Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk, misalnya marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, sub-ordinasi atau tanggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe, beban kerja lebih panjang dan lebih banyak dan kekerasan (violence).
Kondisi ini membuat perempuan berada dalam posisi tertindas. Tak terkecuali yang dialami oleh Lajnah Imaillah (perempuan Ahmadiyah). Dalam usia seabadnya, kelompok ini ditempatkan sebagai minoritas. Namun sayangnya hal tersebut dibarengi dengan tindakan diskriminasi dan persekusi. Bagi perempuan, tindakan intoleransi akan berdampak baik secara fisik maupun mental. Masalah tidak selesai setelah pembubaran kegiatan atau pembakaran rumah, namun stigma sebagai perempuan Ahmadiyah kerap menjadi alasan untuk semakin “menomorduakan” eksistensinya.
Persekusi Berlapis Ahmadiyah
Beberapa penelitian telah mencatat bagaimana perempuan Ahmadiyah di Indonesia mengalami intoleransi. Misalnya, laporan Komnas HAM menuliskan bagaimana perempuan-perempuan Ahmadiyah di satu desa di Cianjur mengalami diskriminasi hingga menjadi korban kekerasan seksual. Saat terjadi penyerangan pada 2005, teriakan kotor dengan nama-nama hewan lantang diteriakkan oleh oknum penyerbu ketika memasuki rumah penganut Ahmadiyah.
Di desa lain di Cianjur, masih dalam catatan laporan itu, seorang jemaat Ahmadiyah yang sedang hamil 9 bulan mengalami pendarahan dan ancaman pemerkosaan. Dia pun bersembunyi di hutan hingga melahirkan dalam kondisi yang payah, dibantu oleh dukun beranak karena ia takut bidan desa tidak akan menolongnya.
Di Tasikmalaya, penulis mendapat cerita tentang rangkaian teror yang sangat memengaruhi kondisi psikis jemaat Ahmadiyah. Pada 2013, sekelompok orang berkonvoi mengendarai sepeda motor dan bolak-balik melewati rumah-rumah jemaat seraya meneriakkan kalimat-kalimat kotor serta ancaman di malam lebaran. Suara knalpot motor tersebut begitu berisik. Sebuah pertemuan tahunan Jemaat Ahmadiyah berakhir traumatis karena serangan massa yang melempari rumah dan masjid tempat pertemuan.
Provokasi tersebut berimbas pada relasi sosial masyarakat setempat, termasuk relasi antara para perempuan di desa yang sangat berjarak. Muncul opini-opini tidak berdasar yang menyudutkan jemaat, sampai-sampai ibu-ibu melarang anaknya untuk bermain dengan anak para jemaat.
Tantangan lain yang dihadapi perempuan adalah perkara pencatatan nikah. Perempuan Ahmadiyah kerap mengalami kesulitan karena Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) menolak mencatatkan pernikahan jemaat Ahmadiyah. Pencatatan hanya bisa dilakukan jika jemaat Ahmadiyah menandatangani surat pernyataan bahwa mereka “benar-benar bukan jemaat Ahmadiyah.” Para jemaat memilih “numpang nikah” di desa lain yang memfasilitasi pencatatan pernikahan bagi Ahmadiyah, meski tentu lebih merepotkan karena itu artinya mereka harus mengurus lebih banyak berkas administrasi.
Tindakan intoleransi juga penulis temukan di mana seorang perempuan Ahmadiyah mengalami kesulitan dalam pekerjaan. Salah seorang guru SD tidak bisa mengajukan diri menjadi kepala sekolah karena adanya surat edaran dari pihak yang menyatakan bagian dari masyarakat bahwa sekolah tidak boleh menerima kepala sekolah dari jemaat Ahmadiyah. Edaran ini merupakan imbas dari peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat untuk menghapus simbol-simbol Ahmadiyah di Jawa Barat.
Diskriminasi dari aparat negara juga dapat dilihat atas terjadinya penyegelan masjid Ahmadiyah. Ketika Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya ingin merenovasi masjid, mereka mendapat tanggapan negatif dari tokoh masyarakat dan warga setempat karena dianggap tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Masalahnya, ketika hendak mendaftar IMB pun, jemaat tidak difasilitasi sesuai aturan melainkan harus menghadapi “aturan tambahan” seperti audiensi dengan MUI, FKUB dan lembaga lainnya.
Pemberdayaan Diri Perempuan Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah memiliki rasa trauma untuk bersosialisasi dengan dunia luar terutama perempuan dan anak-anak. Sebagai kelompok, perempuan tidak dapat sepenuhnya mengaktualisasikan diri dan menunjukkan identitasnya di publik karena adanya diskriminasi yang dialami kelompok tersebut. Perempuan Ahmadiyah membutuhkan pengakuan dari masyarakat diluar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Pasca konflik perempuan-perempuan Ahmadiyah berusaha memiliki pekerjaan seperti perempuan lainnya untuk membangun hubungan.
