap beliau, sebab Rasulullah s.a.w. sangat mencintai Aisyah, tetapi ‘kau agaknya telah menerima akibat yang aku khawatirkan”. Kemudian aku menghadap Rasulullah s.a.w. dan melihat beliau sedang berbaring di atas tikar kasar. Beliau pada waktu itu tidak memakai kemeja dan pada tubuh beliau nampak kesan tapak tikar. Aku duduk dekat beliau dan berkata, ‘Ya Rasulullah! Kaisar dan Kisra tidak berhak menikmati karunia Ilahi sedikit pun, tetapi walaupun demikian, mereka hidup dalam kemewahan; sedangkan Anda, sebagai Rasul Allah, begitu sengsara. Rasulullah s.a.w. menjawab, “Itu tidak benar. Dari Utusan-utusan Allah tidak diharapkan akan menggunakan waktunya dalam kesenangan. Kehidupan demikian hanya pantas untuk raja-raja duniawi”. Kemudian aku menyampaikan kepada Rasulullah apa yang terjadi antara isteriku dan anakku. Mendengar hal itu Rasulullah s.a.w. tertawa dan bersabda, ‘Tidak benar aku telah menceraikan isteri-isteriku. Aku hanya memandang ada baiknya kalau hidup untuk sementara waktu pisah dari mereka” (Bukhari, Kitab al-Nikah).
Beliau begitu hati-hati mengenai perasaan wanita-wanita sehingga sekali peristiwa, ketika beliau memimpin sembahyang dan mendengar seorang anak menangis, beliau menyelesaikan salat secepat mungkin. Beliau menerangkan kemudian bahwa ketika beliau mendengar tangisan anak itu, beliau membayangkan bahwa ibu anak itu tentu amat gelisah, dan oleh karena itu beliau menyelesaikan salat itu dengan cepat sehingga ibu itu dapat pergi ke anaknya dan mengurusnya.
Jika dalam salah satu perjalanan beliau ada pula wanita-wanita ikut serta, beliau senantiasa memberi petunjuk supaya kafilah bergerak lambat dan berhenti-henti secara bertahap. Pada suatu kesempatan serupa itu ketika orang-orang mau sekali maju cepat, beliau bersabda, “Perhatikan kaca! Perhatikan kaca!” dengan maksud mengatakan bahwa ada wanita-wanita dalam rombongan dan bahwa jika unta-unta dan kuda-kuda berlari cepat, mereka itu akan menderita dari bantingan-bantingan binatang-binatang itu (Bukhari, Kitab al-Adab).
Pada suatu pertempuran timbul kekacauan di tengah barisan-barisan berkuda dan binatang-binatang itu pun tdak terkendalikan. Rasulullah s.a.h. jatuh dari kuda, begitu pula beberapa wanita jatuh dari tunggangan mereka. Seorang dari antara Sahabat-sahabat yang mengendarai unta dekat benar di belakang Rasulullah s.a.w., turun dengan meloncat dan berlari-lari kepada Rasulullah s.a.w. sambil berteriak. “Biarlah aku berkorban untuk Anda, ya Rasulullah.” Kaki Rasulullah s.a.w. masih tersangkut di sanggurdi. Beliau melepaskan dengan segera kaki itu dan bersabda, “Jangan perdulikan aku, lekas tolong wanita-wanita itu.”
Sesaat sebelum beliau wafat, salah satu dari perintah yang ditujukan kepada kaum Muslimin dan sangat ditekankan oleh beliau ialah, mereka hendaknya senantiasa memperlakukan wanita dengan baik dan kasih sayang. Beliau seringkali dan berulang-ulang mengatakan, jika seseorang mempunyai anak-anak perempuan dan ia telah berusaha agar mereka mendapat didikan dan ia berusaha keras memelihara mereka, Tuhan akan menyelamatkannya dari siksaan neraka (Tirmidhi).
