Oleh : Mln. Ahmad Najamuddin
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as., Pendiri Jema’at Ahmadiyah di antaranya menerima wahyu dalam bahasa Arab yang berbunyi:
يُحْيِ الدِّيْنَ وَيُقِيْمُ الشَّرِيْعَةَ
Artinya : Ia yang menghidupkan agama dan menegakkan syariat.
Tercatat sebanyak 5 kali beliau as. menerima wahyu tersebut. Beliau as. juga menerima wahyu berikut:
اِنَّ الدِّيْنَ هٌوَالْاِسْلَامُ
Artinya: Agama yang sesungguhnya ialah Islam.
Wahyu ini menunjukkan sejelas-jelasnya bahwa yang akan dihidupkan kembali oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. ialah agama Islam dan yang akan beliau as. tegakkan ialah syariat Islam. Hal ini juga berarti bahwa agama Islam di zaman beliau as. sudah mati tidak memberikan buah lagi dan syariat Islam sudah ambruk tidak berdaya lagi.
Ini memberikan arti bahwa beliau as. tidak membawa agama dan syariat baru sebab itu akan bertentangan sekali dengan wahyu-wahyu Tuhan yang beliau terima.Hadhrat khalifatul Masih II ra. menerangkan bahwa syariat terdiri dari dua segi.
Segi pertama hanya mengenai diri pribadi seseorang. Misalnya, Puasa adalah suatu hukum syariat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh individu tanpa perlu berkaitan dengan orang lain atau bantuan orang lain.
Segi kedua dari syariat ialah yang pelaksanaannya harus bersama dengan orang lain.“Demikian pula ada beberapa aspek ajaran Islam yang menyangkut masalah politik yang memerlukan suatu sistem dan suatu organisasi, kalau aspek-aspek itu harus dilaksanakan dengan baik. Umpamanya syariat menghendaki supaya nilai dan harga pasaran dalam beberapa hal harus dikendalikan secara tertentu. Jelaslah bahwa ajaran itu tidak akan dapat dilaksanakan jika tidak dilaksanakan di seluruh masyarakat sebagai suatu keseluruhan dalam bentuk perekonomian yang baik berdasarkan ajaran syariat” (Real Revolution, Hal. 151-152)
Dalam kaitannya dengan Jemaat Ahmadiyah beliau ra. menjelaskan bahwa, ”Kewajiban menegakkan syariat terdiri dari dua bagian penting; Pertama yang jatuh dalam lingkungan kewajiban pemerintah negara yang didirikan dengan sah. Dan kedua yang jatuh dalam lingkungan kewajiban Jema’at sendiri.”
“Hal- hal yang termasuk dalam lingkungan kewajiban pemerintah ialah umpamanya hukum Islam bahwa tangan pencuri harus dipotong (ditahan), atau bahwa seorang yang bersalah membunuh tidak harus dihukum mati, karena kaum kerabat dari korban pembunuhan dapat mendesakkan hukum mati atau memberikan pengampunan. Semua ini termasuk dalam fungsi-fungsi pemerintah sehingga kita tidak melaksanakan hukuman-hukuman semacam itu.”
“Atau ada suatu prinsip Islam dimana seseorang yang dituduh bersalah melakukan pembunuhan harus diserahkan kepada kerabat dekat dari korban, sedangkan menurut undang-undang negara, pemerintah tidak menyerahkan pembunuh itu dan negara sendiri yang berhak melakukan hukuman mati.” (Real Revolution, Hal. 177-178).Jadi, dalam melaksanakan hukum-hukum syariat Islam Jemaat Ahmadiyah melakukan dua cara.
Pertama, hukum-hukum yang dapat dilaksanakan sendiri oleh Jemaat Ahmadiyah dengan tidak bertentangan dengan undang-undang negara di mana ia berada, itu akan dilakukan sendiri oleh Jemaat.
Kedua, bila hal yang itu termasuk dalam kewajiban negara, Jemaat tidak melaksanakannya, melainkan menyerahkannya kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Dengan demikian peranan pemerintah sebagai pelaksana hukum-hukum syariat Islam sangat penting. Tanpa pemerintah, kepentingan bersama dari suatu kaum sebelumnya tidak dapat diwujudkan.
