Beragama dan berkeyakinan adalah satu ranah privat. Di saat yang sama, negara memiliki domain untuk menciptakan harmonisasi dan kerukunan dalam kehidupan umat beragama. Dalam hal mengekspresikan keyakinannya tersebut, apakah berarti negara masuk ke ranah privat warga negaranya?
Beragama dan Pengalaman Beragama Individu
Ekspresi dan manifestasi pengalaman beragama pada dasarnya merupakan pengalaman diri yang timbul dari pemikiran tentang kepercayaan dan keyakinan tersebut. Keyakinan tersebut kemudian mendapat tempat sebagai realitas tertinggi yang diperoleh melalui serangkaian proses pembelajaran dan interaksi sosial.
Pengalaman keagamaan bersifat unik, dalam konteks bisa saja berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Apalagi, jika menyangkut kelompok agama. Setiap pelaku agama, karena keyakinannya pada realitas tertinggi tersebut, pasti akan memberikan klaim “paling benar” terhadap apa yang mereka ekspresikan.
Ekspresi tersebut, pastilah akan berbeda antara satu individu dengan yang lain. Secara ritual kasat mata barangkali terlihat sama. Sebagai contoh, umat Islam memiliki cara yang seragam dalam salat yaitu dengan berdiri menghadap kiblat, suci dari hadas besar dan kecil, menutup aurat dan melengkapi rukun-rukun salat. Namun untuk “menemukan Tuhan” di dalam salat, setiap individu akan memiliki cara yang berbeda berdasarkan pengalamannya masing-masing.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka terurai bahwa antar individu sekalipun, pengalaman beragama dalam konteks untuk menemukan realitas tertinggi tidak bisa disamakan. Lalu bagaimana kelompok lain – bahkan negara – bisa mengatur hingga membuat “penyamaan” kondisi tersebut.
Landasan Kebebasan Beragama di Indonesia
Kebebasan beragama sendiri di Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan juga telah diatur dalam Undang-undang Dasar tahun 1945. Lebih rinci disebutkan sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) yang berbunyi, (1) “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
2. Pasal 28 E ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi, (1) “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Meskipun tercantum tegas aturan dan jaminan kebebasan beragama, namun pada praktiknya tidak secara mutlak diberikan begitu saja tanpa ada rambu-rambu pembatasannya. Kebebasan beragama bisa dibatasi selama kebebasan yang telah diberikan tersebut dapat mengganggu kebebasan orang lain dan dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun undang-undang yang mengatur pembatasan tersebut yakni:
1. UUD 1945 pasal 28 J ayat (2) menegaskan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
2. Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menegaskan bahwa “ Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, ketentuan pasal 73 UU HAM yang menegaskan bahwa “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
4. Pasal 18 ayat(3) Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Sosial dan Politik (UU ICCPR) yang menegaskan bahwa “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain”.
Implementasi Kebebasan Beragama di Indonesia
Untuk selanjutnya yang perlu dipelajari lagi dalam hal ini adalah kebesan beragama masuk kedalam beberapa dari hak asasi manusia. Dimana masih terdapat banyak perihal yang dilanggar terhadap kebebasan beragama atau sering diistilahkan sebagai perilaku intoleransi penindasan yang cenderung bersifat anarkis.
Banyak sekali ditemukan kasus-kasus dimana masih adanya diskriminasi terhadap suatu kelompok agama tertentu yang sudah jelas hal tersebut melanggar sebuah hak kebebasan beragama. Hal tersebut bertentangan dengan aturan perundang-undangan Nomor 39 Tahun 1990 Pasal 22 ayat(1) yang tertulis “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Jika ingin dijelaskan lagi ada banyak contoh kasus pelanggaran hak kebebasan dalam konteks keagamaan yang telah disadari benar adanya di Indonesia ini. Perlu diingat kembali beberapa kasus dimana warga yang sedang menjalankan Ibadah Minggu tiba-tiba mendapat serangan dari warga yang berbeda keyakinan yang ingin menutup tempat tersebut, dimana aksi ini menyebabkan kericuhan antar sesama warga.
Beberapa kasus lain ialah sulitnya mendapat izin pembangunan gereja di daerah setempatdan juga yang perlu mendapatkan fokus perhatian adalah dimana sering terjadi teror bom bunuh diri pada tempat-tempat ibadah tertentu. Yang jelas sudah hal ini menimbulkan banyak ketakukan, ketidaknyamanan juga kekhawatiran bagi umat agama tersebut juga kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agama dan kelompok agama yang mendominasi selalu menganggap bahwa alirannya merupakan yang paling baik dan menganggap kecil terhadap minoritas. Disini kelompok agama dominan berusaha keras untuk menunjukkan kekuasaan dengan menolak terhadap apapun yang bertentangan dengan dirinya. Dilihat dari berbagai fenomena penolakan pembangunan gerejagereja yang begitu sulit untuk mendapatkan izin pembangunan, bahkan penolakan dari korban bencana terhadap bantuan yang datang umat agama lain.
