Violin Partita no. 3 in E major, BWV 1006: III. Gavotte en rondeau.
Begitulah judul lengkap salah satu dari komposisi karya Johann Sebastian Bach. Kita secara singkat mengenalnya sebagai Gavotte en Rondeau saja. Komposisi yang aslinya diperuntukkan untuk biola ini justru pertama kali saya dengar melalui permaian Andrés Segovia (1893-1987), gitaris kelahiran Spanyol yang dijuluki sebagai Bapak Gitar Klasik Modern. Baru kemudian versi biolanya yang dimainkan oleh Augustin Hadelich.
Nuansa riang meruak dan menjalar ke hati setiap kali memutar lagu karya Bach tersebut. Kaki pun secara ritmis mengetuk-ngetuk pelan lantai. Tanpa sadar sebuah sensasi telah ternikmati. Ia adalah karunia bernama harmoni.
Gavotte en Rondeau (Gavotte dalam Rondo) merupakan gerakan ketiga dari enam gerakan (bagian) yang dalam Partita No. 3 in E major for solo violin, BWV 1006 yang diperkirakan ditulis oleh Bach pada tahun 1703. Sementara gerakan-gerakan selengkapnya adalah 1. Preludio, 2. Loure, 3. Gavotte en Rondeau, 4. Menuet (I dan II), 5. Bourrée dan 6. Gigue.
Menurut John Hall dalam Gavotte en Rondeau by J.S. Bach, BWV 1006a – An Analysis:
“Gavotte en Rondeau secara formal merupakan sebuah tema (mm. 1-8) dengan serangkaian ‘bait’ yang terjadi di antara setiap pengulangan tema ini. Ini pada dasarnya adalah struktur dari setiap bentuk rondo; sebuah tema yang terus kembali dengan materi baru yang berselingan di antara pengulangan tema.”
Karunia Terbesar Itu Bernama Kesadaran
Gavotte sendiri adalah sebuah tarian tradisional di Prancis dari kalangan orang-orang Gavot. Sementara itu, rondo (Prancis: rondeau) adalah bentuk musik yang berkarakter semangat. Salah satu komposisi klasik yang paling populer dengan karakter musik rondo adalah Alla Turca.
Sebuah gerakan terakhir dari tiga gerakan Piano Sonata No. 11 in A major, K. 331/300i karya Mozart. Ringkas kata, Gavotte en Roundeau mampu menciptakan sebentuk keriangan saat kita mendengarkannya. Sebuah nikmat musikal yang menggugah rasa syukur atas limpahan karunia-karunia dari Sang Pencipta. Dalam perspektif ini, tidaklah terlalu keliru bila kita menyebut kesadaran ini sebagai religiusitas musikal.
Berbicara tentang karunia, kesadaran merupakan salah satu karunia yang paling luar biasa. Kemampuan menanya, menalar dan bahkan mempertanyakan keberadaan diri kita merupakan karunia yang hanya dimiliki oleh kita sebagai manusia. Secara anatomis, otak adalah bagian tercerdas dalam tubuh kita yang bertanggung jawab dalam menalar karunia kesadaran ini.
Kesadaran pula yang membuat kita memiliki kemampuan untuk merasakan kebahagiaan yang sejati. Dan karena kebahagiaan sejati manusia adalah mengenal Penciptanya melalui pemenuhan tujuan penciptaan dirinya, maka kemampuan berkesadaran inilah yang Sang Pencipta berikan kepada manusia di atas segenap ciptaan-Nya.
