Menyusuri wilayah pantai utara Jawa, maka tak sedikit jejak penyebaran Islam yang akan menjadi cerita. Bukan menyoal teologi, namun bagaimana cara mereka berakulturasi. Masjid Al-Aqsa atau yang lebih dikenal dengan Masjid Menara Kudus adalah salah satu bukti harmonisasi budaya dan agama di tanah Jawa.
Masjid Al-Aqsa dapat dikatakan sebagai salah satu masjid tua di Pulau Jawa. Keberadaannya juga menjadi saksi sejarah terjadinya akulturasi antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Islam. Kita tahu bahwa agama-agama masuk ke Indonesia sebagian besar melalui akulturasi budaya lokal yang sudah mencengkeram masyarakatnya sejak lama.
Baca juga Tradisi Nyupet di Wilayah Pantai Utara Jawa
Sekelumit Sejarah
Masjid ini dibangun oleh Sunan Kudus pada kisaran tahun 956 H. Ketika menginakkan kaki di sana, sekilas akan terlihat bangunan seperti candi atau pura di bagian depannya. Tentu saja, itulah keunikan dari masjid ini yang memiliki minaret seperti bangunan Hindu ini.
Masjid ini menyimpan cerita menarik dalam proses pembangunannya. Konon, Sunan Kudus membangun menara masjid hanya dengan menggosok-gosokkan batu bata hingga lengket.
Seperti halnya masjid-masjid kuno di Jawa, Masjid Menara Kudus menerapkan metode soko guru dengan empat tiang utama penyangga bangunan dan soko rawa dengan empat tiang pendamping. Soko guru ini belum diganti sejak renovasi tahun 1918.
Di dalam areal masjid terdapat kompleks pemakaman di mana Sunan Kudus beserta para ahli waris dan tokoh-tokoh lainnya dimakamkan.
Keunikan Masjid Al-Aqsa
Nama Al-Aqsa barangkali seketika membawa pikiran kita ke Yerusalem. Bukan sekadar nama, karena hal tersebut juga menjadi latar belakang nama masjid ini.
Masjid yang bentuk menaranya mirip candi ini memiliki sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis atau Al-Quds di Yerusalem, Palestina, sebagai prasasti sejarah pembangunan masjid tersebut. Menurut hikayat, batu tersebut adalah kenang- kenangan saat Sunan Kudus bertandang ke Masjid Al-Aqsa.
Nama tersebut kemudian menginspirasi lahirnya nama Kudus yang berarti suci, yang juga disematkan pada kota dan masjid legendaris ini.
Di samping minaret, masjid juga memiliki pintu bentuknya menyerupai Kori Agung atau gapura candi-candi di Bali. Uniknya, selain berada di depan, gapura ini juga terdapat di dalam ruang utama ibadah. Gerbang ini dikenal dengan nama Lawang Kembar.
Paduan Arsitektur Hindu-Islam-Budha di Tanah Jawa
Perpaduan budaya terlihat pada gaya arsitektur Masjid Menara Kudus secara keseluruhan. Hadirnya bangunan menara, gapura pintu masuk, dan gapura di dalam serambi masjid memperkenalkan gaya Candi Hindu. Menara masjid juga sangat mirip candi Jago, yang merupakan peninggalan Raja Singasari Wishnuwardhana.
Tanda pemanfaatan unsur budaya Arab (Islam) terlihat pada bentuk atap kubah dan dua menara kecil pengapitnya, beserta ornamen tulisan kaligrafi Arab yang berbunyi “Masjid Al-Quds Menara Kudus” pada fasad dinding atas pintu depan serambi masjid.
Unsur budaya Jawa, terlihat pada atap bangunan menara dan atap bangunan ruang utama masjid yang berbentuk atap tumpang bersusun. Atap tumpang (meru) bersusun tiga dengan mustaka pada atap teratas adalah khas visual masjid tradisional Jawa.
Sedangkan unsur budaya Budha tersimbol dalam jumlah delapan pancuran tempat wudu yang di atasnya diletakkan arca. Bagian bawah Padasan atau bak tempat wudhu, yang letaknya di samping bangunan masjid terbuat dari susunan bata merah tanpa pelester dan di atasnya diletakkan arca.
Pada padasan Terdapat ornamen pola anyaman simpul dengan bahan batu putih. Ornamen tersebut berjumlah 8 buah. Jumlah delapan dipandang mengadaptasi ajaran Budha, “delapan jalan kebenaran” atau disebut dengan istilah asta sanghika marga.
Hikmah Toleransi
Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang di dalamnya memuat keyakinan bahwa manusia adalah mahluk yang beragam. Nilai toleransi antarbudaya budaya muncul manakala ada sikap keterbukaan dan kesediaan mengakomodasi perbedaan.
Bahkan, toleransi akan memadukan perbedaan dalam satu entitas yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai milik bersama tanpa menghilangkan keyakinan dan identitasnya masing-masing. Belajar dari kearifan lokal pada Masjid Menara Kudus, diperoleh nilai-nilai toleransi antarbudaya dari perbentukan visualnya.