Wanita memiliki peran yang penting pada tumbuh kembangnya sebuah masyarakat dalam suatu bangsa. Urgensi peranan wanita itu terlihat jelas di dalam tanggung jawab yang harus diembannya serta perjuangan berat yang harus ia pikul. Di dalam Islam, muslimah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, dan hal ini memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan setiap manusia. Wanita merupakan sekolah pertama di dalam membangun generasi masyarakat yang saleh, sepanjang ia berjalan sesuai dengan sumber petunjuk dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah salallaahu alaihi wasallam.
Kedua sumber itu pula yang dapat menjauhkan setiap Muslim laki-laki dan wanita dari segala macam kesesatan. Jika hal ini dapat dilaksanakan dengan baik maka akan terbentuklah sebuah tatanan kehidupan sebuah bangsa yang bermoral dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keruhanian yang berasal dari Tuhan. Karena pada dasarnya, kesesatan bangsa-bangsa tidak lain karena mereka menjauh dari ajaran Allah Ta’ala dan ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasulNya. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepadanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah NabiNya” [HR. Imam Malik didalam Kitab Al-Muwaththa]
Demikian pentingnya peran wanita dalam kemajuan suatu bangsa, sampai-sampai Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad Ra, Khalifatul Masih II Jamaah Ahmadiyah berpesan, bahwa Islam akan berhasil jika kalian dapat memperbaiki 50 % dari kaum wanita. Untuk mewujudkan hal ini, maka Al Quran memberikan isyarat mengenai persamaan hak-hak antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal, diantaranya tercantum dalam QS Al Ahzab ayat 36 :
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang berserah diri, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang patuh, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang merendahkan diri, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kesuciannya, serta laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka semua ampunan dan ganjaran yang besar.” (Al-Ahzab:36)
Dalam tafsir ayat ini dijelaskan, Islam telah menjawab sangkalan yang paling jitu terhadap tuduhan bahwa Islam merendahkan kedudukan kaum wanita. Menurut Al-Qur’an, kaum wanita berdiri sejajar dengan kaum pria. Bahkan mereka dapat mencapai ketinggian-ketinggian rohani yang dapat dicapai kaum pria, dan menikmati semua hak politik dan sosial yang dinikmati kaum pria. Hanya karena lapangan kegiatan mereka yang berbeda, maka kewajiban-kewajiban mereka juga akan lain bentuknya. Perbedaan dalam tugas kedua golongan jenis kelamin inilah, yang telah disalahartikan oleh para pengecam, seolah-olah Islam memberikan kedudukan lebih rendah kepada kaum wanita.
Di samping persamaan hak-hak yang dijelaskan dalam ayat tersebut, di sisi lain wanita juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam setiap fase kehidupannya. Fase pertama, adalah disaat ia masih berada dalam bimbingan kedua orangtuanya, maka sikap patuh dan taat kepada kedua orangtua merupakan kewajiban mutlak baginya. Menjaga kehormatan orangtua dengan cara mematuhi perintah Allah taala untuk menjunjung tinggi harga dirinya sebagai seorang wanita merupakan sebuah kewajiban yang harus ia pegang erat. Salah satunya adalah dengan menajga pardah, sebagaimana yang telah di perintahkan oleh Allah ta’ala :
یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ قُلۡ لِّاَزۡوَاجِکَ وَ بَنٰتِکَ وَ نِسَآءِ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ یُدۡنِیۡنَ عَلَیۡہِنَّ مِنۡ جَلَابِیۡبِہِنَّ ؕ ذٰلِکَ اَدۡنٰۤی اَنۡ یُّعۡرَفۡنَ فَلَا یُؤۡذَیۡنَ ؕ وَ کَانَ اللّٰہُ غَفُوۡرًا رَّحِیۡمًا ﴿۶۰﴾
Wahai Nabi! Katakanlah ke-pada istri-istri engkau dan anak-anak perempuan engkau serta istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya dari atas kepala mereka sampai menutupi dadanya. Hal itu lebih memudahkan mereka agar dapat dikenal dengan demikian mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Al-Ahzab:60)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pardah menurut ajaran Islam mengandung dua maksud. Islam menganjurkan hidup terpisah, dan menyarankan sopan-santun serta tingkah laku yang terhormat. Kaum wanita tidak diizinkan berjumpa dengan kaum pria sebebas-bebasnya, dan mereka pun diharapkan menaati peraturan-peraturan tertentu berkenaan dengan pakaian bila mereka keluar dari rumah mereka. Dengan jalan demikian kehormatan diri seorang wanita dan akan selalu terjaga.