Telah menjadi kebiasaan pada orang-orang Arab memberi siksaan jasmani kepada wanita atas tiap-tiap kesalahan kecil. Rasulullah s.a.w. mengajarkan bahwa wanita itu sama seperti pria selaku makhluk Tuhan dan bukan budak kaum pria dan tidak boleh dipukul. Tatkala wanita-wanita mengetahui hal itu, ulah mereka menjadi sama sekali terbalik dan mulai berani memban-tah kaum pria dalam segala hal, akibatnya ialah dalam beberapa rumah kedamaian dan ketenteraman rumah tangga senantiasa terganggu. Sayyidina Umar menerangkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w., dan berkata bahwa kecuali jika kaum wanita kadang-kadang boleh dihukum, mereka akan menjadi susah diatur dan tidak ada yang mengendalikan lagi. Karena ajaran Islam bertalian dengan perlakuan terhadap wanita-wanita belum diturunkan Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa jika seorang wanita bertindak melampaui batas, ia boleh dihukum. Hal itu pada gilirannya menjadikan kaum pria, dalam beberapa hal, kembali kepada kebiasaan kebiasaan Arab kuno. Sekarang datang lagi giliran kepada kaum wanita untuk mengeluh dan mereka membentangkan kesusahan kepada isteri-isteri Rasulullah s.a.w.. Akibatnya, Rasulullah s.a.w. menyesali kaum pria dan mengatakan kepada mereka bahwa siapa yang memperlakukan wanita-wanita secara tidak baik, tidak mungkin dapat menarik keridhaan Ilahi. Kemudian hak-hak wanita ditetapkan, dan untuk pertama kalinya wanita mulai diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang mandiri dengan hak mereka masing-masing (Abu Daud, Kitab al-Nikah).
Mu”ahiyah Al Qusyairi merihayatkan, “Aku menanyakan kepada Rasulullah s.a.w., hak apa isteriku dapat menuntut dari padaku?” dan beliau menjawab, “Berilah dia makan dari apa-apa yang Tuhan telah merezekikan kepadamu dalam urusan makan, dan berilah dia pakaian yang Tuhan telah menganugerahkannya kepadamu dalam urusan pakaian, dan janganlah menyiksa atau memaki-maki atau mengusirnya dari rumahmu.”
Beliau begitu berhati-hati tentang perasaan wanita sehingga beliau senantiasa menganjurkan kepada orang-orang yang harus melakukan perjalanan supaya menyelesaikan urusan secepat-cepatnya dan pulang selekas mungkin sehingga wanita-wanita dan anak-anak mereka tidak akan menjadi resah karena pisah lebih daripada yang benar-benar diperlukan. Jika beliau pulang dari perjalanan, beliau biasa datang siang hari. Jika beliau kembali dari perjalanan sedang hari hampir malam, beliau biasa berkemah dahulu di luar Medinah pada malam itu sebelum masuk kota di haktu pagi esok harinya. Beliau mengatakan juga kepada para Sahabat bahwa jika mereka pulang dari suatu perjalanan, mereka hendaknya tidak pulang secara tiba-tiba tanpa memberi khabar lebih dahulu tentang kedatangan mereka kembali (Bukhari dan Muslim). Dalam memberikan petunjuk-petunjuk, beliau ingat akan kenyataan bahwa perhubungan antara dua jenis kelamin itu bagian besar dipengaruhi oleh perasaan. Dalam waktu suami tidak ada di rumah seorang wanita mungkin sering abai mengurus badan sendiri dan pakaiannya, dan jika suaminya tiba-tiba pulang tanpa diduga-duga, maka perasaan halus wanita mungkin akan tersinggung. Dengan memberi petunjuk bahwa jika seseorang pulang dari perjalanan hendaklah berusaha datang ke rumah pada siang hari dan lebih dahulu memberi kabar kepada anggota-anggota keluarga tentang kedatangannya, beliau meyakinkan bahwa anggota-anggota keluarga akan siap menerima anggota keluarga yang pulang itu dengan cara yang layak.
Sebutan Khataman Nabiyin yang dikenakan kepada Hazrat Rasulullah s.a.w. mengharuskan bahwa Kitab yang diwahyukan kepada beliau adalah juga kitab yang paling sempurna dibanding semua kitab-kitab samawi lainnya serta merangkum keseluruhan keluhuran ajaran ruhani. Ketentuannya adalah sebagaimana tingkat derajat kekuatan ruhani dan kesempurnaan batin dari sosok yang menerima wahyu Allah, begitu pulalah derajat kekuatan dan keagungan dari firman bersangkutan. Mengingat kekuatan ruhani dan kesempurnaan batin Hazrat Rasulullah s.a.w. adalah dari tingkat yang paling luhur, yang tidak akan mungkin disamai atau dilampaui oleh orang lain, demikian jugalah derajat Kitab Suci Al-Quran yang keluhurannya tidak akan dapat dicapai oleh Kitab-kitab samawi terdahulu. Kemampuan dan kekuatan ruhani Hazrat Rasulullah s.a.w. adalah yang tertinggi dari semuanya, dimana semua bentuk kesempurnaan telah mencapai puncaknya dalam diri beliau. Karena itu Kitab Suci Al-Quran yang diwahyukan kepada beliau adalah juga. Kitab yang sempurna dimana keluhuran daripada mukjizat firman mencapai titik tertinggi di dalamnya. (Malfuzat, vol. II, hal. 36-37).
Wa akhiru da’wanaa ‘anilhamdulillah.