Generasi muda kelahiran tahun 1996-2012 atau yang disebut dengan Gen Z, tak jarang menjadi bahan perbincangan menarik. Terutama di kalangan “senior” yang lahir sebelumnya, ketika sedang membandingkan ketahanan mental dan daya lenting yang dirasakan sangat jauh di bawah rata-rata. Benarkah demikian?
Jika kita cermati, sebenarnya tidak ada yang berbeda dengan pekerjaan yang dipilih dan dilakukan oleh generasi muda sekarang. Gen Z juga sekolah, kuliah dan bekerja di tempat-tempat yang sudah ada sejak dulu. Tak sedikit juga yang berwirausaha atau juga menjadi angkatan bersenjata.
Hal ini berarti, generasi ini juga tidak semuanya menghindar dari lapangan kerja yang ada. Mereka berkecimpungan di bidang-bidang yang sama, yang juga pernah digeluti oleh generasi sebelumnya. Ditambah dengan keterbukaan informasi dan teknologi yang membuat semuanya berjalan harus bisa sangat cepat.
Lebih jauh, hal yang sebenarnya berbeda di generasi ini adalah tuntutannya. Ketika menghitung usia, maka generasi di bawah usia 30 tahun ini seharusnya sedang menikmati masa kerja, gaji pertama, gelar sarjana, beasiswa magister dan bahkan rencana untuk menata karir masa depan.
Jangan menampik bahwa semua “rencana indah” gen Z harus berhadapan dengan pandemi, persaingan global, tuntutan keluarga bahkan bayang-bayang resesi. Hal itu terjadi dengan tidak mengurangi kecepatan tuntutan ekstrim via media sosial.
Generasi ini dibesarkan oleh smartphone, berteman denga media sosial dan belajar dari internet. Banjir informasi dan prediksi membuat generasi ini semakin memacu langkahnya. Harapan mengatasi perubahan seolah bertumpuk di kepala mereka, sebagai generasi yang memang sangat fokus memperhatikan laju dunia online.
Media Sosial Menjadi Pedang Bermata Dua
Pendapat generasi lemah dirasa wajar karena hanya di masa belakangan ini jugalah kita mendengar istilah healing, burnout, overthinking, dan banyak lagi yang tidak pernah familiar di generasi sebelumnya. Bahkan sebuah kata anxiety yang dengan mudah didiagnosakan kepada diri sendiri hanya karena ciri-cirinya sesuai dengan yang ditulis oleh sebuah tayangan Instagram.
Padahal jika kita cermati, generasi di belakang “Z” bukan berarti tidak merasakan jenuh, tertekan atau depresi. Hanya saja pada masanya tidak terlalu eksis penggunaan media sosial yang “mengharuskan” penggunanya mengatakan pada dunia bahwa ia saat ini sedang menderita sehingga wajib travelling atau makan enak untuk mengurangi kejenuhan.
Ada dunia pembanding di alam maya yang kemudian menjadi standar penyelesaian masalah ala Gen Z. Pendekatan era dahulu bisa dikatakan menuju ke aspek religius, bahkan magis. Orang stress akan mencari tempat curhat sesederhana keluarga atau tempat ibadah, tapi tak jarang ke dukun yang sempat ditempatkan sebagai solusi segala masalah. Sekarang, derasnya arus informasi menggiring gen-Z seketika melangkah ke psikolog bahkan psikiater dengan alasan kesehatan mental.
Menurut laporan yang diterbitkan American Psychological Association, Gen Z adalah yang paling mungkin dari semua generasi untuk melaporkan kesehatan mental yang buruk. Gen Z menghadapi banyak penyebab stres yang sama seperti generasi sebelumnya. Namun, mereka mungkin mengalami versi yang lebih intens, terutama mengingat banyaknya berita dari media sosial.
Generation gap ini lah yang, bisa dikatakan, sebagai awal penyebutan “lemah” bagi gen-Z. Masalah jenuh, depresi dan cemas sudah ada sejak dulu. Namun informasi tidak semudah sekarang untuk bisa diakses dan dipelajari setiap detik.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Mental di Periode Quarter Life Crisis
Di satu sisi, generasi ini menjadi yang terdepan menerima informasi. Tapi di saat yang sama, media sosial juga menjadikan generasi ini terpaku pada standar yang berbeda. Akibatnya, terciptalah hukum perbandingan berbasis media sosial. Gen Z membandingkan kehidupannya dengan keindahan tayangan di media sosial. Sementara generasi sebelumnya turut memberikan judgmental dengan memberikan perbandingan terkait ketahanan mental.
Beda Zaman Beda Tuntutan
Berangkat dari dunia perbandingan yang tercipta karena riuh-rendah media sosial, seharusnya Gen Z sangat sepakat dengan lagu Dik Farel. Ojo dibanding-bandingke. Mereka berada pada zaman yang berbeda, maka tentu saja akan menghadapi tuntutan yang berbeda dengan cara yang berbeda.
Kebutuhan sosial seperti pekerjaan dengan pendapatan bagus, karir jelas, transportasi nyaman, atau hunian layak tidak bisa dengan mudah didapat di zaman sekarang. Uang seperti tidak turun ke bumi. Padahal generasi ini tetap harus hidup, bahkan menghidupi orang di sekelilingnya.
Teknologi memudahkan orang untuk pesan makanan tanpa keluar rumah tapi kita juga melihat masih banyak orang kelaparan. Perusahaan start-up dan freelance bertebaran dengan segala tawaran work from home namun tetap tidak menurunkan angka PHK dan pengangguran. Di tengah kerja keras yang dilakukan oleh adik-adik kita, kabar resesi dihembuskan dunia yang konon juga akan berpengaruh pada ekonomi Indonesia di 2023.
Generasi ini berada di rentang usia yang masih harus merangkak menuju kemapanan. Sumber daya kognitifnya sudah terbagi ke banyak tugas, serta masih harus dibagi lagi ke media sosial yang menjadi standar hidup baru. Perjuangan generasi ini sebenarnya berat, namun di saat yang sama mereka tercatat sebagai generasi peduli kesehatan mental meskipun dimotori oleh konten media sosial.
Mari kita amati, jika kegelapan yang konon dikabarkan terjadi di 2023 ternyata juga mempengaruhi kejatuhan mental generasi sebelum Gen-Z, maka sebenarnya mereka lah yang lebih lemah dari adiknya.