Oleh : Ai Yuliansyah
Dan janganlah kamu mencela satu sama lain, dan janganlah memanggil satu sama lain dengan nama-nama buruk. Dipanggil dengan nama buruk setelah beriman adalah hal yang seburuk-buruknya; dan barang siapa yang tidak bertaubat mereka itulah orang-orang yang aniaya.
Pekik kalimat itu terdengar nyaring dari sebuah pengeras suara dan bergema sampai ke tempat saya bekerja. Kaget? tentu saja. Bergegas keluar dari Kantor dan mendekati arah suara yang ternyata tidak terlalu jauh dan sudah banyak kerumunan massa di sana.
Rupanya salah satu Ormas Islam di Indonesia dengan pakaian putih-putih, sorban dan berbagai atribut khasnya, hari ini tengah mengadakan orasi di sebuah kawasan yang disebut Simpang Lima, satu kawasan strategis dimana Perkantoran Pemerintah Kabupaten, Lembaga-lembaga Pendidikan baik Negeri maupun Swasta dan Pusat Bisnis ada disini. Nampak terlihat masyarakat umum pun sudah banyak berkerumun menyaksikan orasi itu di trotoar jalan. Tak tanggung-tanggung, Petinggi Ormas dari Ibukota mengambil kendali dalam orasi ini.
Seorang Ibu yang berdiri di dekat saya berbisik, “Ngeri ya Bu, kok bilang darah Ahmadiyah halal?” Saya jawab dengan anggukan. Saat itu pikiran saya sedang fokus ke orasi selanjutnya. Benar apa yang Ibu tadi bilang, sungguh mengerikan apa yang disampaikan dalam orasi itu. Semuanya hanya fitnah-fitnah tanpa dasar yang ditujukan untuk mendiskreditkan Ahmadiyah. Kafir, sesat, punya nabi baru, tadzkirah, dan banyak lagi fitnahan keji lainnya. Bahkan tanpa menggunakan lagi hati nurani, sanggup mengatakan bahwa “Darah Ahmadiyah Halal”.
Menyaksikan suasana yang begitu ramai dan orasi yang semakin memanas, segera saya menjauh dari tempat itu, kemudian menelepon Mubaligh setempat, memberikan informasi. Bapak Mubaligh berpesan agar saya tetap berada di tempat itu, dan terus melaporkan perkembangannya, dengan tetap berhati-hati tentunya.
Tak lama kemudian, kerumunan massa diarahkan untuk mulai bergerak menuju ke Mesjid Agung di alun-alun kota. Serempak mereka bergerak dengan pekik-pekik takbir bersahut-sahutan. Kembali saya memberikan informasi kepada Mubaligh, dan Mubaligh meminta saya untuk tetap mengikuti rombongan ini dari jauh, berbaur dengan masyarakat umum yang berjalan di trotoar. Untuk dapat mengikuti mereka dengan cepat, saya memutuskan untuk menaiki sebuah angkutan umum, dan turun ketika bagian terdepan dari rombongan itu sudah terlihat. Kembali saya berbaur dengan masyarakat untuk mengikuti iring-iringan massa yang terus berorasi dan meneriakan Takbir.
Ketika sampai di Alun-Alun kota, pimpinan Massa Ormas ini melanjutkan orasinya. Sementara itu, Mubaligh menyampaikan bahwa di Mesjid Jemaat sudah dilakukan antisipasi dengan berjaga-jaga. Dari orasi itu diketahui bahwa massa ormas itu hendak menyerang Mesjid Ahmadiyah, entah Mesjid mana yang mereka maksudkan. Yang pasti pimpinan massa mengatakan bahwa mereka akan melakukan pergerakan ke kota lain yang arahnya melintasi jalan di depan Mesjid Jemaat.
Namun, Allah Ta’ala nampaknya tidak meridhoi semua ini. Di tengah orasi berlangsung, cuaca yang semula terik tiba-tiba mendung dengan pekatnya, petir menyambar dan bergemuruh, hujan lebat pun serta merta turun. Alam seolah tak senang dengan tingkah mereka, yang dengan begitu angkuhnya menebar benci dan caci, menanam antipati dan dengki.
Hujan tak berlangsung lama, namun cuaca tetap mendung. Dari pengeras suara terdengar himbauan agar massa kembali berkumpul untuk melanjutkan pergerakan. Segera saya informasikan hal ini kepada Mubaligh. Sementara massa mulai bergerak dalam rombongan besar, saya tetap berdiam di Alun-Alun kota sesuai instruksi Mubaligh.
