Pada prinsipnya, kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) adalah salah satu ide tentang pentingnya mendahulukan martabat manusia dalam mewujudkan HAM yang sifatnya universal. Oleh karena itu, subjek yang utama yang perlu dibela dan diangkat adalah manusianya, terlepas dari mereka yang beragama atau tidak. Maka, posisi KBB disini adalah sebagai wujud implementasi dari HAM.
Menurut Heiner Bielefeldt, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan 2010-2016 dalam kesempatan kuliah umumnya pada International Conference on Religion and Human Rights, 18 Juli 2022, bertajuk “The Contribution of Freedom of Religion or Belief to Societal Peace” yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada, sebuah kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah upaya mengedepankan inklusi sosial antar agama dan intra agama, karena tidak hanya melihat keberagaman dari agama-agama yang ada di dunia. Bahkan, keberagaman kelompok dalam satu agama tertentu, lalu kelompok yang tidak memiliki agama juga menjadi hal yang perlu dilihat sebagai diskursus untuk mencari format ideal mencapai perdamaian dan keharmonisan umat manusia. Berdasarkan hal itu, prioritas kemanusiaan adalah kunci mewujudkan prinsip ideal KBB.
Kemudian, Bielefeldt juga mengindikasikan bahwa kebebasam beragama atau berkeyakinan haruslah mengacu pada jalan damai yang menerima banyak suara-suara perbedaan dari berbagai aspek kemanusiaan. Dalam hal ini, keberagaman dalam konteks KBB juga menyasar pada isu perempuan, kepemudaan dan isu kepercayaan.
Ketiga hal tersebut cukup menjadi contoh bagaimana subjek manusia adalah instrumen utama untuk mencipatakan KBB yang ideal. Karena, selama ini, yang terjadi pada konteks di Indonesia adalah KBB yang berdasarkan pada proteksi sebuah konsep keagamaan. Artinya, KBB menjadi sempit dikarenakan berpaku pada proteksi formal terhadap agama-agama yang difasilitasi negara. Sedangkan, KBB yang utuh dan terbuka adalah pemerataan prinsip yang mengakomodir nilai-nilai humanis, sehingga dapat sejalan dengan tujuan akhir dari KBB yaitu perdamaian.
Namun, perdamaian ini juga bukan sekadar upaya formalitas untuk menciptakan harmoni dan inklusifitas sebuah masyarakat melalui kontrol kekuasaan yang dapat menimbulkan pelanggaran HAM. Bielefeldt justru menegaskan bahwa jalan damai itu harus bertujuan pada keberagaman dari manusianya, seperti latar belakang, identitas dan peran sosialnya.
Selanjutnya, dalam mendemonstrasikan nilai-nilai keberagaman di dalam KBB, diperlukan prinsip membangun kepercayaan yang transparan dan objektif. Hal itu dibutuhkan untuk mencari batas-batas masalah dari isu KBB yang terjadi karena perselisihan antar kelompok hingga terjadinya konflik. Maka dari itu, kepercayaan yang terbangun secara objektif ini adalah hasil dari langkah-langkah kritis yang tidak hanya menerima ‘trust’ sebagai suatu hal yang langsung bisa diterima, melainkan formulasi dari apa yang disebut Bielefeldt sebagai tempat bagi banyaknya suara-suara yang berbeda.
Peran Gen Z dalam KBB
Kemudian, di mana peran milenial dan Gen-Z dalam tentang ide-ide KBB ini? Berdasarkan hasil survey dari Datareportal dan data statistic dari Hootsuite.com dalam Digital Global Overview Report 2021, sebanyak 170 juta pengguna sosial media di Indonesia, 35% nya adalah kaum muda yang berusia 18-34 tahun. Penggunaan sosmed dalam sepuluh tahun terakhir ini yang pertumbuhannya 2% setiap tahun, yang menjadikan beberapa platform di sosmed sebagai sarana ekspresi ide, pikiran, emosi hingga reaksi yang bermacam-macam.
Dengan massifnya pertumbuhan penggunaan sosial media oleh milenial dan Gen-Z, maka potensi pada kampanye tentang isu-isu KBB juga besar untuk dilihat sebagai upaya menyebarluaskan pandangan baru tentang KBB yang berorientasi inklusif dalam menggaungkan nilai-nilai kemanusian dan HAM. Tentunya, literasi digital mengenai KBB dan HAM memiliki peranan penting bagi kaum muda untuk mencerna dan menyalurkan narasi-narasi KBB ini.
Baca juga artikel terkait Gen Z
Sebagai langkah pertama dalam upaya tersebut, memfiltrasi narasi-narasi yang tidak sesuai nilai-nilai kemanusiaan di sosial media penting untuk dilakukan. Contoh, ketika ada konten-konten diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia, kekerasan atas nama agama, dan bentuk pelanggaran lainnya, maka respon kritis perlu dilakukan. Karena, jika narasi-narasi diatas tersebar tanpa adanya respon dari pengguna sosmed, maka, ide-ide perdamaian melalui KBB yang berbasis humanisme ini hanya menjadi pembahasan di tingkat akademis saja.
Padahal, dunia digital sebagai salah satu media literasi berbagai ide, kreatifitas, dan paham-paham memiliki ruang yang besar untuk mengembangkan suatu nilai-nilai tersebut tidak terkecuali untuk KBB. Pada intinya kembali lagi pada pemahaman prinsip KBB itu sendiri, kecenderungan kaum muda dalam merespon isu-isu KBB adalah salah satu variable penting untuk melihat sejauh mana isu KBB ini dipahami, sudah inklusifkah? Sudah berbasis HAM kah? Sudah berorientasi pada kemanusiaankah? Mari kita diskusikan.
Penulis: Shakeel Ahmad