Kesadaran inilah yang secara fitrati akan mendorong kita, manusia, untuk mencari sumber kebahagian sejati. Segala keindahan, pesona, kenikmatan dan misteri pada hakikatnya adalah citra dari Sang Sumber Kebahagian sejati tersebut. Secara logis ataupun empiris keberadaan Sang Sumber Kebahagian itu dalam beragam bentuk terpindai oleh kita. “Jika kita tidak tahu bahwa ada wujud seperti Tuhan, kita tidak tahu hal pertama (hal yang paling penting) tentang diri kita sendiri, satu sama lain dan dunia kita. Ini karena kebenaran yang paling penting tentang kita dan mereka, adalah bahwa kita telah diciptakan oleh Tuhan, dan sepenuhnya bergantung pada-Nya untuk kelangsungan hidup kita,” demikian Alvin Plantinga menyimpulkan.
Secara pendekatan logika, menurut Martin Suryajaya, Plantinga melanjutkan apa yang sebelumnya dilakukan oleh Anselmus (1033-1109). Upaya pendekatan dengan logika memang diperlukan dalam mendialogkan Tuhan dalam ranah ilmiah. Meskipun tentu saja logika tidak akan pernah sepasti agama dalam mendeklarasikan keberadaan Tuhan. Karena Dia Sendirilah yang akan mengemukakan diri-Nya melalui agama yang Dia berikan kepada manusia.
Anselmus sendiri, misalnya, menurut laman Saint Anselm College adalah seorang biarawan dari ordo Santo Benediktus, filsuf Kristen, dan cendekiawan yang dikenal karena banyak pencapaian intelektualnya, termasuk penerapan nalarnya dalam mengeksplorasi misteri iman dan untuk definisinya tentang teologi sebagai “iman yang mencari pemahaman”. Jelaslah bahwa dalam kasus Anselmus iman telah ada sebelum logika.
Mengenal Sekilas Pembuktian Adanya Tuhan Berdasarkan Logika
Anselmus mendasarkan argumentasinya dari satu pengandaian bahwa Tuhan itu adalah sesuatu yang paling besar yang terhadapnya kita tidak bisa memikirkan hal yang lebih besar lagi. Dia adalah sesuatu yang maksimal. Bila ada sesuatu yang sangat besar, yang Mahabesar, yang terhadapnya kita tidak bisa memikirkan hal yang lebih besar lagi, maka tidak mungkin hal itu tidak ada.
Karena sesuatu itu hanya bisa tidak ada apabila dia masih kalah dengan hal yang lain yang lebih besar. Karena keberadaan menurut Anselmus merupakan bagian dari kebesaran itu—dan dalam hal ini dikritik oleh Imannuel Kant yang berpendapat sebaliknya, kebesaranlah yang merupakan sifat dari keberadaan—maka tidak mungkin bahwa sesuatu yang terhadapnya kita tidak bisa berpikir lebih besar lagi itu tidak ada.
Oleh karenanya dia tidak mungkin hanya ada di dalam pikiran kita tetapi ada di dalam kenyataan. Dia sungguh-sungguh ada di luar sana. Dan bila premis bahwa segala sesuatu yang maha besar yang terhadapnya kita tidak bisa memikirkan ada yang lebih besar lagi itu adalah Tuhan, maka kesimpulannya, menurut Anselmus: “Tuhan itu ada.”
Pembuktian secara logika ini mendapat banyak pengakuan dan tidak sedikit penolakan. Hampir delapan ratus tahun kemudian, Alvin Plantingan merevisi teori pembuktian Anselmus. Plantinga, sebagaimana dijelaskan oleh Martin Suryajaya, mendasarkan pembuktiannya kepada premis Anselmus bahwa Tuhan adalah sesuatu yang maha besar yang terhadapnya kita tidak bisa memikirkan hal yang lebih besar lagi. Kemudian ia mengajukan dua definisi: pertama, kebesaran maksimal adalah kemahasempurnaan di satu dunia-mungkin; kedua, kesempurnaan maksimal adalah kemahasempurnaan di semua dunia-mungkin.
Plantinga mengajukan sebuah premis turunan bahwa adalah mungkin bagi sesuatu yang punya kesempurnaan maksimal untuk ada. Selanjutnya, ia mengajukan dua simpulan bahwa: pertama, adalah mungkin bahwa kebesaran maksimal itu niscaya ada. Kemudian yang kedua, adalah niscaya bahwa kebesaran maksimal itu ada.