Selang beberapa menit, saya mendapat kabar bahwa rombongan massa sudah melintas di depan Mesjid Jemaat, namun dengan suasana yang berbeda. Tiada teriakan caci maki ataupun hasutan-hasutan penuh dengki. Mereka hanya melintas. Mereka hanya berjalan dalam rombongan tanpa teriakan apapun. Nampaknya kuasa Illahi yang bekerja, api kebencian yang tengah berkobar itu diredakan-Nya dengan siraman air langit.
Peristiwa ini terjadi beberapa tahun silam, namun masih menyisakan keheranan yang menggelitik hati nurani. Apa gerangan salah kami? Kami adalah bagian dari umat Muslim yang mendiami negeri ini. Tak pernah berbuat anarki, hanya pengabdian dan bakti bagi agama serta bumi pertiwi yang kami junjung tinggi. Kami hanyalah pengikut yang Mulia Nabi SAW, yang ingin kembali menegakkan panji-panji Islam dalam penjelmaannya yang hakiki.
Dasar pijakan apakah yang mereka pakai untuk melakukan semua tindakan tadi? adakah Al-Qur’an dan Hadits yang jadi sandaran argumen mereka? ataukah hanya prasangka belaka? atau jangan-jangan hanya massa yang terbawa arus tanpa memahami apa yang mereka terima.
Kini, mari kita kaji bersama, apa yang Allah Ta’ala firmankan dalam Al-Qur’an Suci. Salah satunya Quran Surah Al-Hujurat ayat 11-12 yang artinya:
“Sesungguhnya semua orang mukmin bersaudara. Maka damaikanlah diantara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu dikasihani. Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mencemoohkan kaum yang lain, boleh jadi mereka itu lebih baik daripada mereka, dan janganlah segolongan wanita mencemoohkan wanita yang lain, boleh jadi mereka itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah kamu mencela satu sama lain, dan janganlah memanggil satu sama lain dengan nama-nama buruk. Dipanggil dengan nama buruk setelah beriman adalah hal yang seburuk-buruknya; dan barang siapa yang tidak bertaubat mereka itulah orang-orang yang aniaya”.
Ayat ini secara khusus menekankan pentingnya Ukhuwah Islamiyah –persaudaraan dalam Islam. Kekuatan hakiki Islam terletak pada persaudaraan ideal, yang mengatasi segala hambatan kelas, warna kulit atau iklim. Adakah tersurat atau tersirat dalam firman Allah Ta’ala di atas, izin yang melegalkan menghinakan sesama? sama sekali tidak.
Begitupun dalam hadits, Anas ra berkata, Bersabda Nabi SAW: “Jangan benci–membenci dan jangan hasud-menghasud dan jangan belakang membelakangi dan jangan putus–memutus hubungan. Jadilah kamu sekalian hamba Allah yang bersaudara, tidak dibolehkan seorang muslim memboikot sesama muslim lebih dari tiga hari”. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits lainnya dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Cukup bagi seseorang menjadi jahat kalau ia menghinakan saudaranya sesama muslim”. (HR. Muslim).
Dari kedua hadits di atas, adakah dasar untuk dapat membenarkan dogma yang mereka sebarkan bahwa darah Ahmadiyah halal? Alih-alih menghalalkan darah sesama muslim yang tak berdosa, justru kita umat Islam diperintah oleh Rasulullah SAW untuk saling mencintai, menjauhi kebencian dan iri dengki.
Di tempat lain dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman : “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, ia tinggal lama di dalamnya. Allah akan murka kepadanya, dan akan melaknatnya, dan akan menyediakan baginya azab yang sangat besar”. (Surat An-Nisa, 4: 94)
Larangan yang sangat tegas bukan? lantas bagaimana bisa sebagian orang yang mengatasnamakan Islam menyatakan darah saudaranya halal? padahal tersurat dengan sangat jelas larangan membunuh, dalam Kitab Suci Umat Islam ini. Jadi, Kitab Suci manakah yang mereka jadikan rujukan untuk membenarkan tindakan mereka?
Saudara-saudaraku sebangsa setanah air, mengkaji ayat demi ayat dalam Al-Qur’an Suci, sabda demi sabda yang Mulia Nabi SAW, tidak satupun ditemukan pembenaran atas perilaku iri dengki apalagi bertindak keji dengan melampaui batas-batas kemanusiaan, semisal menjadikan darah sesama sebagai permainan?
Cobalah fikir ulang, kebaikan seperti apa yang hendak ditegakkan dengan kebencian? Tidakkah sebaiknya kita semua bergandeng-tangan, hidup damai dalam keberagaman? Bersama menjaga nilai-nilai Islam yang rahmah bukan marah. Sebab benci, hanya akan merusak tatanan kehidupan yang sudah dibangun dengan segala jerih payah para pendiri negeri ini.