Jika berbicara mengenai perayaan Hari Raya Imlek tentu tidak lepas dari sosok KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Meskipun beliau bukan keturunan Tionghoa apalagi beragama Konghucu, namun hampir di setiap peringatan Imlek nama beliau selalu disebut-sebut.
KH. Abdurrahman Wahid dilahirkan di Jombang, 7 September 1940. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan kemudian diganti dengan nama “Wahid”. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH. Bisri Syansuri yang merupakan pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Sedangkan saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Gus Dur menikah dengan Shinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Tokoh Muslim Indonesia yang pernah menjadi Presiden Indonesia keempat tersebut adalah pemimpin negara yang pertama kali memperjuangkan kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia dalam posisi yang semestinya, yakni sebagai warga negara yang setara dengan etnis lainnya. Masih segar ingatan kita, bagaimana Gus Dur tampil pada masa-masa sulit etnis ini di Indonesia pada 1998.
Saat itu, langkah Gus Dur dianggap sulit dinalar, bahkan dianggap bertentangan dengan pendapat umum yang menimpakan kesalahan pada orang-orang Tionghoa sebagai penyebab krisis ekonomi pada waktu itu. Beberapa saat setelah tragedi Mei 1998, Gus Dur (yang masih menjabat Ketua Umum PBNU) menyerukan kepada keturunan China yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia dan menjamin keselamatan mereka.
Beberapa saat setelah tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa banyak mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pribumi. Toko dan rumah-rumah mereka dijarah, bahkan konon dalam tragedi itu menelan banyak korban jiwa. Akibatnya, banyak orang Tionghoa kemudian melarikan diri ke luar negeri.
Gus Dur, atas nama Ketua Umum PBNU saat itu, menyerukan kepada keturunan China yang berada di luar negeri untuk segera kembali ke Indonesia dan menjamin keselamatan mereka. Begitu juga kepada warga pribumi, Gus Dur mengimbau agar mereka mau menerima dan membaur dengan warga keturunan Tionghoa tersebut.
Perjuangan Gus Dur membela minoritas Tionghoa semakin tegas ketika beliau menjadi Presiden Republik Indonesia keempat. Hal itu diwujudkannya melalui berbagai kebijakan. Diantaranya beliau mengeluarkan kebijakan dengan mencabut Inpres No. 6 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978 tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, dengan di keluarkannya Keppres No. 06 tahun 2000 sehingga etnis Tionghoa bisa mendapatkan hak-hak kewarganegaraannya dan dapat memeluk keyakinannya sebagai penganut agama Khonghucu. Saat itu pula mereka dapat merayakan kegiatan-kegiatan keagaamannya secara terbuka, termasuk Imlek.
Inpres tersebut kemudian dilanjutkan oleh Presiden selanjutnya, Megawati, dengan penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002.
Berkat jasa beliau tersebut,Gus Dur juga mendapat gelar ‘Bapak Tionghoa Indonesia’ pada 10 Maret 2004 silam dari klenteng Tay Kek Sie, Semarang. Gelar itu bukan didasarkan pada keturunan Tionghoa yang diklaim Gus Dur, melaikan karena kebijakan dan pemikiran-pemikirannya yang plural.
Selain itu rakyat Indonesia terutama masyarakat Papua menilai Gus Dur telah berjasa dalam menegakkan HAM, termasuk membela hak-hak mereka. Penilaian didasarkan saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden yang pernah mengembalikan nama Papua yang sempat diganti menjadi Irian.
Pada tanggal 14 November 2006, Gus Dur dianugerahi gelar pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Masyarakat Adat Papua. Secara simbolik mereka menyerahkan pelakat bergambar kapak batu dan ukiran adat Sentani. Pelakat diserahkan oleh Ketua Dewan Adat Papua Tom Beanal dan disaksikan sedikitnya seribu tokoh adat dan warga Papua di Gedung Olah Raga Cendrawasih, Jayapura.
Bukan hanya pengakuan dari dalam negeri, bahkan dunia pun mengakui peran Gus Dur dalam memperjuangkan HAM dan pluralisme di Indonesia. Beberapa penghargaan dan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dianugerakan kepada beliau.
Memang sejatinya Gus Dur telah wafat pada tanggal 30 Desember 2009. Namun buah pemikirannya selalu hidup dan dikenang. Hal itu terbukti dengan adanya lembaga, kelompok maupun komunitas yang melestarikan pemikiran beliau dan berusaha memewujudkan prinsip dan cita-cita intelektualnya, seperti Wahid Institute dan GUSDURian.
Penulis: Nu’man Ahmad
Editor: Mubarak