Sejak kebesaran maksimal adalah kemahasempurnaan di satu dunia-mungkin, lalu kemudian kebesaran maksimal itu dinyatakan niscaya ada, yang artinya berlaku di semua dunia-mungkin, maka itu artinya membuktikan adanya kesempurnaan maksimal. Dan bila kesempurnaan maksimal itu adalah Tuhan, maka kesimpulan akhirnya: Tuhan itu ada.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, karena berkenaan dengan pembuktian atas keberadaan Tuhan adalah bukan tugas utama logika, maka perdebatan ini masih akan terus berlanjut. Hanya saja, setidaknya kita bisa mencicipi karunia sebagai makhluk berkesadaran tinggi.
Lalu Apa yang Agama Berikan kepada Pemeluknya?
Secara fitrati manusia adalah makhluk bertuhan. Ia adalah mahakarya Sang Pencipta dalam semesta ciptaan-Nya. Sebagai mahakarya, manusia secara fitrati akan merindukan dan mencari Sang Penciptanya. Secara fitrati ia akan menggunakan akalnya untuk memaknai keberadaannya dan mencari tahu untuk tujuan apa ia diciptakan. Untuk menyempurnakan semua itulah Tuhan menurunkan agama yang dengannya Dia mengenalkan Diri sekaligus mengajarkan jalan menuju Diri-Nya.
Agama adalah nama lain dari kesadaran tertinggi manusia. Agama bukan lagi sebatas identitas. Ia adalah gerbang menuju kebahagiaan sejati yang membebaskan manusia dari segala keterbelengguan. Bila ada yang mengaku beragama namun kemudia menjadi begitu terbebani, merasa disusahkan atau tersiksa dengannya, patutlah ia mempertanyakan apakah ia beragama atau sebatas beridentitaskan sebuah agama?
Agama adalah jalan pertemuan sang pecinta dengan sang kekasih. Mungkinkah seorang pecinta sejati disusahkan dengan keharusan menempuh perjalanan menuju persuaan dengan kekasihnya?
Dalam satu kesempatan, Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as menyimpulkan bahwa bila ajaran agama (Islam dalam hal ini) diperas, maka hasil perasan terakhirnya adalah cinta. Atau, dalam sebuah pembicaraan—ingatan saya gagal mengabadikan detailnya—seseorang menyampaikan nasihat dari gurunya bahwa tujuan dari agama adalah is’ādun-nāsi fid-dāraini (menjadikan manusia bahagia di dunia dan akhirat).
Cinta kasih dan kebahagiaan adalah tujuan utama dari agama manapun. Bila seorang pemeluk suatu agama gagal memperlihatkan dua karakter tersebut dipastikan ia tidak paham apa yang dianutnya atau gagal dalam menjalankan ajarannya.
Inilah nikmat yang tak terperikan dalam kehidupan ini. Karunia beragama yang dengannya kita menyempurnakan kesadaran tertinggi kita sebagai mahakarya Sang Pencipta.
Sebuah Refleksi
Mengapa Gavotte en Rondeau terasa indah? Karena ia adalah cerminan dari keindahan sejati Wujud yang telah menciptakan penggubahnya. Mengapa logika begitu agung sebagai piranti kita menalar keberadaan kita? Karena ia adalah pantulan dari kemahacerdasan Wujud yang telah menciptakan organ otak kita sebagai tempat bersemayamnya kesadaran. Lalu mengapa agama begitu membahagiakan? Karena ia adalah penzahiran dari betapa apresiatifnya Wujud Sang Pencipta kepada kita semua sebagai ciptaan-Nya.
Nah, tidakkah tepat untuk menikmati semua karunia ini?
Penulis: Dodi Kurniawan
Penyunting: Rahma Roshadi
Baca artikel lain tentang karunia