Fase kedua adalah fase dimana seorang wanita memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang begitu besar sebagai seorang istri ketika dia telah menikah. Kedudukan istri dan pengaruhnya terhadap jiwa laki-laki telah dijelaskan oleh ayat berikut.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”. [Ar-Rum/30 : 21]
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya tentang mawadah wa rahmah mengatakan, mawaddah adalah rasa cinta dan rahmah adalah rasa kasih sayang. Karena sesungguhnya seorang laki-laki yang hidup bersama istrinya adalah karena cinta kepadanya, atau karena kasih dan sayang kepadanya, agar mendapat anak keturunan darinya.
Untuk hal ini kita bisa bercermin pada sosok suci para ummul mukminin, Hadhrat Khadijah r.a, di mana beliau mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentramkan rasa takut yang dialami Rasulullah saw., ketika Malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa wahyu di Goa Hira untuk pertama kalinya. Rasulullah saw., datang kepada Hz. Khadijah r.a. dalam keadaan seluruh persendiannya gemetar, seraya bersabda : “Selimuti aku! Selimuti aku! Sungguh aku mengkhawatirkan diriku, Maka Khadijah berkata : Tidak. Demi Allah, Allah tidak akan membuatmu menjadi hina sama sekali, karena engkau selalu menjalin hubungan silaturahmi, menanggung beban, memberikan bantuan kepada orang yang tak punya, memuliakan tamu dan memberikan pertolongan kepada orang yang berada di pihak yang benar”. [Muttafaq Alaih]
Kita juga dapat melihat dengan jelas peran penting Hz Aisyah ra, dimana para sahabat Nabi banyak mengambil hadits-hadits dari beliau, dan begitu pula kaum wanita banyak belajar dari beliau tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita. Demikian besar pengaruh dukungan dan nasehat istri sehingga terjadi keserasian di antara keduanya untuk menjalankan dakwah Islam dan menyebar luaskannya, (yang hingga kini) kita merasakan pengaruhnya dalam penegakkan Aqidah kepada penduduk Jazirah Arab.
Fase ketiga, adalah ketika seorang wanita telah dikaruniai sebuah amanah yang luar biasa dari Allah taala untuk menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Di fase inilah wanita dituntut untuk mampu menjalin kedekatan khusus dengan Allah sehingga ia mampu mengahdirkan sifat kasih sayang Allah dalam membimbing buah hatinya. Pada saat inilah segala pengetahuan dan amalan yang telah ia dapatkan pada dua fase sebelumnya, harus mampu ia kembangkan untuk diterapkan kepada anak-anaknya, sehingga mereka akan tumbuh menjadi generasi penerus bangsa dengan akhlak mulia sesuai ajaran Islam yang indah dan sempurna.
Bercermin pada kisah keteguhan Siti Hazar dan Maryam dalam memanjatkan doa, menjalin kedekatan dengan Allah ta’ala dan memberikan pengasuhan terbaik bagi kerurunannya, sehingga dengan karunia Allah, wujud-wujud suci Hz. Ismail a.s. dan Hz Isa a.s. mampu memberikan contoh pengabdian yang luar bisa dalam menyebarkan ketauhidan Ilahi, hingga kenikmatan itu masih bisa kita rasakan hingga saat ini.
Jika setiap wanita sejak awal kehidupannya telah di tempa untuk mampu mejalani fase demi fase ini dengan baik, maka dengan izin Allah, bukanlah suatu hal yang mustahil kedamaian dunia akan tercipta di bawah pimpinan generasi-generasi Rabbani, yang lebih mendahulukan ridha Allah dalam setiap langkahnya, dengan memegang teguh ajaran Al Quran dan Sunnah sebagai pedomannya dalam menjalani kehidupan.
———– 000 ——————
Penulis : Aisyah Begum
Editor : Rahma Roshadi