Meski mengalami kekerasan berlapis, banyak perempuan Ahmadiyah tak punya pilihan lain kecuali harus memberdayakan diri. Persoalannya, banyak lelaki jemaat yang jarang berada di rumah karena kerja di luar kota. Pada kenyataannya, ketika terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah oleh aparat pemerintah, para perempuan di sekitar masjid lah yang secara langsung menyaksikannya.
Kerja pemberdayaan tak bisa dianggap mudah, karena untuk membangun rasa saling percaya di antara anggota kelompok butuh waktu. Kondisi ini juga diakibatkan rasa trauma dan takut akan terjadi serangan kembali sehingga ada juga yang merasa lebih baik diam saja.
Kebutuhan bermasyarakat, ditambah dengan kuatnya meyakini ajarannya, membuat perempuan Ahmadiyah tetap melangkah membaur seutuhnya dengan masyarakat. Bukan hanya di bidang sosial, tetapi juga tak sedikit majelis taklim yang ikut dihadiri oleh perempuan Ahmadiyah, sekalipun harus mendengar ceramah berisi kebencian yang ditujukan kepada jemaat. Justru pada momen seperti inilah perempuan memiliki peran penting sebagai agen inklusi, mengingat perempuan punya lebih banyak kesempatan ketimbang laki-laki untuk berbaur, seperti lewat acara pengajian, PKK, maupun Posyandu.
Keterlibatan Perempuan Ahmadiyah
Resistensi dari internal jemaat itu dapat diminimalisasi dengan hadirnya Kelas Kesadaran selama satu tahun yang digagas oleh jemaat dan bekerja sama dengan komunitas lain di Tasikmalaya. Pelatihan paralegal banyak diikuti sehingga mereka mendapatkan pemahaman mengenai penegakan hukum di Indonesia. Ilmunya kemudian disampaikan ulang ke anggota yang lain, terutama untuk menyadarkan bahwa jemaat Ahmadiyah memiliki hak untuk beribadah dan melaksanakan keyakinannya.
Bagi mereka yang bergerak, berdiam diri hanya akan membuat makin tertindas. Padahal, pergerakan secara efektif akan bermanfaat jika dimulai dari penyintas itu sendiri sebagai pihak yang memahami situasi. Untuk menumbuhkan kesadaran, jemaat diberi pemahaman bahwa setiap orang memiliki peran, termasuk kaum ibu.
Di bidang sosial, kiprah Lajnah Imaillah juga tak kalah menggugah. Sebuah klinik kesehatan “Asih Sasama” dibangun di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan berbagai program kesehatan yang sangat membantu masyarakat kurang mampu. Lajnah Imaillah juga menggerakkan anggotanya untuk menjadi calon pendonor mata sejak tahun 1980-an. Sampai sekarang, tercatat lebih dari 90% calon pendonor mata di Indonesia berasal dari kalangan Ahmadiyah. Gerakan donor darah juga menjadi rutinitas sehingga kerap menobatkan Ahmadiyah menjadi “Komunitas Lumbung Darah.”
Perempuan Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas terus berusaha untuk menunjukkan jati diri dengan menggunakan identitas material maupun non material. Purdah, semboyan “Love for All Hatred for None”, pengorbanan waktu dan harta adalah hal-hal yang menjadi identitas diri mereka. Pengungkapan identitas merupakan usaha yang dilakukan agar masyarakat mau menerima keberadaan mereka secara inklusif.
Perempuan Ahmadiyah berusaha membangun hubungan di ruang publik sebagai bagian dari ketaatan mereka kepada jemaat dan kepercayaan yang diyakini. Melalui identitas tersebut, diharapkan masyarakat dapat mengenali perempuan Ahmadiyah sehingga terjalin interaksi yang lebih baik.
Kisah-kisah di atas hanyalah sekelumit dari banyak kisah nyata perjuangan perempuan untuk mentransformasi diri. Di sini, narasi patriarkal mengenai perempuan yang lemah tidak berlaku. Sebab, bahkan dalam posisi pernah mengalami berlapis-lapis diskriminasi dan intoleransi pun para perempuan itu sanggup mengambil peran-peran baru untuk berguna di tengah masyarakat: mencari uang untuk menghidupi keluarga, mengadvokasi diri sendiri dan kelompok, sambil tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan dari kelompok marjinal yang mengalami korban kekerasan, nyata bisa dilakukan.
Tentu saja, mereka tak boleh berjuang sendirian. Masyarakat sipil mesti kritis mempertanyakan sikap perangkat desa hingga aparat negara yang justru tunduk pada tekanan kelompok intoleran. Bukan saja dalam kasus Ahmadiyah, tapi juga kelompok rentan lainnya.