Dilansir dari laman resmi Kementerian Hukum dan HAM, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mempromosikan kebebasan beragama Indonesia di hadapan anggota Parlemen Inggris, Fiona Bruce. Dalam kesempatan yang sama, Indonesia dipandang memiliki peran sentral terkait isu hak asasi manusia dalam konteks nasional dan global. Pada praktiknya, adakah peran organisasi massa Perempuan di balik konteks tersebut?
Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan terus terasa hangat di berbagai meja diskusi. Di Indonesia, hal ini kerap dikaitkan dengan keterlibatan perempuan sebagaik subjek maupun objek. Perempuan bisa sangat terdampak dari terampasnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan ini. Namun di saat yang sama, tak sedikit organisasi massa perempuan yang berjuang mewujudkan hak asasinya.
Organisasi Perempuan Pejuang Keberagaman
Banyak organisasi perempuan yang memberikan atensi besar terhadap perdamaian dan harmonisasi umat beragama. Bukan hanya organisasi besar seperti Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Fatayat, atau Aisyiyah, tetapi juga organisasi perempuan lain yang meskipun tidak berlatar belakang agama, namun menyuarakan keadilan keberagaman dan keberagamaan.
Kebanyakan organisasi-organisasi perempuan tersebut merupakan sayap perempuan atau badan otonom dari organisasi induknya. Namun gerakan, kiprah, dan perjuangan mereka tidak dapat dipandang sebelah mata. Sayangnya, peran ini sering kali menjadi terabaikan dan terlupakan sehingga perjuangan panjang yang telah diupayakan oleh seakan tak terjangkau publik.
1. Muslimat Nahdhlatul Ulama
Optimalisasi layanan Muslimat NU di masyarakat bertujuan untuk merealisasikan visi Muslimat NU, yaitu terwujudnya masyarakat sejahtera yang dijiwai ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkemakmuran dan berkeadilan yang diridhai Allah Swt.
Dari visi ini, tampak bahwa masyarakat sejahtera menjadi kata kunci dalam setiap kegiatan dari program yang dijalankan Muslimat NU baik kegiatan layanan pendidikan, sosial, agama, dan ekonomi. Dalam pada itu, kesejahteraan tidak akan pernah bisa diwujudkan kecuali dalam situasi damai dan harmonis.
Kaitannya dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, perwujudan situasi damai dan harmonis mustahil tercipta di Indonesia jika hanya mengedepankan kepentingan kelompok agama tertentu. Sebagai salah satu organisasi besar di Indonesia, Muslimat NU tentu menginginkan keberagaman dan kemajemukan di NKRI tetap terjaga dan berjalan harmonis.
Geliat kegiatan muslimat NU dalam membentuk karakter anggota dan kadernya, salah satunya juga bertujuan untuk menangkal radikalisme. Majelis taklim menjadi salah satu wadah yang digadang dapat menangkal radikalisme dan terorisme tersebut, karena jejak langkah NU di Indonesia yang telah kukuh menyampaikan Islam dengan budaya Nahddliyyin yaitu mengedepankan keagamaan dan kebangsaan.
2. Aisyiyah
Organisasi perempuan ini merupakan bagian dari Muhammadiyah. Dalam hal mana, Fatwa Muhammadiyah telah memberikan dukungan terhadap proses kesetaraan gender. Aisyiyah merupakan gerakan yang amat penting dalam kebangkitan perempuan dan dengan geraknya membawa kesadaran beragama dan berorganisasi, mengajak warganya menciptakan “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafar” sebuah kehidupan yang bahagia dan sejahtera penuh limpahan rahmat dari Allah di dunia dan akhirat.
Sama halnya seperti organisasi perempuan NU, Aisyiyah telah memberikan kontribusi besar terhadap umat dalam berbagai bidang yaitu mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dakwah, hukum dan yang lainnya. Sebagai organisasi perempuan terbesar, keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama-sama mensejahterakan keluarga dengan menempatkan perempuan pada peran di dalam keluarga sesuai dengan ajaran Islam.
Tak sedikit FGD (Forum Group Discussion) yang diinisiasi oleh Aisyiyah bertemakan pemahaman ajaran Islam. Di dalamnya, organisasi ini juga berperan mengajak dan mengingatkan lebih banyak orang tentang keberagaman di Indonesia serta dasar negara Pancasila. Meskipun organisasi mereka berlatar belakang Islam, bukan berarti sepakat dengan penggantian ideologi negara menjadi syariat Islam.
3. Lajnah Imaillah
Tampil sebagai organisasi dari minoritas agama, Lajnah Imaillah juga kerap menyuarakan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai salah satu hak asasi yang harus dijunjung tinggi. Organisasi ini merupakan badan perempuan dari Jemaat Ahmadiyah, sebuah organisasi internasional yang juga berkembang di Indonesia.
Ketaatan kepada khalifah yang mereka yakini, dibarengi juga dengan kepatuhan kepada pemerintah di negara tempat mereka tinggal. Hal inilah yang membuat Lajnah Imaillah dan juga Jemaat Ahmadiyah juga bisa membaur dengan organisasi kebangsaan lainnya. Khalifah bagi Ahmadiyah adalah pemimpin rohani, namun secara teritori tetap memerintahkan para anggotanya untuk patuh pada pemerintah di tempat masing-masing.
