Oleh: Mln. Muhammad Idris, Medan – Sumatera Utara
Diskursus mengenai makna Toleransi biasanya mencuat kembali menjelang Natal yang dirayakan oleh umat Kristiani. Banyak diantara kalangan Muslim yang mempersoalkan boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal kepada mereka. Ada yang beranggapan, bagi umat Islam yang membolehkan mengucapkannya sudah menerapkan konsep Toleransi yang kebablasan.
Mengapa mereka beranggapan demikian? Sebab mereka telah menyempitkan makna dari Toleransi sehingga menjadi terkesan ‘selfish’ ataupun egois. Sebagai contohnya toleransi dimaknai dengan ‘biarkan’ yang kalau dijabarkan lagi bisa juga bermakna ‘cuek’, ‘masa bodoh’, ‘tidak peduli’ sehingga sama sekali tidak ditemukan spirit membangun hubungan baik dan menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Tapi biar bagaimanapun juga saya masih mengapresiasi pemahaman demikian daripada beberapa orang yang sama sekali tak kenal dengan kata toleransi sehingga jangankan membiarkan, yang ada mereka bahkan menggangu, lebih ekstrim lagi bertindak radikal terhadap yang berbeda.
Lalu bagaimana sebenarnya Islam memaknai kata toleransi itu sendiri? Toleransi sejatinya adalah kata yang diadopsi dari bahasa latin tolerare yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kata Tolerance menurut Oxford Dictionary bermakna willingness or ability to accept what other people say or do even if you do not agree with it, or people who are not like you (kesediaan atau kemampuan untuk menerima apa yang orang lain katakan atau lakukan meskipun kamu tidak sependapat dengannya, ataupun orang tersebut tidak sama denganmu).
Bila melihat penjabaran dari makna tolerance di atas, ada kemauan dan upaya memampukan diri untuk bisa menerima perbedaan. Tidak ada keterpaksaan disana, bahkan secara spiritual bisa bermakna lebih dari itu yaitu orang yang toleran adalah orang yang bahagia melihat perbedaan karena menganggap perbedaan adalah sebuah anugerah. Jadi sekali lagi menurut bahasa Inggris sendiri yang mana kata toleransi itu diadopsi, Tolerance bukanlah Ignorance; Toleransi itu bukanlah bermakna biarkan, tidak peduli ataupun bersikap masa bodoh!
Mari coba kita lihat bersama definisi dari toleransi menurut bahasa Arab, bahasa yang dipergunakan oleh Al Quran. Padanan kata yang dipergunakan dalam bahasa Arab untuk kata toleransi adalah at-Tasamuh yang secara bahasa memiliki beberapa arti, antara lain mempermudah (at-tasahul), murah hati (al-hilm), memaafkan (al-’afwu). At-Tasamuh memiliki makna yang lebih luas dari kata tolerance itu sendiri. Ada unsur mempermudah, murah hati dan memaafkan. Penggunaan kata at-Tasamuh sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana ajaran toleransi dalam Islam. That is great!
Sekarang marilah kita sekilas melihat, bagaimana Junjungan kita Yang Mulia Rasulullah ﷺ ber-tasamuh! Bila melihat makna dari toleransi sebagai sebuah pembiaran, atau ketidakpedulian, maka bila ada tetanggamu yang non-Muslim sakit atau terkena musibah, bagaimana kita bertoleransi? Biarkan saja! Apakah demikian yang dicontohkan Rasulullah ﷺ? Tentu saja tidak! Diinformasikan oleh sejarawan, ketika tetangga Rasulullah ﷺ yang memeluk agama Yahudi sakit, Nabi ﷺ datang menjenguknya. Anas bin Malik meriwayatkan, ketika pembantu Nabi Muhammad ﷺ yang menganut Yahudi sakit beliau menjenguk dan duduk di samping kepalanya untuk menghibur. Setiap kali Abu Thalib, paman Nabi Muhammad ﷺ yang memeluk paganism (penyembah berhala) sakit nabi Saw datang menjenguknya. (Munqidz bin Mahmud al-Saqar, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Muslim, tp. tt. hal. 24)
Bila toleransi itu bermakna ‘biarkan’, perlukah kita bertukar hadiah kepada non-Muslims? Tentu jawabannya adalah tidak perlu, biarkan saja! Lalu bagaimanakah contoh dari Rasulullah ﷺ? Justru sebaliknya, Padahal Nabi ﷺ juga sering bertukar hadiah dengan penganut agama lain. Anas bin Malik menginformasikan, Ukaidar Daumah al-Jandal (pemimpin kota di dekat daerah Tabuk) yang beragama Kristen memberi hadiah berupa pakaian sutra kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan Nabi ﷺ menerimanya. Ibnu Zanjawaih menceritakan, Nabi Muhammad ﷺ pernah mengirim hadiah kurma bungkusan kepada Abu Sufyan yang menganut paganisme di Makkah. Dalam hadiah tersebut Nabi ﷺ juga mengirim surat yang berisi permintaannya kepada Abu Sufyan untuk membalas hadiah Nabi ﷺ dengan mengirim lauk makan. (Munqidz bin Mahmud al-Saqar, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Muslim, tp. tt. hal. 24).