Sedangkan, Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu organisasi tidak bergerak dalam bidang politik dan tidak berambisi politik. Hal ini sesuatu yang prinsipil. Sebab, Pendiri Jemaat Ahmadiyah melakukan tugas beliau secara jamal. Yang beliau as. lakukan hanya kekuatan rohani atau moral force. Beliau as. tidak memegang kendali pemerintahan. Dengan demikian, semua Khalifah yang menggantikan beliau (as) kemudian juga tidak akan menjadi penguasa negara.
Hadhrat Khalifatul Masih II ra. bersabda, ”Tujuan dari Ahmadiyah ialah semata-mata hendak menimbulkan persatuan di kalangan umat Islam. Ahmadiyah tidak menginginkan kerajaan ataupun ada ambisi mempunyai pemerintahan. Ahmadiyah dilahirkan dengan tujuan hendak memperbaiki kehidupan agama dari orang-orang Islam serta mengkonsolidir mereka sehingga mereka bersatupadu untuk dapat mengkonfrontir musuh-musuh Islam dengan senjata akhlaq dan kerohanian.”(Apakah Ahmadiyah Itu?)
Sikap demikian dijalankan dan akan terus dijalankan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai organisasi yg akan tetap berada di luar pagar daerah politik. Sikap dan cara perjuangan Ahmadiyah Indonesia ini telah ditegaskan dalam Anggaran Dasar Jemaat Ahmadiyah Indonesia bahwa:
BAB II. Asas. Pasal 2.Jemaat Ahmadiyah Indonesia berasaskan Pancasila.
BAB III. Tujuan Pasal 3.
- Jemaat Ahmadiyah di Indonesia menghayati, mengamalkan dan mengamankan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
- Jemaat Ahmadiyah Indonesia bertujuan:
- Mengembangkan Agama Islam, ajaran Nabi Muhammad saw. menurut Al-Qur’an, Sunah dan Hadits.
- Membina dan memelihara persatuan dan kesatuan Bangsa serta meningkatkan kemampuan para anggotanya baik dalam bidang sosial, pendidikan, kebudayaan, akhlak, amal bakti, maupun kerohanian.
BAB IV. Usaha. Pasal 4.
- Untuk mencapai tujuan tersebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia:
- Berpartisipasi dalam usaha pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
- Mengembankan agama Islam dengan lisan, tulisan dan amal baik.
- Menyelenggarakan pendidikan, latihan, dan mendirikan badan badan sosial.
- Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, ceramah ceramah, serta penerbitan dan siaran siaran.
- Menjalankan kegiatan lain yang sah, sesuai denga perundang undangan yang berlaku.
Dan Anggaran Dasar ini telah disetujui oleh Khalifah Jemaat Ahmadiyah dan telah disahkan oleh Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tertanggal 13 Maret 1953, No. J.A. 5/23/13 (Tambahan Berita Negara R.I. tanggal 13-3-1953, No.26) dan Revisi No.39. 1989 Anggaran Serikat-serikat, Tambahan Berita Negara R.I tanggal 15/8 – 1989 No. 65. Tentang Perubahan Anggaran Dasar Jemaat Ahmadiyah Indonesia Nomor 20.
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad Khalifatul Masih Ats-Tsani ra. telah mengajarkan supaya setiap ahmadi setia kepada negaranya. Dengan tegas beliau ra. bersabda, “Keyakinan kami ialah bahwa Islam menghendaki agar setiap orang setia dan loyal kepada negara dimana ia berada.”
“Persangkaan bahwa kaum Ahmadiyah di India dan Pakistan akan tetap loyal kepada pemerintah mereka masing-masing hanya selama Imam Ahmadiyah menuntut supaya mereka berbuat demikian, adalah perkiraan yang tidak wajar dan bodoh. Dalam hal ini Imam Ahmadiyah tidak punya hak istimewa. Kewajibannya ialah memudahkan, melaksanakan ajaran dan jiwa Islam. Bukan untuk mengubah suatu titik pun daripadanya. Tugasnya ialah untuk menggenapkan bukan untuk menghancurkan.”