Disini kita telah mengetahu bahwa agama memiliki dua sisi. Satu sisi agama dapat dijadikan sebagai sumber pemersatu dan modal inspirasi bagi sebuah peradaban, namun di lain sisi tidak jarang agama muncul sebagai inti dari timbulnya faktor pemecah belah manusia. Negara sebagai otoritas tertinggi berkepentingan untuk melindungi segenap entitas yang ada dan menjadi bagian darinya. Negara pulalah yang berkewajiban untuk menyatukan ragam perbedaan yang ada dalam sebuah konsensus berkenaan dengan cita-cita bersama.
Namun lain dari sebuah keinginan menyatukan atau menyamakan persepsi terkait hak kebebasan beragama, justru yang sering kali muncul adalah munculnya potensi pertentangan terkait fakta dari terdapatnya nilai-nilai particular yang terdapat pada masing-masing negara.
Dampak Intoleransi Agama Bagi Perempuan
Tidak terlaksananya kebebasan beragama dan berkeyakinan akan memberikan dampak berupa berbagai penderitaan. Laki-laki, perempuan maupun anak-anak akan mengalami akibat fisik, psikis, hingga kehilangan nyawa. Sebagai perempuan, dampak ini akan semakin berat, sebagai minoritas maupun sebagai perempuan itu sendiri.
1. Kecemasan tentang Masa Depan
Hal pertama yang kerap terlewat untuk disadari adalah “kesepakatan” tanggung jawab pendidikan generasi di pundak kaum ibu. Setiap kalangan pasti menempatkan perempuan sebagai pendidik pertama putra-putrinya, alih-alih kepada kaum bapak
Dengan adanya deraan kekerasan atau tindakan intoleransi terhadap kebebasan beragama, tak sedikit yang berdampak menimbulkan trauma pada anak sehingga mereka enggak ke rumah ibadah. Maka jelas, kaum ibu akan mengkhawatirkan masa depan anaknya ketika menjauh dari agama dan rumah ibadah.
Bagian dari hak kebebasan beragama adalah hak orang tua untuk menentukan pendidikan agama bagi anaknya. Sebuah contoh konkret adalah ketika terjadi penyegelan beberapa madrasah di lingkungan Jemaat Ahmadiyah, meskipun madrasah tersebut tetap mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Akibatnya, anak-anak Ahmadiyah sejenak terhenti aktivitas belajarnya, karena tidak mungkin juga harus mencari sekolah lain yang lebih jauh dari domisilinya.
2. Relasi Sosial Renggang
Sikap dan tindakan intoleransi menyebabkan perempuan tidak lagi bisa menikmati keakraban dalam bertetangga. Stigma di lingkungan sosial tentu saja membuat perempuan menjauh dan menarik diri dari kehidupan bermasyarakat, karena enggan mendengar penghakiman sosial.
Prasangka ini bahkan merembet ketika kaum minoritas hendak melakukan kegiatan sosial. Pembagian sembako atau bantuan bencana dari kelompok non-Islam misalnya, ditolak oleh kelompok Islam dengan tuduhan mengandung tujuan kristenisasi atau misi keagamaan non-Islam.
3. Gangguan Kesehatan Fisik dan Mental
Penyerangan membuat anggota kelompok keagamaan hanya berpikir untuk menyelamatkan diri tanpa memperhatikan kondisi fisik. Pada kasus penyerangan Ahmadiyah di Ketapang, Nusa Tenggara Barat, seorang ibu hamil mengalami keguguran ketika melarikan diri. Tidak berhenti di sana, akses kesehatan pun menjadi sulit didapatkan oleh warga Ahmadiyah.
4. Masalah Kependudukan
Meskipun hal ini juga dialami laki-laki, namun lebih terasa dampaknya pada perempuan ketika dipersulit mendapatkan identitas (KTP) dan pencatatan pernikahan. Ada efek jangka panjang yang akan dialami perempuan jika pernikahannya tidak mendapat pencatatan resmi.
5. Masalah Hubungan Rumah Tangga
Keretakan rumah tangga juga bisa dipicu karena masalah keyakinan. Telah disinggung di atas bagaimana intoleransi bisa membuat anak menjauh dari ibadahnya. Bukan tidak mungkin hal ini akan menimpakan kesalahan kepada “sang pendidik” pertama di rumah yaitu ibu.
Keretakan ini akan merembet ke keluarga besar, dalam kasus pernikahan berbeda kelompok. Seorang perempuan Ahmadiyah yang menikah dengan suami yang berasal bukan dari keluarga besar Ahmadiyah, bukan tidak mungkin akan mendapat diskriminasi atau penghakiman dari kalangan internal keluarga besar suami, hanya dengan melihat maraknya berita negatif di media.
Kembali ditegaskan, bahwa pengalaman beragama setiap individu adalah proses pembelajaran dan interaksi individu tersebut menemukan realitas tertinggi. Maka, negara seharusnya berperan melindungi warga negaranya menemukan kenyamanan dalam mengekspresikan keyakinannya itu.