Bagaimanakah kamu bertoleransi dengan tetanggamu yang non-Muslim? Bagi yang berpemahaman sempit, jawabannya tentu saja ya biarkan sajalah mereka. Apakah demikian yang dicontohkan Rasulullah ﷺ? Tentu saja tidak! Salah satu sahabat nabi Saw, Abdullah bin Amr, berpesan kepada pembantunya yang sedang menyembelih kambing nanti kalau sudah dimasak supaya tetangganya yang menganut agama Yahudi dikasih masakannya. Salah satu sahabat berkata kepada Abdullah bin Amr: “(Tetangga) Yahudi? Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu.” Lalu Abdullah berkata: “Aku pernah mendengar nabi Muhammad Saw berpesan supaya berbuat baik kepada tetangga.” (Munqidz bin Mahmud al-Saqar, Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Muslim, tp. tt. hal. 25).
Selanjutnya bagaimana sikap kita terhadap non-Muslim yang membutuhkan tempat untuk beribadah karena satu dan lain hal? Bagi yang berpaham ‘tolerance is ignorance’ tentu saja akan berucap, ya biarkan saja lah, untuk apa kita ikut-ikutan? Itu bukan urusan kita! Lalu apakah demikian yang dicontohkan Nabi ﷺ? Tentu saja tidak! Suatu ketika saat umat Kristen Najran bersilaturahim kepada Nabi Muhammad ﷺ beliau menempatkannya di masjid, dan Nabi ﷺ mempersilahkan mereka untuk melaksanakan misa di dalam masjid. Sehingga masjid tersebut sebagian digunakan untuk shalat Nabi ﷺ bersama sahabat-sahabatnya, dan bagian lainnya digunakan misa umat Kristiani dari Najran. (Fahmi Huwaidi, Muwathinun La Dzimmiyun, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. III, 1999, hal. 66-67)
Kemudian bagaimana sikap kita terhadap tamu non-Muslim yang mengunjungi kita? Bagi yang berpaham toleransi adalah pembiaran maka jawabannya ya biarkan saja mereka datang, untuk apa repot-repot segala! Tapi biasanya orang-orang seperti ini tidak memiki kawan non-Muslim juga, sebisa mungkin menghindarinya. Lalu bagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ? Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima kunjungan umat Kristen Habasyah, beliau ﷺ menempatkannya di masjid Nabi ﷺ menjamu dan meladeninya sendiri. Beliau ﷺ bersabda: “Mereka (Kristiani tanah Habasyah) telah memuliakan sahabat-sahabatku, oleh karena itu aku senang memuliakan mereka dengan tenagaku sendiri.” (Fahmi Huwaidi, Muwathinun La Dzimmiyun, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. III, 1999, hal. 66)
Demikianlah contoh dan tuntunan dari Nabi Karim ﷺ tentang bagaimana kita harus ber-tasamuh (toleransi) terhadap mereka yang non-Muslim. Dan masih banyak lagi contoh dan teladan beliau ﷺ dalam bertasamuh. Oleh karena itulah para orientalis Barat pun mau tak mau harus mengakui bahwa sosok Rasulullah ﷺ adalah wujud Rahmat bagi semesta alam dengan ajaran-ajaran kasihnya. Bila Rasulullah ﷺ melihat non-Muslim dengan pandangan yang penuh kasih sayang sebagaimana umat Kristiani di tanah Habsyah telah memuliakan para sahabat (ra) saat mereka berhijarah kesana, seharusnya kita pun mengikuti contoh dan teladan yang mulia tersebut. Toleransi menurut Islam sama sekali tidak bertentangan sosok Rasulullah ﷺ yang telah ditakdirkan Allah sebagai rahmatul lil ‘Aalamiin (Kasih Sayang bagi semesta alam). Jadi bertoleransilah sesuai dengan contoh dan teladan Rasulullah ﷺ.
Lalu bagaimana dengan ayat Lakum diinukum waliyadiin? Makanya baca ayat jangan sepotong saja, bacalah ayat sebelumnya yang menyatakan Laa a’budu maa ta’buduun, wa laa antum ‘aabiduuna maa a’bud; Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah. Jadi tidak bijaksana bila mengaitkan ayat tersebut dengan bertasamuh dalam Islam, karena bertoleransi bukanlah untuk mengimani apa yang mereka imani. Sama sekali bukan! Ayat tersebut adalah menunjukkan tidak ada paksaan dalam Islam untuk memeluk suatu agama dan keyakinan. Berdakwah itu kewajiban bagi setiap muslim namun tidak untuk memaksa mereka yang non-Muslim beriman dalam Islam.
Mari bertoleransi dengan benar sehingga toleransi yang kita lakukan mencerminkan ajaran Islam yang ‘Rahmatul Lil ‘Aalamiin’ yakni Islam yang menebar cinta dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Islam yang esensi ajarannya adalah Love for all hatred for None; cinta untuk semua tiada benci bagi siapapun.