Di tengah diskriminasi terhadap Ahmadiyah di Indonesia, Lajnah Imaillah tetap memberikan kontribusi nyata yang terlihat dari kegiatan-kegiatan sosial seperti donor darah dan donor mata. Tak sedikit pula perempuan Ahmadiyah yang berpendidikan tinggi dan membagikan ilmunya melalui sekolah atau perguruan tinggi umum.
4. Puan Hayati
Para Penghayat Kepercayaan di Indonesia juga tak kalah lelah dalam memperjuangkan hak mereka secara regulasi. Sempat dianggap sebagai aliran yang “tidak umum”, namun keyakinan tetaplah keyakinan yang tidak akan mudah berpindah dan diubah.
Butuh waktu puluhan tahun hingga akhirnya Penghayat Kepercayaan bisa mendapatkan pengesahan identitas di kolom agama. Hingga saat ini, organisasi ini terus bergerak, memperjuangkan hak hidup, hak berkeyakinan hingga hak untuk mendapatkan kesetaraan kesejahteraan.
Meski tergolong muda, Puan Hayati terbilang lantang menyuarakan kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui berbagai forum dialog. Kerja sama diskusi dengan berbagai bidang kementerian bertema kebangsaan dan peran perempuan dalam Pembangunan Indonesia, kerap digagas oleh organisasi ini.
Mengurai Keadilan Gender dan Peran Organisasi Perempuan di Ranah Publik
Peran perempuan dalam mewujudkan dan membangun perdamaian tampak sering terabaikan. Ini disebabkan masyarakat masih sering menganggap perempuan sebagai makhluk domestik dan subordinat sedangkan laki-laki dipandang sebagai makhluk publik-politik yang superior.
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Hal pertama yang dikatakan sebagai ketidakadilan gender adalah Marginalisasi. Bentuk ini memberikan batasan peran terhadap kelompok tertentu, sehingga melahirkan kemiskinan dan akses sosial. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi seperti laki-laki, sehingga berakibat kurangnya kesempatan untuk bekerja. Lebih jauh, perempuan tidak memiliki daya guna dan hasil guna dan harus bergantung pada laki-laki.
Maka bayangkan jika pemarginalan kelompok agama tertentu terus dilakukan, perempuan akan terkena dampak ganda dalam hal ini, yaitu sebagai penganut agama atau keyakinan tertentu dan sebagai perempuan itu sendiri.
Kedua, Stereotipe. Kita sering diberi tontonan objektivikasi perempuan berupa prasangka negatif. Secara umum, dianggap tidak pantas bagi seseorang untuk bersikap kritis dan lantang bersuara di muka umum karena dianggap bertolak belakang dengan perangai lemah-lembut yang seharusnya dimiliki perempuan.
Hal ini kemudian menjadi alasan penghakiman bagi perempuan yang menyuarakan haknya di muka umum. Salah satunya terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang seharusnya selaras dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi di muka publik.
Ketiga adalah domestifikasi, yaitu pandangan yang menganggap perempuan hanya layak mengerjakan pekerjaan rumah tangga (domestic). Misalnya, mencuci, memasak, melayani suami, mengurus anak dan sebagainya. Selain berkaitan dengan hilangnya kesempatan perempuan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, pekerjaan dan penghasilan mandiri, domestifikasi ini juga “meredam” suara perempuan yang memperjuangkan hak atas keberagaman dan keberagamaan.
Jika kita perhatikan, dalam banyak kasus tindakan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, hampir tidak didengar suara perempuan atau organisasi perempuan terkait masalah tersebut. Padahal, tindakan pelanggaran hingga kekerasan atas nama keberagamaan bisa berdampak langsung pada perempuan.
Keempat adalah kekerasan, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang, dan hal itu membuat sebuah prasangka. Sumber kekerasan terhadap manusia bermacam-macam, baik yang dilakukan dalam rumah tangga sampai pada tingkat negara. Dalam kaitannya dengan kebebasan berkeyakinan, para pelaku tindak kekerasan – bahkan negara – sering tidak menyadari ada dampak psikologis yang dialami oleh kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Menggarisbawahi keempat masalah di atas, organisasi perempuan seharusnya menjadi benteng pertama bagi kaum rentan untuk mendapatkan pemahaman tentang batasan perempuan di ranah privat dan publik. Kodrat perempuan sebagai istri dan perempuan itu sendiri, bukanlah sebuah alasan pembenar untuk dibatasi pula dalam ranah publik seperti mendapatkan pendidikan, pekerjaan layak atau bahkan berpendapat.
Edukasi ini harus diperjuangkan hingga terdengar oleh publik, terutama oleh mereka yang masih mendiskriminasi perempuan sebagai makhluk domestik. Bukan sekadar mempublikasikan kiprah, langkah dan sumbangsih organisasinya di bidang sosial dan kemasyarakatan, namun juga harus bisa menjadi advokat ketika terjadi ketidakadilan gender terhadap perempuan, baik di dalam maupun di luar organisasinya.
Di dalam keyakinan agama Islam, diakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempun, tetapi bukan pembedaan (discrimination). Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki atau perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mereka mampu berpartisipasi dalam kegiatan politik, sosial budaya, pendidikan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
Dengan demikian kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Perempuan boleh berperan aktif, baik individu maupun bersama organisasi, dalam segala aspek kehidupan untuk mewujudkan kesetaraan di tengah keberagaman.