Oleh : Mln. Bilal Ahmad, Gunung Kidul – Yogyakarta.
Wahai orang-orang yang bodoh, berhajilah ke tempatku terlebih dahulu, baru kemudian engkau berhaji ke baitullah. Aku adalah pintu Ka’bah.[1]
Pada bulan Dzulhijjah, bagi umat Islam yang mampu, seharusnya sedang menunaikan rukun islam yang kelima ke Baitullah, Mekah. Akan tetapi dikarenakan wabah pandemi covid-19 yang belum juga mereda bahkan semakin meningkat dibanyak negara, tidak terkecuali arab saudi. Maka pelaksanaan ibadah haji pada tahun ini hanya dilaksanakan oleh mereka yang tinggal di Arab Saudi.
Kondisi seperti ini memunculkan kesedihan tersendiri bagi umat Islam yang seharus dapat giliran untuk menyambut seruan Allah Ta’ala di Rumah-Nya pada tahun ini. Akan tetapi, alangkah baiknya kita mengambil hikmah dari kondisi ini dan mengintrospeksi diri serta lebih mematangkan persiapan untuk bertamu ke Rumah Allah pada kesempatan berikutnya.
Melaksanakan ibadah haji, umrah atau ziarah ke tempat suci atau tempat bersejarah yang syarat dengan hikmah bagi umat islam, akan terasa lebih ‘khusu’ apabila kita mengetahui dan memahami sejarah dari tempat tersebut atau hikmah dari peristiwa yang terjadi.
Tempat-tempat suci atau tempat bersejarah bagi umat Islam merupakan “sya’airillah” atau syiar-syiar Allah Ta’ala. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, para ulama menjelaskan bahwa ‘tanda-tanda’ Allah Ta’ala tidak hanya termanifestasi pada sebuah tempat, bahkan juga pada nama-nama bulan dalam penanggalan Islam. Dan berkenaan dengan ‘sya’air’ yang termanifestasi dalam bentuk tempat, maka jika seorang peziarah datang ketempat tersebut dengan disertai pemahaman dan menghayati sejarah yang terjadi maka akan menumbuhkan kesan yang mendalam dan akan melahirkan kecintaan dan kesetiaan kepada kekuasaan Allah Ta’ala.
Berikut adalah tempat-tempat yang menjadi simbol manifestasi rohani yang tertulis dalam Al-Quran dan Hadits :
Masjidil Haram
Sebagai representasi dari wilayah ‘al-Haram’, Ka’bah, rumah ibadah tertua (Baitul Atiq) yang pernah didirikan oleh manusia ini penuh dengan kisah-kisah yang membuktikan keberadaan Tuhan sebagai Pencipta, Pelindung dan Pembimbing umat manusia. Ka’bah merupakan simbol Rumah Tuhan yang telah didirikan dari sejak zaman nabi Adam as.
“inna awwala baitin wudhia linnaasi lalladzii bibakkata mubaarokan wahudan lil’alamiin”
“Sesungguhnya Rumah pertama yang didirikan untuk faedah manusia adalah yang ada di Bakkah yang penuh dengan berkat dan petunjuk bagi seluruh alam” (QS. Ali Imran : 96)
Diungsikannya Siti Hajar dan Ismail as oleh Nabi Ibrahim as memiliki hikmah tersendiri dengan keberadaan ‘baitullah’ ini. Pembangunan kembali pondasi Ka’bah oleh nabi Ibrahim dan Ismail as di lembah gersang tersebut menjadikannya sebagai sebuah tempat yang diberkati dan menjadi pusat peribadatan bagi anak jasmani dan juga keturunan rohani beliau.
“waidz yarfa’u ibroohiima al-qowaaida minal-baiti waismaa’iil…”
“Dan ingatlah ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan pondasi-pondasi Rumah itu…” (QS. Al-Baqarah : 127)
‘Al-Haram’ merupakan manifestasi dari kondisi kerohanian. Bukan hanya sekedar wilayah yang menjadi batas suci dan tidak suci. Akan tetapi setiap orang yang berkunjung di dalamnya menjadi cermin kesucian ‘Al-Haram’. Dan berziarah ke tempat itu tidaklah sama dengan berkunjungan ketempat yang lain. Berzirah ke baitullah merupakan tanda menyambut seruannya, untuk itu diperlukan syarat khusus yang harus dibawa oleh setiap peziarah.
“…watazawwaduu fainna khoirozzaadit-taqwaa wattaquunii yaa ulil-albaabi”
“…Dan siapkanlah perbekalan sesungguhnya sebaik-baik perbekalan adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al- Baqarah : 197)
Keberadaan Ka’bah mungkin pernah rusak atau hancur dan yang tersisa hanya pondasi-pondasinya saja. Tetapi sejak zaman nabi Adam as, nabi Ibrahim as, hingga nabi Muhammad saw, Ka’bah dan wilayah ‘al-Haram’ tetap merupakan simbol kesucian dan pusat bagi kemajuan rohani manusia. Kesucian hati dan kesholehan amal merupakan kunci untuk berjumpa dengan Allah Ta’ala di Rumah-Nya.
Pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani bahwa beliau adalah pintu ka’bah, semakin menguatkan untuk menjalani kehidupan dengan kesucian sebagaimana yang beliau jalani akan menghantarkan pada perjumpaan dengan Allah Ta’ala.
Masjidil Aqsa
Teringat masa kanak-kanak, pada peringatan ‘Isra’ nabi Muhammad saw, dikisahkan bahwa beliau saw melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dalam satu malam. Penceramah selalu mengulang-ulang cerita perjalanan ‘ajaib’ tersebut.