“Menurut hemat kami, setia kepada suatu pemerintahan atau kepada negara diperintahkan oleh Al-Qur’an suci. Dan Al-Qur’an adalah kitab Tuhan. Imam atau Khalifah Ahmadiyah tidak mempunyai hak untuk mengubah suatu perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Qur’an adalah kitab Allah swt. Khalifah adalah penerus bukan diktator. Seorang wakil terikat oleh wewenang, seperti juga lain-lainnya” (Al-fazal, 5 April 1949)
Pada tempat lain beliau ra. bersabda, ”Pegawai-pegawai pemerintah, asisten-asisten, adalah kewajiban dari setiap kaum Ahmadiyah untuk melaksanakan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk yang dikeluarkan bagi kalian oleh pemerintah, baik itu kewajiban khusus dan berat. Bila Pemerintah membuat suatu hal yang mengikat maka tidak boleh ada suatu penyimpangan daripadanya sekalipun hanya sehalus sehelai rambut. Kepercayaan yang tulus tidak mengandung sesuatu yang lainnya.”
Dari hal-hal yang dikutip di atas, jelas bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia akan taat dan patuh kepada setiap undang-undang yang dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia dan Pemerintahnya. Dalam hal ini termasuk persoalan Pancasila sebagai asas tunggal untuk semua organisasi masyarakat di Indonesia.
Dengan disahkannya Anggaran Dasar Jemaat Ahmadiyah Indonesia oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai badan hukum, dan mencantumkannya bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia berasaskan Pancasila, maka Pancasila sudah menjadi falsafah hidup yang penting bagi setiap ahmadi Indonesia.
Poin-poin dalam Pancasila tidak bertentangan dengan agama, bahkan ia bersesuaian dengan agama. Namun ia tidak identik dengan agama. Pancasila tidak dapat menggantikan peranan agama. Pancasila adalah hasil penggalian dari pemikiran dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang kebetulan sesuai dengan ajaran Islam.
Seperti sila pertama dari Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rumusan ini dipergunakan kata sifat Maha. Ini menunjukkan bahwa keesaan itu mempunyai dimensi yang sebesar-besarnya dan mutlak. Ini dijelaskan bahwa, “Yang Maha Esa berarti Yang Maha Satu atau Yang Maha Tunggal dan tidak ada taranya. Dia Esa dalam Dzat-Nya, Esa dalam sifat-Nya dan Esa dalam perbuatan-Nya. Oleh karena kekhususan-Nya itu, tidak ada yang menyamainya. Dia Maha Sempurna.” (Buku Mata Pelajaran PMP, SLTA Kelas I, 1987)
Lukisan semacam itu hanya dapat dinisbatkan kepada sifat-sifat Tuhan dalam Al-Qur’an. Dan keseluruhan lukisan kekhususan dari Tuhan itu terungkap dalam Al-Qur’an dengan kalimat pendek
:لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.
Setiap suatu barang pernah tidak ada, kemudian dijadikan Tuhan. Sedangkan Tuhan tidak bermula dan tidak berakhir.Kemudian bahwa keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sudah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman purba sebelum bangsa-bangsa asing melakukan penetrasi ke Nusantara. Ini juga adalah kebenaran yang sejati. Al-Qur’an juga menunjang hal itu. Sebab Allah swt. telah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ اُمَّةٍ رَسُوْلًا
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus dalam tiap tiap umat seorang Rasul. (An-Nahl : 36)
Yang maksudnya tidak ada satu bangsa dahulu kala, melainkan Allah swt. telah mengirimkan seorang Rasul kepada mereka, dan setiap Nabi yang diutus itu selalu mengajarkan tauhid atau Keesaan Tuhan.Jadi dari ayat Al-Qur’an ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa dahulu kala bangsa Indonesia tentu pernah mempunyai seorang nabi, bahkan mungkin banyak yang mengajarkan tentang Keesaan Tuhan.
Dan adapun empat sila lainnya dari Pancasila selaras juga dengan ajaran-ajaran Islam. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kesemuanya mempunyai kesesuaian dalam ayat-ayat Alquran.Berdasarkan uraian di atas maka Pancasila sebagai Asas Tunggal sangatlah penting bagi Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Hal itu tidak akan merugikan ajaran Islam yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan juga tidak bertentangan dengan pelajaran apa pun yang ada dalam Muslim Ahmadiyah.