Mendengar kata Jepara, tentu ada beberapa hal yang lazim terdengar seperti ukiran kayu jati atau sosok pahlawan R.A. Kartini. Namun, belum banyak yang tahu bahwa kota ini memiliki akulturasi yang hebat. “Nyumpet”, adalah bukti bahwa Islam dan budaya lokal bisa berjabat erat.
Perjalanan menyusuri Jepara membawa penulis sampai ke Desa Bangsri yang terkenal dengan sentra kerajinan seni ukir. Namun tidak berhenti di sana, karena penulis melanjutkan ke kecamatan yang berbatasan langsung dengan Bangsri yaitu Kecamatan Mlonggo. Tepatnya ke Desa Sekuro.
Desa ini dikelilingi oleh sawah kecil dan dibagian selatan desa dikelilingi sungai yang mengalirkan airnya menuju laut Jawa, dengan mengandalkan sistem tadah hujan. Pada musim kemarau, sawah tidak dibiarkan menganggur tetapi ditanami ketela pohon, ketela rambat, jagung, kacang, dan kedelai.
Bagi masyarakat yang memiliki keahlian sebagai tukang kayu, mereka biasanya membuka usaha sendiri atau bekerja pada juragan mebel, atau pergi merantau ke Jakarta atau tempat-tempat lain yang menyediakan lapangan kerja dibidang furniture.
Mengenal Nyumpet
Layaknya menjalani kehidupan, akan tiba waktunya mereka mengadakan acara khitanan atau pernikahan. Nyumpet, adalah sebuah tradisi yang biasanya dilakukan sebelum masyarakat melangsungkan pernikahan, khitanan atau hajatan keluarga lainnya.
Untuk menyambut datangnya sang tamu, pemilik hajat mempersiapkan berbagai upacara seminggu menjelang pelaksanaan hajatan dengan harapan mendapat perlindungan dari Sang pencipta dan para nenek moyang yang telah mendahului di alam baka.
Nyumpet dalam bahasa Jawa memiliki arti melindungi, menutupi , merapeti atau memagari . Secara istilah nyumpet memiliki arti mbuntoni (membuat buntu, menutup rapat-rapat) atau ngrapeti (merapatkan) lubang atau jalan dari berbagai gangguan.
Permohonan keselamatan ini dilakukan menjelang pelaksanaan prosesi pernikahan – 7 hari sebelum pernikahan digelar – dengan harapan selamat dari malapetaka, dibebaskan dari gangguan fisik maupun metafisik.
Selain untuk melindungi hajat dari serangan makhluk halus, nyumpet digunakan pula untuk mendapatkan hasil (materi) berlebih untuk mengumplkan rejeki. Untuk melaksanakan prosesi ini, dibutuhkan seseorang yang mampu melaksanakan “tugas” upacara ini.
Masyarakat akan menyiapkan beberapa makanan tertentu sebagai simbol manusia dan alam semesta. Setelahnya, sahibbul hajat akan mengundang beberapa orang untuk turut mendoakan, menilawatkan ayat suci Alquran dan rasulan (menyampaikan salawat kepada baginda Nabi Muhammad saw), berharap keselamatan dan kelancaran pada acara yang akan dilaksanakan.
Adanya tradisi ini turut menggambarkan penerimaan masyarakat Desa Sekuro tentang nilai-nilai Islam, di antaranya kekuatan doa untuk keselamatan. Pada kepercayaan atau budaya lokal, penggunaan makanan sebagai sesajen hanya ditujukan kepada leluhur (danyang), tanpa mengenal doa, ayat Al-Quran atau salawat kepada baginda Nabi.
Dialog Kreatif Islam dan Budaya Lokal
Kita semua mengetahui semangat dan ketaatan yang dapat dibangkitkan oleh agama pada orang yang percaya. Sebuah salib atau sebuah gambar misalnya dapat mengingatkan kepada penganiayaan berabad-abad atau menjadi kepercayaan pada orang Kristen. Sebuah gambar Ka’bah dapat memotivasi seseorang untuk menyempurnakan ibadah dan rukun Islam.
Hal yang sama terjadi ketika agama bertemu budaya. Meski ada kalanya budaya yang mendominasi, namun tetap ada nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya dan dilakukan sebagai salah satu cara meraih keberkahan.
Secara historis, Islam datang ke nusantara dengan suasana damai nyaris tanpa ketegangan dan konflik. Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai sebuah agama yang membawa kedamaian, meskipun pada masa itu masyarakat telah memiliki kepercayaan animisme, dinamisme, hindu maupun budha.
Setiap agama termasuk Islam, tidak lepas dari realitas dimana ia berada. Islam bukanlah agama yang lahir dalam ruang yang hampa budaya. Islam tidak dapat terlepas dari budaya lokal yang sudah ada. Antara keduanya kemudian terjadi dialog yang kreatif dan dinamis, hingga akhirnya Islam dapat diterima tanpa harus menggusur budaya yang sudah ada.
Penyebaran Islam yang membaur dengan budaya menyebabkan munculnya corak dan varian Islam yang memiliki kekhasan dan keunikan. Hal ini harus disadari bahwa eksistensi Islam di Indonesia tidak akan pernah tunggal.