“Subhaanaladzii asroo bi’abdihii lailan minal-masjidil-haroomi ilal-masjidil-aqsoolladzii baaroknaa haulahuu linuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwa as-samii’ul basiiru”
“Mahasuci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, yang telah Kami berkati sekelilingnya supaya Kami perlihatkan sebagian dari tanda-tanda Kami, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat” (QS. Al-Isra : 1)
Ketika benih Islam baru ditanam ditanah ‘al-Haram’, kabar mengenai kemajuannya telah diberitahukan kepada nabi Muhammad saw. Allah Ta’ala menghibur dan memberikan semangat kepada beliau saw bahwa risalah yang beliau bawa akan sampai ke negeri-negeri yang jauh, yang belum pernah beliau kunjungi.
Ketika mendengar kata ‘Masjidil Aqso’ maka imajinasi kita akan tertuju pada suatu masjid yang bernama ‘Aqso’ di Yerusalem. Akan tetapi secara fisik, ketika wahyu ini diturunkan kepada nabi Muhammad saw, masjid yang bernama ‘al-Aqso’ itu belum berdiri. Masjidil Aqso baru berdiri pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra.
‘Masjidil Aqso’ merupakan simbol manifestasi dari semangat dakwah islam. Kata ‘al-Aqso’ berarti ‘yang jauh’. Ayat ini menjadi kabar suka bahwa ‘dakwat ilallah’ akan sampai ke tempat-tempat yang jauh. Dan untuk menyempurnakan nubuatan tersebut, Khalifah Umar ra membangun sebuah masjid yang diberi nama ‘al-Aqso’. Akan tetapi pada hakikatnya, masuknya orang-orang kedalam pangkuan islam, dan dibangunnya rumah-rumah ibadah yang jauh dari tempat awal berdirinya Islam, merupakan manifestasi dari nubuatan di dalam ayat tersebut.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi wal Masihil Mau’ud as menjelaskan :
“Ini juga merupakan kebiasaan Allah Ta’ala (sunnatullah) bahwa Dia menggunakan ilustrasi fisik untuk menjelaskan beberapa hal rohani. Tempat ibadah di Baitul Muqaddas (Yerusalem), dan Ka’bah di Mekah, misalnya, berfungsi sebagai simbol manifestasi rohani.”[2]
‘Manaratil Baidho’ (Menara Putih)
Demikian pula dengan ‘Menara Putih’ yang akan menjadi tempat turunnya nabi Isa as diakhir zaman. Sudah seperti dongeng pengantar tidur, yang apabila mendengarnya maka otak imajinasi kita segera membayangkan suatu bangunan atau menara yang indah.
Berkenaan dengan hal ini Nabi Muhammad saw bersabda :
“idz ba’atsallaahu al-masiihabna maryama fayanzilu ‘indal manaarotil baidhoo’i syarqiyya dimasyqo..”
“Ketika Allah Ta’ala membangkitkan Isa ibnu Maryam, maka Ia akan turun dekat menara putih di sebalah timur Damaskus…” (HR. Muslim)
Sebagaian ulama menjelaskan bahwa ‘Manaratul Baidho’ merupakan sebuah menara masjid jami’ Umayyah di Damaskus. Namun sayangnya, saat ini menara tersebut telah luluh lantah akibat perang Suriah.
Muncul pertanyaan, apakah arsitek yang membangun masjid dan menara Masjid Jami’ Umayyah itu dimaksudkan sebagai manifestasi dari hadits nabi tersebut? sedangkan dari beberapa referensi yang didapat, masjid yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw tidak disertai dengan bentuk menara seperti saat ini. Dan berkenaan dengan turunnya nabi Isa diakhir zaman, nabi saw tidak menyebutkan menara masjid.
Lalu sebagai manifestasi apakah ‘menara putih’ dalam hadits tersebut?
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi wal Masihil Mau’ud as menjelaskan :
“Apakah yang disimbolkan oleh menara? menara merepresentasikan jiwa yang suci, murni dan teguh, yang diberikan kepada manusia sempurna yang layak menerima cahaya samawi, dan makna ini melekat pada kata ‘menara’ itu sendiri. Ketinggian menara menandakan tekad yang tinggi dari orang seperti itu. Kekuatannya menandakan ketabahan yang ia tunjukan pada saat menghadapi cobaan, dan putihnya yang murni melambangkan ketidak bersalahannya, yang akhirnya harus ditegakan. Dan ketika semua itu terjadi, yaitu, ketika kebenarannya telah ditegakan dengnan argumen, ketabahan, ketekunan, kesabaran, dan ketekunannya telah menjadi jelas seperti menara yang bersinar…”[3]
Lalu sebagai manifestasi dalam bentuk fisik dari hadits tersebut dibangun sebuah ‘menara putih’, hal tersebut tidak lah menyalahi. Sebagaimana halnya dibangun ka’bah atau masjidil haram sebagai refleksi kesucian hati dan amal, dibangunnya masjidil aqso sebagai refleksi semangat ‘dakwat ilallaah’ harus sampai ketempat-tempat yang jauh. Sedangkan ‘menara putih’ merefleksikan keteguhan tekad, kesucian rohani dan kemuliaan ilahi.
Wallaahu a’lam bish-shawabi
[1] Mahkota sufi, Syeikh abdul Qodir al-Jailani, Mitrapress, 2008, hal. 71
[2] Bagaimana cara terbebas dari dosa, Hadhrat Mirza Ghulam ahmad (Imam Mahdi wal Masihil Mau’ud as), Neratja Press, 2019, hal. 9.
[3] Bagaimana cara terbebas dari dosa, Hadhrat Mirza Ghulam ahmad (Imam Mahdi wal Masihil Mau’ud as), Neratja Press, 2019, hal. 8.
Mmm….bagus