Let us look to tomorrow and not just today. Let us save our future generations. May Allah grant us wisdom.
(Hazrat Mirza Masroor Ahmad aba, Khalifatul Masih V and worldwide head of the Ahmadiyya Muslim Community, at the 2018 annual Peace Symposium)
Seutas berita mempertontonkan anak muda bermobil Fortuner tengah meradang di tengah jalan. Bukan hanya itu, sering juga kita dapati aksi penodongan senjata di jalan hanya karena tidak bisa menyalip kendaraan lain. Lalu apa kaitan emosi di jalan dengan perubahan iklim?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada konferensi stockholm 50 telah memperingatkan bahwa perubahan iklim juga bisa menyebabkan dampak bagi kesehatan mental. Kondisi psikososial ini di antaranya adalah tekanan emosional, depresi, hingga bunuh diri.
Ilmuwan Amerika bahkan menemukan bahwa peningkatan suhu atau suhu ekstrem berbanding lurus dengan ujaran kebencian yang tersebar di twitter. Hal ini kemudian menjadi hipotesis bahwa perubahan iklim memicu perilaku seseorang menjadi sangat emosional.
Pada analisa twitter, cuitan bernada diskriminatif, rasis atau misoginis meningkat ketika suhu luar udara lebih panas dari normalnya. Padahal kita tahu bahwa perubahan iklim salah satunya akan memicu perubahan suhu yang sangat ekstrem, lebih panas atau lebih dingin.
Jika perilaku emosional ini terjadi ketika seseorang sedang mendapati konten yang “tidak sesuai” di media sosial, maka wajar jika hal yang terjadi adalah komentar diskriminatif bernada kebencian. Hal yang sama ketika efek kesehatan mental ini terjadi pada mereka yang sering berada di jalan. Terhambat macet ditambah panasnya suhu luaran akan memicu pertengkaran di jalan.
Pandangan Ahmadiyah Terhadap Fenomena Perubahan Iklim
Sejalan dengan isu perubahan iklim yang sedang marak dibahas, Ahmadiyah menjadi salah satu organisasi yang tidak tinggal diam. Setidaknya, pimpinan internasional organisasi tersebut telah memberikan arahan terhadap bahaya perubahan iklim kepada anggotanya.
Hal ini disampaikan ulang ketika organisasi perempuan Ahmadiyah mengadakan diskusi terkait perubahan iklim di Bandung. Diskusi tersebut bertajuk, “Peran Perempuan dalam mengatasi Perubahan Iklim”, menghadirkan narasumber Lajnah Imaillah yang berkiprah sebagai praktisi lingkungan yakni Siti Ainun, S.T., S.Psi., M.Sc. dan Mudiyati Rahmatunnisa, MA. Phd.
Narasumber menyampaikan sebuah kutipan dari Pimpinan Internasional Ahmadiyah,
“Perubahan iklim adalah masalah di mana-mana, di seluruh dunia. Terutama di negara-negara dunia ketiga yang jumlah penduduknya meningkat secara tidak proporsional. Hanya untuk mengakomodasi peningkatan populasi, negara-negara mengembangkan daerah pemukiman baru dan karena itu, hutan ditebang dan penggundulan hutan ini merupakan penyebab utama perubahan iklim. Jadi, Anda harus sangat berhati-hati bahwa setiap kali satu pohon ditebang, dua pohon harus ditanam kembali. Konsumsi bahan bakar juga harus dikurangi. Sekarang orang menjadi malas jika ingin pergi dari satu tempat ke tempat lain dan jaraknya hanya 100 yard atau 200 yard, untuk menuju ke tempat tersebut mereka menggunakan sepeda motor atau mobil. Dengan cara ini, polusi meningkat. Ada begitu banyak faktor lain yang juga menyebabkan polusi dan perubahan iklim. Jadi, kita harus sangat berhati-hati. Meskipun demikian, kami tidak dapat mengatakan bahwa karena ketakutan akan perubahan iklim kami tidak boleh memiliki anak.”
Mirza Masroor Ahmad
Dalam bukunya Islam’s Response to Contemporary Issues, Khalifah Ahmadiyah ke IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad memaparkan bahwa Islam menetapkan hak minimum dalam bentuk piagam empat poin dengan mendefinisikan kebutuhan dasar yang harus disediakan oleh negara: makanan, pakaian, air dan tempat tinggal.
Hal ini berarti bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab nasional dan internasional. Tanggung jawab di tingkat nasional ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat dengan memastikan bahwa semua diberi makan, pakaian, dan air dan tempat tinggal yang memadai. Sementara tugas internasional adalah untuk berpartisipasi penuh dalam mengumpulkan sumber daya untuk menghadapi tantangan bencana alam skala besar atau malapetaka buatan manusia dan untuk membantu negara-negara yang tidak mampu menangani krisis dengan tepat. Dengan demikian, masalah perubahan iklim menjadi salah satu tugas untuk membereskan.
Terkait peran perempuan dalam berkontribusi untuk mengatasi perubahan iklim ini, Mudiyati memaparkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dilakukan oleh perempuan.
Dimulai di rumah, perempuan pada aktivitas rumah tangga bisa menghemat penggunaan air dan listrik, membatasi penggunaan kertas maupun pupuk organik, melakukan penghijauan, menerapkan pola hidup 3R (Reduce, reuse, recycle) dan menggunakan peralatan elektronik yang hemat energi. Selain itu, penggunaan kendaraan umum, berjalan kaki, atau naik sepeda serta mengonsumsi barang berdasarkan kebutuhan – bukan kemauan – juga bisa membantu memitigasi perubahan iklim.
“Intinya biasakan berperilaku pola hidup sederhana dan membantu sesama.” ungkapnya.